Rabu, 30 November 2011

Kepemimpinan Soekarno

A. Karir Kepemimpinan Soekarno
       Soekarno memulai karirnya sebagai pemimpin organisasi pada usia 26 tahun,tepatnya 14 Juli 1927. Pada saat itu beliau memimpin sebuah partai politik yaitu PartaiNasional  Indonesia  (PNI)  yang  mempunyai  arah  perjuangan  kemerdekaan  bagi Indonesia. Hal ini mengakibatkan para pimpinan PNI termasuk Soekarno ditangkap dandiadili  oleh  pemerintahan  kolonial  Belanda.  Tetapi  pada  saat  di  dalam  proses pengadilan Soekarno malah menyampaikan pandangan politiknya mengenai gugatannyaterhadap pemerintahan yang terkenal dengan Indonesia menggugat.
         Sikap Soekarno sebagai pemimpin bangsa pada saat itu sangat menekankanpentingnya persatuan dalam nasionalisme, kemandirian sebagai sebuah bangsa dan antipejajahan. Hal ini tercermin di dalam pidato-pidato beliau dalam menggelorakansemangat revolusi secara besaran-besaran untuk lepas dari belenggu imperialisme.Akhirnya Soekarno berhasil menggelorakan semangat revolusi dan mengajak berdiri diatas kaki sendiri bagi bangsanya, walaupun belum sempat berhasil membawa rakyatnyadalam kehidupan yang sejahtera. Konsep “berdiri di atas kaki sendiri” memang belumsampai ke tujuan tetapi setidaknya berhasil memberikan kebanggaan pada eksistensibangsa.  Daripada  berdiri  di  atas  utang  luar  negeri  yang  terbukti  menghadirkanketergantungan dan ketidakberdayaan (neokolonialisme).
         Sikap tersebut mengakibatkan Belanda membubarkan organisasi PNI  sehingga Soekarno dan teman seperjuangannya bergabung dengan Partindo pada bulan Juni tahun1930. Setelah melalui perjuangan yang panjang bahkan beliau pernah dipenjara kembali oleh Belanda namun tidak menyurutkan langkah perjuangannya. Pada akhirnya, padatanggal  17  Agustus  1945  Soekarno  bersama  Muhammad  Hatta  berhasil memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia menandai berdirinya negara yang berdaulat. Sebelumnya, ia juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadidasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia berupaya mempersatukannusantara. Bahkan ia berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, danAmerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudianberkembang menjadi Gerakan Non Blok.
            Setelah pemerintahan berjalan di tangan bangsa Indonesia, Soekarno memimpinpemerintahan dan mengalami berbagai fase dalam pemerintahannya. Fase pertamapemerintahan Presiden Soekarno (1945-1959) diwarnai semangat revolusioner, sertadipenuhi kemelut  politik  dan keamanan. Belum genap setahun menganut sistempresidensial  sebagaimana  yang  diamanatkan  UUD  1945,  pemerintahan  Soekarnotergelincir ke sistem semi parlementer. Pemerintahan parlementer pertama dan keduadipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Pemerintahan Sjahrir dilanjutkan oleh PMMuhammad Hatta yang merangkap Wakil Presiden.
               Kepemimpinan  Soekarno  terus  menerus  berada  di  bawah  tekanan  militer Belanda yang ingin mengembalikan penjajahannya, pemberontakan-pemberontakanbersenjata, dan persaingan di antara partai-partai politik. Sementara pemerintahanparlementer  jatuh-bangun.  Perekonomian  terbengkalai  lantaran  berlarut-larutnyakemelut  politik.  Ironisnya,  meskipun  menerima  sistem  parlementer,  Soekarnomembiarkan pemerintahan berjalan tanpa parlemen yang dihasilkan oleh pemilihanumum. Semua anggota DPR (DPRGR) dan MPR (MPRS) diangkat oleh presiden daripartai-partai politik yang dibentuk berdasarkan Maklumat Wakil Presiden, tahun 1945.Demi kebutuhan membentuk Badan Konstituante untuk menyusun konstitusi baru menggantikan UUD 1945, Soekarno menyetujui penyelenggaraan Pemilu tahun 1955,pemilu pertama dan satu-satunya Pemilu selama pemerintahan pada saat itu. Pemilutersebut menghasilkan empat besar partai pemenang yakni PNI, Masjumi, NU dan PKI.Usai Pemilu, Badan Konstituante  yang disusun berdasarkan hasil Pemilu, mulaibersidang untuk menyusun UUD baru. Namun sidang-sidang secara marathon selamalima tahun gagal mencapai kesepakatan untuk menetapkan sebuah UUD yang baru.
                    Menyadari bahwa negara berada di ambang perpecahan, Soekarno dengandukungan Angkatan Darat, mengumumkan dekrit 5 Juli 1959. Isinya; membubarkanBadan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Sejak 1959 sampai 1966, Bung Karnomemerintah dengan dekrit, menafikan Pemilu dan mengangkat dirinya sebagai presidenseumur hidup. Pemerintahan parlementer yang berpegang pada UUD Sementara, jugajatuh dan bangun oleh mosi tidak percaya. Akibatnya, kondisi ekonomi kacau.
             Pada  fase  kedua  kepemimpinannya,  1959-1967,  Soekarno  menerapkandemokrasi terpimpin. Semua anggota DPRGR dan MPRS diangkat untuk mendukungprogram pemerintahannya yang lebih fokus pada bidang politik. Bung Karno berusahakeras menggiring partai-partai politik ke dalam ideologisasi NASAKOM—Nasional,Agama dan Komunis. Tiga pilar utama partai politik yang mewakili NASAKOM adalah PNI, NU dan PKI. Bung Karno menggelorakan Manifesto Politik USDEK. Diamenggalang dukungan dari semua kekuatan NASAKOM. Namun di tengah tingginyapersaingan politik Nasakom itu, pada tahun 1963, bangsa ini berhasil membebaskanIrian Barat dari cengkraman Belanda.
                  Tahun 1964-1965, Soekarno kembali menggelorakan semangat revolusioner bangsanya  ke  dalam  peperangan  (konfrontasi)  melawan  Federasi  Malaysia  yangdidukung  Inggris.  Sementara,  dalam  kondisi  itu,  tersiar  kabar  tentang  sakitnyaSoekarno. Situasi semakin runyam tatkala PKI melancarkan Gerakan 30 September 1965. Tragedi pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat tersebut menimbulkan situasi  chaos di seluruh negeri dan menyebabkan kondisi politik dan keamanan hampir tak terkendali.
                  Menyadari kondisi tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11Maret  1966 kepada  Jenderal  Soeharto.  Ia  mengangkat  Jenderal  Soeharto  selakuPanglima  Komando  Keamanan  dan  Ketertiban  (Kopkamtib)  yang  bertugasmengembalikan keamanan dan ketertiban. Langkah penertiban pertama yang dilakukanSoeharto, sejalan dengan tuntutan rakyat ketika itu, membubarkan PKI. Soekarno, setelah  tragedi  berdarah  tersebut,  dimintai  pertanggungjawaban  di  dalam  sidangistimewa  MPRS  tahun  1967.  Pidato  pertanggungjawabannya  ditolak.  Kemudian Soeharto diangkat  selaku Pejabat Presiden dan dikukuhkan oleh MPRS menjadiPresiden RI yang Kedua, Maret 1968.

B. Gaya Kepemimpinan Soekarno
     Melihat bagaimana seorang Soekarno memimpin di dalam sebuah organisasimaupun pemerintahan, menunjukkan perannya yang sentral sebagai seorang pemimpin sejati, sebagai seorang inspirator, idealis dan sebagai simbol perjuangan rakyat dalammenegakkan negara yang berdaulat yang dapat dijadikan sebagai panutan. Akan tetapi,ia akhirnya dijadikan kambing hitam atas peristiwa yang mengakibatkan kekacauan politik  di  masa  akhir  kepemimpinannya.  Dan  gaya  yang  diterapkannya  jelasmenunjukkan bahwa Soekarno merupakan tipe pemimpin yang demokratis denganmengedepankan semangat persatuan di atas kepentingan golongan, kelompok, ras, suku, agama tertentu akan tetapi juga ada yang menilainya sebagai pemimpin yang bertipe otoriter karena terkesan memaksakan kebijakan pemerintahannya kepada lembagalegislatif pada saat itu.
             Sebagai seorang pemimpin sejati soekarno mampu membawa arah perjuangantetap konsisten meskipun banyaknya rintangan yang dihadapinya. Dapat dijadikancontoh ketika beliau berkali-kali dipenjara oleh pemerintahan kolonial, beliau tetaptegar  bahkan  semakin  lantang  dalam  menentang  penjajahan  sampai  memperoleh kemerdekaannya.
            Dalam hal sebagai inspirator atau seorang idealis Soekarno dapat menunjukkanprestasinya melalui rumusan Pancasila yang menjadi dasar negara hingga sekarangdisamping pemikiran-pemikiran yang lain seperti Marhaenisme, kemandirian untuk hidup di atas kaki sendiri, nasionalisme persatuan di atas perbedaan yang ada di dalamnegara  dan  satu  idealisme  yang  kontroversial  mengenai  konsep  NASAKOM(Nasionalis,  Agama  dan Komunis)  demi  tercapainya  persatuan  bangsa mencapai eksistensinya di dalam mempertahankan kemerdekaan. Sebagai pemimpin yang idealis,Soekarno tidak mudah terpengaruh dengan keadaan bangsa ketika dihadapkan padasituasi yang sedang gawat. Beliau tetap berada untuk berada di atas prinsipnya sendiridan menghindari campur tangan asing. Idealis seperti ini tercermin dengan seringnyapergantian sistem pemerintahan demi mengatasi masalah di dalam keadaan yang berbeda-beda. Bahkan idealismenya terlihat agak otoriter karena harus memaksakankeputusannya dalam mengatasi krisis dengan dekrit presiden, dan mengangkat dirinyamenjadi presiden seumur hidup misalnya.
                   Pada masa perjuangan menegakkan kedaulatan bangsa, Soekarno layak disebut sebagai simbol perjuangan karena pada saat itu beliau mampu tampil sebagai diplomatdan orator yang mampu mengobarkan semangat perjuangan rakyat. Keberanian beliauterlihat  ketika  menyuarakan  secara  berapi-api  tentang  revolusi  nasional,  antineokolonialisme dan imperialisme. Dan juga kepercayaannya terhadap kekuatan massa,kekuatan rakyat. Beliau adalah seorang pemimpin yang rendah hati disamping sebagai seorang  pemberani.  Sifat  ini  dapat  dilihat  dari  dalam  karyanya  ‘Menggali  ApiPancasila’. Beliau berkata “Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karenarakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,” Maka pantasapabila beliau dijadikan simbol perjuangan rakyat karena ketulusannya demi dan untuk rakyatnya.
                 Pada akhirnya, Soekarno tetaplah  manusia biasa yang tidak  terlepas  darikesalahaan yang harus beliau bayar dengan melepaskan jabatannya sebagi PresidenRepublik Indonesia yang pertama. Pada akhir jabatannya beliau dianggap bersalahdengan terjadinya tragedi G 30 S PKI yang mengakibatkan beliau harus menjadikambing hitam (as scapegoat) atas terjadinya peristiwa itu dan harus turun tahta daripemimpin bangsa setelah beliau berhasil mengawalinya.

French Revolution

The French Revolution (French: Révolution française; 1789–1799) was a period of radical social and political upheaval in French and European history. The absolute monarchy that had ruled France for centuries collapsed in three years. French society underwent an epic transformation as feudal, aristocratic and religious privileges evaporated under a sustained assault from left-wing political groups and the masses on the streets. Old ideas about hierarchy and tradition succumbed to new Enlightenment principles of citizenship and inalienable rights.
The French Revolution began in 1789 with the convocation of the Estates-General in May. The first year of the Revolution saw members of the Third Estate proclaiming the Tennis Court Oath in June, the assault on the Bastille in July, the passage of the Declaration of the Rights of Man and of the Citizen in August, and an epic march on Versailles that forced the royal court back to Paris in October. The next few years were dominated by tensions between various liberal assemblies and a right-wing monarchy intent on thwarting major reforms.
A republic was proclaimed in September 1792 and King Louis XVI was executed the next year. External threats also played a dominant role in the development of the Revolution. The French Revolutionary Wars started in 1792 and ultimately featured spectacular French victories that facilitated the conquest of the Italian peninsula, the Low Countries and most territories west of the Rhine – achievements that had defied previous French governments for centuries.
Internally, popular sentiments radicalized the Revolution significantly, culminating in the rise of Maximilien Robespierre and the Jacobins and virtual dictatorship by the Committee of Public Safety during the Reign of Terror from 1793 until 1794 during which between 16,000 and 40,000 people were killed.[1] After the fall of the Jacobins and the execution of Robespierre, the Directory assumed control of the French state in 1795 and held power until 1799, when it was replaced by the Consulate under Napoleon Bonaparte.
The modern era has unfolded in the shadow of the French Revolution. The growth of republics and liberal democracies, the spread of secularism, the development of modern ideologies and the invention of total war[2] all mark their birth during the Revolution. Subsequent events that can be traced to the Revolution include the Napoleonic Wars, two separate restorations of the monarchy and two additional revolutions as modern France took shape. In the following century, France would be governed at one point or another as a republic, constitutional monarchy and two different empires (the First and Second).
Causes
Adherents of most historical models identify many of the same features of the Ancien Régime as being among the causes of the Revolution. Economic factors included hunger and malnutrition in the most destitute segments of the population, due to rising bread prices (from a normal 8 sous for a four-pound loaf to 12 sous by the end of 1789),[3] after several years of poor grain harvests. Bad harvests (caused in part by extreme weather from El Niño along with volcanic activity at Laki and Grímsvötn), rising food prices, and an inadequate transportation system that hindered the shipment of bulk foods from rural areas to large population centers contributed greatly to the destabilization of French society in the years leading up to the Revolution.
Another cause was the state's effective bankruptcy due to the enormous cost of previous wars, particularly the financial strain caused by French participation in the American Revolutionary War. The national debt amounted to some 1,000–2,000 million[citation needed] livres. The social burdens caused by war included the huge war debt, made worse by the loss of France's colonial possessions in North America and the growing commercial dominance of Great Britain. France's inefficient and antiquated financial system was unable to manage the national debt, something which was both partially caused and exacerbated by the burden of an inadequate system of taxation. To obtain new money to head off default on the government's loans, the king called an Assembly of Notables in 1787.
Meanwhile, the royal court at Versailles was seen as being isolated from, and indifferent to, the hardships of the lower classes. While in theory King Louis XVI was an absolute monarch, in practice he was often indecisive and known to back down when faced with strong opposition. While he did reduce government expenditures, opponents in the parlements successfully thwarted his attempts at enacting much needed reforms. Those who were opposed to Louis' policies further undermined royal authority by distributing pamphlets (often reporting false or exaggerated information) that criticized the government and its officials, stirring up public opinion against the monarchy.[4]
Many other factors involved resentments and aspirations given focus by the rise of Enlightenment ideals. These included resentment of royal absolutism; resentment by peasants, laborers and the bourgeoisie toward the traditional seigneurial privileges possessed by the nobility; resentment of the Church's influence over public policy and institutions; aspirations for freedom of religion; resentment of aristocratic bishops by the poorer rural clergy; aspirations for social, political and economic equality, and (especially as the Revolution progressed) republicanism; hatred of Queen Marie-Antoinette, who was falsely accused of being a spendthrift and an Austrian spy; and anger toward the King for firing finance minister Jacques Necker, among others, who were popularly seen as representatives of the people.[5]