Sabtu, 17 November 2012

Awal masuk UKM (Unit Kesenian Mahasiswa) Angkatan 31

     Waktu semester 1, aku tidak ada kepikiran buat masuk UKM malah aku berminat ke BEMJ Sejarah (Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Sejarah) dan Pusdima. Tetapi setelah aku semester 3 angkatan 2011, aku penasaran mencoba mengikuti organisasi tersebut yakni UKM (Unit Kesenian Mahasiswa). Tadian sempat malu, karena kebanyakan yang masuk UKM angkatan baru semua yakni 2012. Biarlah walaupun usiaku beda berapa tahun, tetap aku jalani dengan santai. UKM sendiri terletak di Gedung G UNJ, disana ada beberapa macam seni: SS (Seni Suara) , S2R2 (Seni Rupa Rawamangun), Band, Vocal Grup, Tari Modern Dance, Tari Tradisional (Tari Saman), dan Teater.
      Awalnya aku, tertarik pada Tari Saman karena menurutku sangat penting bisa mempelajari tari tradisional Indonesia sekaligus mencintai dan melestarikan budaya Indonesia sendiri agar tidak diambil oleh negara lain. Perlunya melesatarikan Tari tradisional terhadap penerus-penerus generasi muda akan kebudayaannya, tidak boleh sampai hilang budaya itu. Aku ingin memilih S2R2, tetapi berat di cat dan kuas nya karena perlu biaya tambahan buat perlengkapan melukisnya. Akhirnya aku memutuskan untuk memilih SS (Seni Suara) bagian Padus, karena aku ingin melatih vokal suaraku agar tidak kecil. Aku terkadang suka diledekin sama teman kuliah karena suaraku yang kecil tetapi semenjak ikut SS suaraku terlatih dan volume suaraku tidak kecil lagi. Ya akan aku tunjukan bahwa aku mempunyai kemampuan yang mereka tidak miliki, karena bakatku adalah di Seni karena aku mempunyai keturunan dari keluarga Bapak ku adalah pintar menggambar dan bernyanyi. Pas di test jenis suaraku apa? Ternyata jenis suaraku Alto (Rendah), namun aku dimasukan oleh seniorku menjadi Mezzo (nada Sedang). Beruntung sekali aku dimasukan kedalam jenis suara Mezzo, latihan demi latihan aku jalani selama hampir sebulan. Walaupun aku, waktu SMA bukan Padus tetapi aku senang bisa menjalaninya. Tanggal 11 November 2012 adalah hari Pentas Karya bagi CAB 31 dimana aku dan teman-temanku akan menyanyikan lagu Bangun Pemudi Pemuda karangan A. Simanjuntak. Nama untuk Paduan suara kami adalah Marcia Choir, itupun nama yang diberikan oleh kak Citra.



  Foto ini ketika kami sebelum  pentas karya, dengan memasang wajah jelek kami (Marcia Choir)


        Tak berapa lama kemudian kami bersiap-siap, untuk berada di belakang panggung. Hati aku pun langsung dag dig dug tak karuan. Soalnya aku baru pertama kali tampil di atas panggung, aku belum terbiasa dengan suasana seperti sedang konser. Maklum saja, aku menjadi grogi karena yang menonton adalah orang tua dari mereka yang tampil maju diatas panggung. Orang tuaku yang hadir hanya IbuKu dan saudara kembarku karena Bapakku sedang kerja. Susunan acara dibacakan, satu demi persatu tiba saatnya Marcia Choir yang tampil diatas panggung, suasana pun hening semua. Lalu, pempimpin Diregen telah memberikan aba-aba bahwa pertanda sudah mulainya nyanyian tersebut diawali dengan bunyi piano lalu kami semuapun bernyanyi layaknya seorang Paduan Suara Terkenal. Karena dengan semangatnya, kami pun tidak grogi semua, menurut Ibuku penampilan Padus lebih enak didengar aku senang sekali pendapat Ibuku ini. Setelah tampilannya selesai kami semua pun masuk ke back stage dengan rasa lega bahwa sudah tampil di acara tersebut.^^

Analisa & Review SKI BAB 1

di temukan
BUDI DAYA PADI DENGAN RESTU DEWATA

            Masih mustahil menulis sejarah agraris tentang Pulau Jawa karena tiga alasan.Alasan yang pertama ialah karena kita masih kekurangan monografi lokal, kebanyakan pengarang adalah pedesaan Jawa walaupun ada usaha belakangan Yogya. Terdapat perbedaan yang besar antara desa satu dan lain, baik dalam tipe tanah pemilikan maupun dalam cara pengolahan. Kedua kesulitan dalam penulisan sejarah agraris Jawa disebabkan oleh ketidaksenambungan sumber-sumber.Untuk seluruh periode pertama yaitu dari abad ke-5 sampai yang ke-15, ada sumber epigrafi, yakni prasasti yang ditulis diatas batu atau kuningan. Kelebihannya adalah bahwa sumber-sumber tersebut mencakup hamper seluruh politik agraris para penguasa dan pembesar.
            Dari abad ke-16 sampai abad ke-18, perkembangan politik diselingi serentetan perang dalam negeri akan tetapi kita hanya dapat menduga-duga evolusi pedesaan padahal ini sangat penting. Kesulitan yang ketiga dalam penyusunan sejarah agraris Pulau Jawa, tulisan mengenai “masalah pertanian di Jawa” terus bermunculan tetapi sering juga meninggalkan taraf deskripsi atau analisis yang mengarah ke bidang teori.Berhadapan dengan masalah yang termasuk paling peka masa kini dan tiadanya monografi atau sumber yang berarti atau memuaskan atau sebaliknya dengan sumber yang berlimpah, sejarawan merasa sedikit kewalahan.Sintesis berikut merupakan salah satu percobaan penuh resiko dan merupakan bagian paling “lemah” dari penelitian ini.

Prasasti yang pertama yang ditenukan di Jawa berasal dari Pasundan sebelah utara, dekat kota Jakarta dan Bogor, dan kearah barat di daerah Lebak. Jumlahnya lima buah, disebutkan sebuah kerajaan bernama Taruma dengan raja Purnawarmma bukti jejak-jejak pertama masuknya budaya tulis. Prassasti yang pertama daerah Jawa Tengah, yang muncul pada awal abad ke-8, mengungkapkan persaingan di antara sesame raka atau rakaryan, yaitu penguasa yang telah berhasil menguasai sejumlah wanua atau “komunitas desa” dan berusaha meningkatkan pretisenya dengan memperbanyak bangunan suci. Teks-teks tertulis kita dapat menangkap proses integrasi pedesaan pada waktu itu sudah cukup maju. Wanua-wanua, di bawah kekuasaan pembesar mereka, yaitu para rama (“bapak” desa) tampaknya sudah terkelompok di dalam “federasi-federasi regional” atau watak yang namanya diberikan pada raka. Para penguasa itu tampaknya harus tunduk pada kebutuhan sejenis “potlatch” yang permanen: mereka kerap membuka tanah untuk dianugerahkan kepada komunitas Hindu atau Buddha, yang pada gilirannya membalas jasa dengan menganugerahkan kepada mereka gelar-gelar simbolis atau melancarkan usaha pembangunan secara besar-besaran seperti untuk candi Borobudur atau Prambanan.
Dalam abad ke-9 tanah Jawa dapat disatukan untuk pertama kali oleh Sri Maharaja Rakai Kayuwangi yang telah mengeluarkan prasasti-prasasti anatara 873 dan 882 rupanya raja satu-satunya yang berhak memberikan anugerah. Penggantinya, Dyah Balitung, raka di Watura memperkukuh keadaan pada tahun 907 memerintahkan pembuatan inskripsi panjang yang menyatakan dirinya sebagai keturunan Sanjaya, dan memyebutkan Jawa Timur sebagai daerah kekuasaannya. Namun peranan Jawa Timur, Raja Daksa Tulodong dan Wawa yang berkuasa sesudah Balitung masing-masing dengan masa pemerintahan yang sangat pendek akan tetapi pada tahun 928 Mpuk sindok memindahkan keratonya untuk selamnya ke Jawa Timur dan sejak saat itu  tidak ada lagi inskripsi yang berasal dari Jawa Tengan. Apapun yang terjadi sebenarnya jantung kekuasaan raja-raja Jawa selanjutnya dipindahkan ke timur selama enam abad lebih.Baru pada akhir abad ke-16 bakal muncul seorang pengusa Jawa Tengah yang berhasil mendirikan “kerajaan Mataram kedua”.
Sesudah 1205, dikeluarkannya prasasti Kediri perlu waktu enam puluh tahun lagi sebelum pada tahun 1264muncul prasasti yang pertama seorang raja yang memerintah di Singhasari.Namun kali ini peristiwa yang terjadi anatara kedua prasasti dapat diketahui berkat teks-teks sastra terutama Nagarakertagama dan Pararaton atau “Kitab Raja-raja”.Munculnya pemakaian tulisan tidak harus berarti ipso facto bahwa telah lahir sebuah masyarakt baru. Masyarakat yang terungkap melalui prasasti-prasasti pertama kelihatan pada saat tertentu berkembang dalam proses evolusi yang lamban. Wanua-wanua sedang bergabung menjadi watak-watak, namun tak ada tanda bahwa budi daya padi baru dikenal.Teori asal usul padi di Asia Tenggara sudah banyak diperdebatkan.Cukuplah kiranya dikatakan bahwa bagaimanapun juga, budi daya padi bukan sumbangan dari indianisasi. Namun yang pasti ialah bahwa kedua ideology baru, Hindu maupun Budha yang rupanya disini lebih rukun satu sama lain daripada di India, telah mempunyai andil besar di dalam usaha “penggabungan wilayah-wilayah” dan muncul konsep kerajaan. Dari awal sampai akhir periode yang tercantum pada prasasti itu tampil raja-raja berikhtiar memusakan hati agamawan agar mereka sendiri lalu mendapat charisma religius.
Bila disatu pihak para raja membebaskan tanah milik komunitas agama dari pajak, mereka sebaliknya dan menuntut kerja rodi dari semua desa yang langsung berada dibawah kekuasaan mereka. Keluarga raja dan semua orang keratin di sekelilingnya tidak mengkin hidup tanpa adanya “pajak-pajak kerajaan” dan “tugas-tugas wajib raja” yang justru menurut prasasti tidak dikenakan kepada sima. Karena itu, sruktur sosial tampaknya berlapis tiga: 1). Kaum agama yang terdiri dari para rohaniwan Hindu atau Buddha, dan yang menguasai desa-desa mereka yang bebas pajak, 2). Lingkungan keratin yang berkuasa di atas para raka lokal (dengan bantuan kaum agamawan) dan 3). Desa-desa biasanya yang dipunguti pajak oleh raja dengan perantaraan pemungut pajak dan juga dapat dianugerahkan sebagai “lungguh” kepada para raka yang kesetiannya dibutuhkan oleh raja.Kaum tani dari wanua, yang didukung kerajaan dalam usaha mereka membabat hutan rimba, menghasilkan surplus yang langsung masuk kraton. Dalam hal sima, kraton merelakan surplus hasil itu yang kemudian menjadi drwya hyang atau bwat hyang akan tetapi maksudnya tidak lain supaya para agamawan melaksanakan ritual kerajaan dengan baik dan menjaga candi-candi yang kebanyakan merupakan tempat pemujaan leluhur raja. Dari sudut manipulasi symbol, para raja berkepentingan memperbanyak jumlah sima, sedangkan dari sudut kekayaan material mereka juga berkepentingan untuk mengembangkan budi daya padi pada wanua.Di samping budidaya padi berkembang lamban, daerah persawahan masih merupakan kantung terbatas yang dibuka ditengah-tengah hutan.
Abad ke-15 dan ke-16 negara agraris mundur sampai akhirnya tata agraris itu hilang untuk sementara waktu.Sebelum agama Islam masuk ke pedalaman Jawa, sudah ada orang yang meninggalkan sinkretisme artodoks untuk menekuni aliran ritual baru, dan mengagungkan tokoh-tokoh penyelamat. Candi-candi Singhasari atau Panataran berfungsi utama sebagai penampung patung dewa, kidung yang berpatokan pada jumlah suku kata, jenis rima dan jumlah larik satu bait. Kemungkinan terjadi hubungan antara kaum kraton dan kaum agama, lemahnya ikatan kuasa antara raja dan para pewaris raka atau samegat. Untuk mencegah perkembangan tersebut diterapkan suatu politik “kekeluargaan” dengan menempatkan “kerabat” raja di tempat-tempat kunci dan mengambil selir diantara anak pembesar tertentu.
Kenyataan politik di sekitar tahun 1586, keluarga raja-raja Mataram memulihkan monarki demi kepentingannya sendiri dan menyatukan kembali wilayah Jawa di bawah kekuasaannya. Untuk mempertahankan kekuasaannya mereka atas wilayah yang telah mereka taklukan, cara pertama ialah mewajibkan penguasa-penguasa daerah, terutama yang kuat untuk tinggal di kraton beberapa bulan dalam setahun. Cara lain untuk memperkukuh kekuasaan yang mungkin juga dicontoh dari Majapahit, adalah dengan menerapakan politik perkawinan yang piawai. Cara ketiga adalah pembentukan sejenis polisi Negara yng berada langsung dibawah kekausaan raja.

           

Kedudukan dan Fungsi Sejarah Lokal dalam Sejarah Nasional

BAB  I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Pengembangan sejarah nasional sekarang ini sering kurang memberi makna bagi orang-orang tertentu terutama sejarah daerahnya sendiri. Banyak sejarah nasional tidak dapat menggali lebih mendalam tentang kajiannya dan bersifat umum saja. Sejarah daerah kita sendiri terkadang luput dari pengetahuan kita dan sejarah lokal juga bisa digunakan untuk mengoreksi generalisasi-generalisasi dari Sejarah nasional. Sejarah lokal sengaja dibuat untuk orang-orang dari zaman kemudian dari hidup pembuatnya.
Antara sejarah lokal dan Nasional sangatlah berhubungan. Dengan melakukan penelitian tentang sejarah lokal, kita tidak hanya memperkaya pembendaharaan sejarah Nasional tetapi lebih penting lagi memperdalam pengetahuan kita tentang dinamika sosiokultural dari masyarakat Indonesia yang majemuk ini secara lebih intim. Dengan ini kita makin menyadari berbagai corak penghadapan manusia dengan lingkungannya dan dengan sejarahnya serta memperdalam pula kesadaran sejarah kita untuk mendapatkan makna dari berbagai peristiwa sejarah yang dilalui.

1.2.      Rumusan Masalah
1.2.1.           Apa pengertian sejarah lokal dan sejarah nasional?
1.2.2.           Bagaimana keterkaitan hubungan antara sejarah lokal dan sejarah nasional?
1.2.3.           Bagaimana sejarah lokal dalam melengkapi sejarah nasional?
1.2.4.           Apa fungsi sejarah lokal sebagai dimensi mikro terhadap sejarah nasional?
1.2.5.           Bagaimana kedudukan sejarah lokal dalam sejarah nasional?

1.3.      Tujuan Penulisan
1.3.1.      Agar pembaca dapat mengetahui pengertian sejarah lokal dan sejarah nasional.
1.3.2.      Agar pembaca dapat mengetahui hubungan antara sejarah lokal dan sejarah nasional.
1.3.3       Agar pembaca dapat memahami fungsi sejarah lokal sebagai dimensi mikro dalam melengkapi sejarah nasional sebagai dimensi makro.        
1.3.4       Agar pembaca dapat mengetahui kriteria sejarah lokal dalam sejarah nasional.







BAB II
 PEMBAHASAN


2.1.   Pengertian Sejarah lokal dan Sejarah Nasional
Sejarah lokal (SL) sudah ada dan lama berkembang sebelum ada sejarah Nasional. SL itu berkaitan dengan kajian tentang asal-usul tempat tinggal (daerah) atau suku bangsa/etnis maupun kebudayaannya. Uraian tentang ini cukup banyak di Indonesia dan namanya: Babad, Riwayat, Hikayat, Tambo dan untuk itu disebut Sejarah Tradisional.
Sejarah lokal bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penulisan sejarah dalam lingkup yang terbatas yang meliputi suatu lokalitas tertentu. Keterbatasan lingkup itu biasanya dikaitkan dengan unsur wilayah ( unsur spatial ). Di indonesia sejarah lokal bisa disebut pula sebagai sejarah daerah. Namun tidak jarang yang mengklaim bahwa sejarah lokal sama dengan sejarah daerah. Taufik Abdullah misalnya dia tidak setuju lokal disamakan dengan daerah, karena daerah indentik dengan politik. Dan bisa mengabaikan etnis kultural yang sebenarnya, lebih mencerminkan unit lokalitas suatu perkembangan sejarah. Banyak sekali persamaan sejarah Lokal itu. Jordan menggariskan ruang lingkup sejarah lokal yaitu keseluruhan Lingkungan sekitar yang bisa berupa kesatuan wilayah seperti desa, kecamatan, kabupaten, kota kecil dan lain-lain. Pengertian lain yang diangkat sebagai definisi Sejarah lokal dalam buku ini yaitu studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu lingkungan sekitar (neighborhood) tertentu dalam dinamika perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan.
Sedangkan sejarah nasional digunakan sebagai suatu konsep resmi negara. Sejarah nasional lebih bersifat konsepsi umum yang mendukung penanaman nilai nasionalisme, biasanya merupakan hal-hal lokal yang dianggap memiliki pengaruh secara nasional dan kebangsaan.

2.2.  Hubungan antara Sejarah Lokal dan Sejarah Nasional
            Sejarah lokal seringkali dipahami sebagai bagian dari sejarah nasional. Hal ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa studi sejarah lokal diperlukan untuk mencari bahan sebagai penyusun nasional yang akhirnya hanya menghasilkan sejarah nasional versi lokal. Realitas yang mencul di daerah-daerah dapat berubah, sehingga kadang-kadang peristiwa nasional yang penting dalam kategori sejarah nasional bisa saja tidak memiliki arti apa-apa pada sejarah lokal. Sejarah nasional ditentukan oleh faktor-faktor ekstra lokal, bukan sekedar kumpulan-kumpulan peristiwa local, atau peristiwa lokal yang strategis namun juga tergantung pada kekuatan politik saat itu dan faktor internasional. Penyusunan sejarah nasional tidak hanya sekedar berdasarkan “pantas tidaknya” peristiwa untuk menjadi unsure dari sejarah nasional, namun juga berdasarkan logika keterkaitan peristiwa tersebut dengan latar belakang yang berlaku secara nasional.
            Sejarah lokal tidak harus memiliki kurun waktu periode yang sama dengan sejarah nasional. Karena lingkupnya yang “terbatas” maka sejarah lokal mempelajari manusia lebih mendetail. Tidak hanya manusia yang berperan sebagai tokoh sentral/besar dalam sebuah peristiwa namun juga manusia dengan setiap dinamika kehidupannya. Sejarah lokal menurut P.D. Jordan, di negara Barat penggunaan istilah sejarah lokal (local history) dikenal pula sebagai neighborhood history atau community history. Diartikan sebagai “the entire range of possibilities in a person’s immediate environment”. Pembatasan tidak hanya dari ruang lingkup spasial atau keruangan seperti desa, kota, kabupaten, dan provinsi namun juga pranata-pranata sosial serta unit-unit budaya yang ada di lingkungan tersebut. Unsur sosial dan budaya tersebut seperti keluarga, pola pemukiman, mobilitas sosial, pasar, teknologi pertanian, lembaga pemerintahan setempat. Sejarah lokal menurut P. D Jordan ini diartikan oleh I Gde Widja sebagai studi tentang kehidupan masyarakat atau komunitas khusus dari sebuah lingkungan tertentu dalam dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek kehidupan manusia.

2.3.  Sejarah Lokal dalam Melengkapi Sejarah Nasional
Sejarah lokal dapat melengkapi sejarah nasional, karena sejarah nasional hanya membicarakan sesuatu secara umum sehingga sifatnya terbatas. Sejarah lokal memberikan detail sehingga mampu melengkapi kekurangan sejarah nasional. Misalkan sejarah nasional membicarakan proklamasi 1945, pasti hanya membicarakan kisah di Jakarta. Hal ikhwal proklamasi di daerah/lokal akan menjadi fungsi pelengkap sejarah nasional. Hasil studi khusus pada sejarah lokal akan memberikan pengetahuan lebih umum terhadap kejadian-kejadian historis di tingkat lokal yang merupakan dimensi sejarah nasional.



2.4.  Fungsi Sejarah Lokal Sebagai Dimensi Mikro Terhadap Sejarah Nasional
            Dalam studi sejarah, salah satu masalah yang dihadapi sejarawan ialah penentuan kesatuan kerangka peristiwa yang menjadi pusat perhatiannya dalam melihat proses persambungan peristiwa-peristiwa. Dalam hubungan ini dikenal istilah unit-unit sejarah. Sejarawan perlu menentukan batas-batas yang akan memungkinkan mereka membatasi ruang lingkup kegiatannya. Misalnya membedakan antara yang disebut kejadian historis dengan kejadian non-historis. Cara yang lain yang juga bisa dijadikan dasar kategorisasi peristiwasejarah, yaitu melihat peristiwa-peristiwa itu dalam rangka apa yang disebut sebagai “unit sejarah”. Yang penting dalam kategorisasi peristiwa sejarah adalah adanya kerangka kesatuan yang di dalamnya mengandung pola-pola dari fakta-fakta yang berada dalam satu kerangka tersebut, di dalamnya juga mengandung aspek kesatuan temporal serta kesatuan spatial dari rangkaian peristiwanya. Dengan demikian, unit-unit historis itu terwujud dari berbagai kategori yangmenyebabkan adanya variasi lingkup sejarah.Sejarawan Inggris, A.J Toynbee meskipun mengakui adanya unit historisyang merupakan kesatuan negara dan bangsa, tapi lebih cenderung pada unithistoris makro. Sebaliknya kelompok sejarawan praktis lebih melihat kesatuan lapangan studi sejarah yang bisa dipahami itu berada pada lingkungan sejarah mikro.

2.5.   Kedudukan Sejarah Lokal dalam Sejarah Nasional
Seperti yang sudah diketahui bahwa sejarah lokal merupakan bagian sejarah yang bersifat mikro sedangkan untuk sejarah nasional sendiri bersifat makro. Yang mana sejarah nasional lebih bersifat konsepsi umum yang mendukung penanaman nilai nasionalisme. Dan untuk sejarah lokal sebagai mikro dapat memberikan bantuan dalam kajian sejarah nasional yang membicarakan sesuatu secara umum.
Hubungan erat antara mikro dan dimensi makro dalam sejarah bisa pula dilihat dalam hubungan studi sejarah di Indonesia. Menurut Kartodirdjo  bahwa banyak peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat lokal, sebenarnya hanya bisa dimengerti dengan baik apabila dihubungan dengan dimensi sejarah nasional. Menurutnya sebagai contoh yaitu hal-hal yang dibawa oleh proses westernisasi seperti diperkenalkannya sistem pajak, sewa tanah, birokrasi modern yang membawa fenomena baru dalam kehidupan penduduk pedesaan.
Keterkaitan antara sejarah lokal dengan sejarah nasional tidak dapat dikatakan bahwa kumpulan-kumpulan dari sejarah lokal itu dapat diartikan sejarah nasional. Karena  sejarah lokal sebagai penyempurnakan sejarah nasional dan memberi hubungan timbal balik.
Dan dapat disimpulkan bahwa dalam sejarah nasional lebih ditekankan pada gambaran yang lebih meluas serta lebih menyeluruh dari suatu lingkungan bangsa yang bersifat umum dengan tidak terlalu memperhatikan hal-hal kecil dalam peristiwa lokal, sedangkan dalam sejarah lokal  yang lebih diperhatikan adalah peristiwa-peristiwa di lingkungan sekitar yang mencangkup suatu lokalitas dan menempatkan sejarah nasional sebagai latar belakang dari peristiwa-peristiwa khusus di lokalitas tersebut. Dengan demikian sejarah nasional yang  hanya membicarakan sesuatu secara umum dan sifatnya terbatas. Sejarah Lokal memberikan detail sehingga mampu melengkapi kekurangan sejarah nasional.




BAB  III
PENUTUP

3.1.   Kesimpulan
            Sejarah lokal menjadi semakin kurang terlokasikan. Sejarah lokal bersifat melebar, horizonnya semakin mengembang menuju ke arah perbandingan-perbandingan yang meluas. Bahwa dalam sejarah nasional tekanan terutama diberikan pada gambaran yang lebih meluas serta menyeluruh dari suatu lingkungan bangsa dengan tidak terlalu memperhatikan detail-detail peristiwa lokal. Sedangkan dalam sejarah lokal yang mendapat perhatian utama justru peristiwa-peristiwa dilingkungan sekitar suatu lokalitas sebagi suatu kebulatan, dan menempatkan sejarah nasional sebagai latar belakang dari peristiwa khusus di lokalitas.
            Melakukan koreksi terhadap generalisasi-generalisasi yang sering dibuat dalam penulisan sejarah nasional. Banyaknya ketumpang tindihan pengertian dan pemahaman mengenai sejarah nasional dan sejarah lokal. Tidak semua peristiwa atau perubahan yang digeneralisir/dianggap menjadi fakta nasioanl yang berlaku bagi semua wilayah Indonesia.






DAFTAR PUSTAKA

·         Widya, I Gde. 1989. Sejarah Lokal suatu perspektif dalam pengajaran sejarah. Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
·         Priyadi, Sugeng. 2012. Sejarah Lokal Konsep, Metode dan Tantangannya. Yogyakarta: Ombak.