Minggu, 26 Mei 2013

ZIONISME DAN TRAGEDI PALESTINA



  1. Palestina Pada Masa Dinasti Ustmaniyah
Jika diajukan kepada kita persoalan konflik Israel-Palestina, maka yang terbayangkan dalam benak kita adalah begitu rumitnya konflik tersebut. Tak terhitung sudah berapa banyak proses damai dan resolusi PBB yang diupayakan untuk menyelesaikannya. Namun, semuanya berakhir dengan kegagalan, dalam pengertian masih berlanjutnya konflik tersebut.
Palestina adalah nama dari sebuah wilayah yang batas-batas geografisnya selama tiga milenium tampil dalam definisi-definisi yang berbeda. Setidaknya sejak awal-awal abad ke-20 hingga kini.
Palestina memiliki tiga definisi :
Pertama, “British Mandate of Palestine” yang diotorisasi oleh Kovenan Liga Bangsa- Bangsa pada 1920 menetapkan Palestina sebagai wilayah di antara Laut Mediterania, Lebanon, Suriah, Irak, Arab Saudi, serta Mesir. Mudahnya, ia meliputi wilayah yang kini dikenal sebagai Kerajaan Yordania, Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.
Kedua, pada 1947, melalui Resolusi 181, Majelis Umum PBB membagi wilayah Palestina di atas (minus Yordania yang pada 1946 diberikan Inggris kepada Dinasti Hasyimiah) menjadi dua bagian: “Israel” yang dicanangkan sebagai negara Yahudi dan “Palestina” sebagai negara Arab. Yang pertama kini hampir berusia 60 tahun sementara yang kedua tak kunjung berdiri hingga detik ini. Dalam pengertian Resolusi 181, Palestina didefinisikan sebagai Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza. Definisi ini diterima mayoritas negara di dunia—meskipun pada awalnya negara-negara Arab menolak— yang mengakui Israel dalam hubungan diplomatik mereka.
Ketiga, meskipun seringkali mengaitkan keberadaannya dengan Resolusi 181, Israel, setidaknya secara politik dan hingga saat ini, hanya mengakui “Palestina” sebagai Tepi Barat dan Jalur Gaza, minus Yerusalem Timur yang mereka aneksasi pasca Perang 1967 serta minus 10,2% wilayah di Tepi Barat yang sekarang berubah menjadi pemukiman- pemukiman Yahudi. Hal ini dibuktikan dengan keputusan parlemen Israel, Knesset, bahwa Yerusalem tidak untuk dibagi dengan Palestina. Dengan demikian, yang disebut ‘Palestina sekarang ini hanyalah 22% (versi PBB) atau 12% (versi Israel) dari tanah historis Palestina.
Hal tersebut merupakan keadaan Palestina yang kita ketahui sekarang, namun bagaimana sebenarnya sejarah Palestina? Palestina mempunyai sejarah yang sangat panjang yang dimana sebelumnya Palestina berada dibawah kekuasaan Islam dan silih berganti antara Islam dan Nasrani pada masa Perang Salib.

a.      Sejarah Tanah Palestina
Palestina merupakan Tanah yang dianggap suci oleh tiga agama besar di dunia yaitu: Yahudi, Kristen, dan Islam. Bagi umat Yahudi Tanah Suci adalah Tanah yang dijanjikan. Bagi umat Kristen adalah tempat Yesus dilahirkan, berkarya, wafat, bangkit dan naik ke surga. Bagi umat Islam merupakan tempat di mana Nabi Muhammad melakukan perjalanan naik ke surga dan menjadi kiblat sembahyang sebelum diganti dengan Mekkah.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad umat Muslim memilih seorang penerus Nabi yang bernama Abu Bakar (632-634 M). Penerus Nabi Muhammad yang kedua yang bernama Umar bin Alkhatab (634-644 M) yang memperluas Islam ke luar Semenanjung Arabia dengan mengalahkan orang Persia dan merebut wilayah Palestina tahun 634 M melalui pertempuran di Yarmuk. Dua tahun kemudian pasukannya mengepung kota Yerusalem sehingga Sophorne, saat itu menjadi Batrik Yerusalem, menyerahkan kunci kota kepada Umar untuk menghindarkan terjadinya pertumpahan darah. Umar tidak memaksakan Islam kepada penduduk beragama Islam dan Yahudi karena ia menganggap mereka sebagai “Orang-orang Alkitab” dan mengeluarkan sebuah keputusan yang menghormati tempat-tempat suci orang Kristen dan Yahudi. Hampir semua raja Arab Islam mengikuti keputusan Umar tersebut.
Setelah Umar wafat Utsman terpilih sebagai penerus yang ketiga. Pada masa kepemimpinannya Qur’an, kitab Suci umat Islam, berhasil disusun namun Utsman terbunuh, dan Ali saudara sepupu Nabi, terpilih sebagai khalifah ke empat tetapi masa kepemimpinannya yang sebentar ditandai dengan pemberontakan dan peperangan. Setelah terbunuhnya penerus keempat Ali, penguasa kota Damaskus merebut kekuasaan dan mendirikan sebuah dinasti raja-raja yang disebut Dinasti Umayah. Raja-raja Arab Muslim dari dinasti ini menghormati tempat-tempat suci umat Kristen dan Yahudi, dengan kekecualian Bukit Bait Allah yang tinggal reruntuhan. Umat Islam percaya bahwa dari sinilah Nabi Muhammad melakukan perjalanan naik ke surga. Dua mesjid dibangun pada lokasi yang sama, Kubah Batu pada taun 688 M oleh raja Abed Almalik bin Marwan dan pada tahun 712 M mesjid Alaqsa didirikan oleh putranya Walid bin Abed Almalik bin Marwan.
Selama pemerintahan Islam di Palestina, pemeluk Yahudi dan Kristen dibolehkan menjalankan agama mereka dengan tenang. Tetapi pada tahun 1065 pimpinan Islam beralih ke tangan dinasti Seljuk yang berbahasa Turki, yang kemudian dituduh menindas pemeluk Kristen karena membebani mereka dengan pajak tinggi yang disebut jiziyah. Raja-raja Eropa mengirim ekspedisi yang mengobarkan serangkaian perang dalam kurun waktu 200 tahun yang disebut Perang Salib (The Crusade). Selama dua abad Palestina dan kota Yerusalem berganti-tangan silih berganti antara pasukan Kristen dan Muslim. Perang Salib berakhir tahun 1270, dengan kemenangan pihak Islam dengan pimpinannya yang terkenal Salahuddin , yang sepenuhnya menguasai wilayah tersebut.[1]

b.      Palestina Pada Masa Dinasti Utsmaniyah
Dinasti Ottoman atau sering disebut dinasti Turki Utsmani berkuasa pada abad 13 sampai abad 19.[2] Pada masa kesultanan Utsmani keadaan Palestina menjadi damai, orang-oarang dengan keyakinan yang berbeda diizinkan hidup menurut keyakinannya sendiri, menjadikan umat Nasrani dan Yahudi menemukan toleransi, keamanan dan kebebasan di tanah Utsmani. Walaupun Utsmani merupakan negara yang diatur oleh orang-orang Islam, namun mereka tidak memaksakan rakyatnya untuk memeluk Islam, sehingga membuat orang-orang non-Islam menjadi nyaman dalam pemerintahan Islam. Namun hal tersebut berbeda dengan yang terjadi di negara lain, salah satu contohnya yaitu di sebagaian negara Eropa, orang-orang Yahudi di tindas hanya karena mereka orang Yahudi, mereka di paksa untuk hidup disebuah kampung khusus minoritas Yahudi ( Ghetto), dan kadang menjadi korban pembantaian masal. Berbeda dengan kesultanan Utsmani mereka memebangun pemerintahan dengan adil dan bijaksana.
Tanah Palestina adalah sebuah bukti pemerintahan Islam yang adil dan toleran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya pemerintahan Nabi Muhammad, Umar, Salahuddin dan sultan-sultan Utsmani dan bahkan orang non muslim pun sepakat akan hal itu. Mas pemerintahan yang adil ini berlanjut hingga abad ke 20. Dengan berakhirnya pemerintahan muslim pada tahun 1917, daerah tersebut jatuh dalam kekacauan, teror, pertumpahan darah dan perang.[3] Ketika berada di bawah Dinasti Turki Utsmani, dalam sejarahnya yang panjang selama 688 tahun (1299 – 1922), umat Islam dapat memimpin dunia, bahkan bangsa Yahudi musuh Islam paling keras, mereka dilindungi oleh umat Islam. Selama lebih dari 500 tahun, Dinasti Utsmani menjadi surga bagi pengungsian Yahudi yang diusir dan dibantai oleh kaum Kristen Eropa. Namun keharmonisan itu berakhir menyusul kemunculan gerakan Zionis Yahudi pada abad ke-19 yang memaksakan kehendak untuk mendirikan negara Yahudi di bumi Palestina.
Melalui lobi Yahudi, gerakan Zionis di bawah pimpinan Theodore Hertzl dengan berbagai cara, mereka meminta kepada Sultan Hamid II untuk menyetujui pendirian negara bagi Yahudi di Palestina. Namun Sultan menjawab dengan tegas, ”Saya tidak dapat menjual, walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), yang bukan milikku, tetapi milik rakyatku. Rakyatku telah memenangkan kesultanan ini dengan bertempur untuknya, dengan mengucurkan darah mereka dan menyuburkan tanah ini dengan darah mereka. Kami akan melindungi tanah ini dengan darah kami sebelum kami mengizinkannya dirampas dari kami. Turki Utsmani bukanlah milikku tetapi untuk rakyat Turki. Saya tidak dapat memberikan bagian manapun dari tanah ini. Silakan Yahudi menabung milyaran (uang) mereka.[4]
Namun harapan Sultan Abdul Hamid II untuk tetap mempertahankan al-Quds itu pupus bersamaan dengan diruntuhkannya Dinasti Turki Utsmani. Theodore Hertzel mengatakan pada Konferensi Zionis Internasional I di Basel (1897): "Pembebasan Palestina oleh bangsa Yahudi sangat tergantung dengan hancurnya Khilafah Utsmaniyah." Dengan runtuhnya Dinasti Turki Utsmani, tidak ada kekuatan yang dapat mempersatukan dan melindungi umat Islam secara menyeluruh. Akhirnya satu per satu wilayah Islam dikuasai oleh musuh-musuhnya termasuk al-Quds dapat dikuasai oleh Zionis Israel.

  1. Zionisme Sebagai Gerakan Dunia

  1. Zionisme
Berbicara tentang Zionisme, berarti kita sedang membahas tentang Yahudi sebagai sebuah gerakan politik. Seperti yang telah di ketahuai umat Yahudi atau Bani Israel merupakan kaum yang telah lama eksis sejak zaman para Nabi, namun Yahudi sebagai gerakan politik adalah fenomena baru yang lahir pada masa imperialisme dan kolonialisme Barat. Dengan kata lain, Zionisme adalah pemikiran baru, bukan bagian dari sejarah kaum Yahudi itu sendiri. Zionisme adalah gerakan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi untuk mendirikan negara khusus bagi komunitas Yahudi (di Palestina). Negara ini merupakan institusi yang mengumpulkan kembali orang-orang Yahudi yang sudah bertebaran di seluruh dunia (diaspora).
Istilah Zionisme berasal dari bahasa Ibrani “Zion” yang artinya adalah batu karang. Hal tersebut merujuk pada batu bangunan Haykal Sulaiman yang didirikan diatas bukit karang bernama Zion terletak di Jerusalem. Hal ini merupakan pandangan Zionisme dalam arti lama yaitu untuk kembali ke zion, namun konsep Zionisme kini telah berubah bukan sekedar makna keagamaan namun telah beralih pada makna politik, yaitu suatu gerakan untuk mengumpulkan bangsa Yahudi yang telah lama terpencar di seluruh belahan dunia, dengan Palestina sebagai tanah airnya dan Jerusalem sebagai ibu kotanya.[5]
            Zionisme dibawa ke dalam agenda dunia di akhir-akhir abad ke 19 oleh Theodor Herzl (1860-1904), seorang wartawan Yahudi asal Austria. Baik Herzl maupun rekan-rekannya adalah orang-orang yang memiliki keyakinan agama yang sangat lemah, bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Mereka melihat "Keyahudian" sebagai sebuah nama ras, bukan sebuah masyarakat beriman. Mereka mengusulkan agar orang-orang Yahudi menjadi sebuah ras terpisah dari bangsa Eropa, yang mustahil bagi mereka untuk hidup bersama, dan bahwa penting artinya bagi mereka untuk membangun tanah air mereka sendiri.[6]  Zionisme tidak semestinya dipersamakan dengan Yudaisme. Perilaku kejam yang diperlihatkan pemerintah Israel terhadap rakyat Palestina memang didukung oleh sebagian besar Yahudi Israel tetapi jelas bukan semua Yahudi.
            Kebanggaan akan keyakinan bahwa bangsa Yahudi adalah ras pilihan muncul ketika melihat bahwa nabi-nabi yang diturunkan sang pencipta berasal dari Bani Israil. Tetapi, apabila melihat sisi lainnya adalah, ketika nabi-nabi diturunkan oleh sang pencipta, keadaan masyarakatnya memang benar-benar dalam keadaan menjauh dari ajaran untuk menyembah yang maha kuasa, melenceng dari apa yang disampaikan oleh nabi sebelumnya. Maka sebenarnya disini terlihat bahwa memang manusia dan tempat turunnya Nabi selalu dalam keadaan yang jauh dari apa yang dinamakan Iman kepada Tuhan sang pencipta.
            Masyarakat Yahudi sesungguhnya telah diberi kelebihan dalam bidang akal, namun dalam hal keyakinan mereka selalu menyimpang dari ajarannya. Masyarakat Yahudi secara umum dapat dikatakan ulet, rajin, cerdas, pantang menyerah, itulah yang menyebabkan mereka mampu menjadi penguasa atau pengendali dalam hal kepentingan umum suatu negara dimana mereka tinggal. Berbagai bidang dikuasai dan dimonopoli oleh kalangan Yahudi seperti ekonomi, politik, teknologi dan pers. Pada dasarnya, keberhasilan bangsa Yahudi tidaklah datang secara tiba-tiba tetapi lebih merupakan perjuangan panjang dan kerja keras, setelah melaui perencanaan yang matang bahkan dalam keadaan tertekan sekalipun.



b.      Zionisme yang Mendunia
            Zionisme yang sudah mulai menemukan konsepnya yang jelas dengan dibawa oleh tokoh bernama Herzl, seuatu pijakan yang paling nyata yang dilakukan oleh anggota Zionis adalah dengan melakukan kongres Zionisme Internasional ke-1 di Basel ( 1897), kaum Yahudi Zionis menerapkan politik dua arah yaitu :
1.      Diam-diam menguasai dan menghanncurkan negara-negara non Yahudi di seluruh dunia . Proyek pertama mampu dilakukan oleh kaum Yahudi dengan kemampuan mereka sendiri dimana mereka seperti bagi orang Yahudi dimana pun ia berada, ia akan mendirikan suatu masyarakat aristokrasi atau sejenisnya Demokrasi oleh orang Yahudi digunakan hanyalah sebagai alat, sekedar sebuah kata, yang digunakan oleh para juru-bicara Yahudi sekedar sebagai suatu mekanisme perlindungan kelompok (‘group defence mechanism’) di tempat-tempat dimana mereka ditindas, serta untuk mendapatkan status persamaan; begitu telah mencapai kedudukan dan status yang sama, mereka segera berusaha mendapatkan privilese, hak-hak istimewa, yang seolah-olah telah menjadi hak mereka.
Politik yang pertama ini pada dasarnya adalah akibat dari apa yang dinamakan dengan politik diaspora ( penyebaran ) bangsa Yahudi ke berbagai negara. Penyebaran tersebut dilakukan bukan hanya ada masalah penyebaran – dalam hal ini karena terpaksa – tetapi juga karena keinginan bangsa Yahudi sendiri untuk eksis dan menjadi manusia yang mempunyai kemampuan untuk menunjukan diri mereka. Tujuan penyebaran bangsa Yahudi menuju ke berbagai wilayah di Eropa, dan Amerika .
Hal tersebut memang benar - benar terjadi, di negeri- negeri baru bangsa Yahudi, mereka mampu berkembang dan menguasai beberapa aspek kehidupan seperti ekonomi, politik dan ilmu pengetahuan. Bahkan nantinya menimbulkan kecemburuan dari bangsa penghuni sebelumnya ( penduduk asli ). Ada beberapa hal yang menjadikan kecemburuan yang timbul antara penduduk asli dan penduduk pendatang Yahudi diantaranya :
Pertama, prasangka keagamaan, walaupun kecil kemungkinan, masalahnya apakah kaum Yahudi itu menyadari atau tidak, bahwa bagi orang non- Yahudi, Yudaisme itu dipandang sebagai salah satu “agama wahyu” bersama-sama dengan agama Kristen dan Islam. Prasangka yang ada lebih banyak bersumber justeru dari sebab-sebab non-keagamaan. Apabila melihat di tanah suci Palestiena ketiga agama tersebut selalu hidup berdampingan namun karena pengaruh kecemburuan ekonomi dan sebagainya prasangka agamapun terpengaruh akan hal tersebut.

Kedua, prasangka ekonomi; Soal kecemburuan ekonomi barangkali memang ada. Sudah bukan rahasia lagi keuangan dunia itu ada dalam genggaman para bankir Yahudi; keputusan dan kebijaksanaan mereka menjadi hukum ekonomi keuangan bagi dunia Barat. Kecemburuan ekonomi mungkin dapat menjelaskan sebagai salah satu sebab dari timbulnya sikap anti-Yahudi; tetapi bisa juga kecemburuan ekonomi yang menimbulkan “masalah Yahudi” tersebut. Fakta-fakta yang dapat diambil tentang dominasi ekonomi dunia oleh Yahudi: Dinasti Rothschilds menguasai hampir semua perekonomian Eropa hingga Amerika. Di Eropa doninasi Dinasti Rothschilds diwariskan secara turun-temurun dan mendirikan cabang-cabang seperti di Inggris, Wina, Berli, Paris dan Napoli yang dipegang oleh anak laki-laki Dinasti Rothschilds.[7] Keluarga Rothschild menguasai Bank Sentral Inggris sementara Bank Sentral AS dengan menguasai Bank Sentral Inggris dan AS, mereka menguasai uang dunia.
Ketiga, antipati sosial,  soal antipati-sosial di masyarakat Barat yang berkulit putih dan Kristen – beban antipati itu di Barat bukan hanya dipikul oleh orang Yahudi, tetapi juga oleh orang kulit hitam, orang Cina, orang muslim, serta komunitas lain di dunia ini, yang jumlah mereka justeru lebih banyak daripada orang Yahudi. Disini terlihat minoritas Yahudi menjadi dalam keadaan yang tersudut karena masalah- masalah sebelumnya.
Ada hal yang menarik disini dimana orang Yahudi sama sekali tidak pernah menyebut-nyebut masalah politik sebagai penyebabnya, atau jika mereka nyaris kesleo lidah yang bernada sugestif ke arah itu, mereka segera membatasinya, atau melokalisasinya. Unsur politik yang sangat melekat pada masyarakat Yahudi, ialah dimana saja mereka itu berada mereka senantiasa akan membentuk semacam “negara” sendiri di dalam negara tuan-rumah. Ketertutupan sikap masyarakat Yahudi yang lebih mengutamakan hubungan internal di antara mereka sendiri, menjadi salah satu penyebab utama yang menimbulkan sikap anti-Yahudi. Mungkin sebenarnya itulah yang menjadi penyebab kecemburuan antara penduduk asli dan penduduk pendatang Yahudi. Dalam segi politik dominasi Yahudi dapat terlihat dalam pengaruhnya terhadap badan-badan dunia.
Salah satu yang paling berpengaruh dalam dunia yaitu PBB. Pembentukan PBB tahun 1945 adalah salah satu cara yang digunakan oleh Yahudi (Israel) dan Nasrani untuk menguasai dunia internasional. PBB (dibentuk tahun 1945) sidang pertamanya tahun 1946 memilih New York sebagai markas besarnya. Dulu markas besarnya di San Fransisco, tetapi orang-orang Yahudi berusaha keras memindahkannya ke New York, hal ini karena New York dianggap sebagai kota Yahudi tempat mereka berkumpul di AS. PBB adalah sebuah wadah dunia yang dikuasai Yahudi, mulai dari Majelis Umum hingga divisi-divisi kecilnya. Menurut data dari sekretariat jendral PBB, dalam MU tercatat orang-orang Yahudi sebagai berikut : H.S. Bluck (kepala urusan persenjataan), Anthony Colack (kepala urusan ekonomi), Annez Kar Rosenberg (Perundingan khusus urusan ekonomi), Dr. Shekweil (Kepala bidang HAM), H.S. Weilkof (kepala bagian pengawasan negara jajahan) dan Dr. I sanger (kepala bagian evakuasi) Dewan Keamanan (DK). Badan ini beranggotakan 15 negara dan 5 negara diantaranya negara-negara anggota tetap. Dalam penyelesaian konflik DK cenderung menggunakan cara-cara zionis sehingga penyelesaian sering berakhir melalui cara militeristik (contohnya cara penyelesaian masalah senjata pemusnah massal Irak). Hak Veto yang dimiliki beberapa anggota DK hanya digunakan untuk kepentingan zionis. Melaui hak veto inilah mereka leluasa menolak resolusi yang akan merugikan Yahudi dan Israel.[8]
Peristiwa Nazi Jerman atas prakarsa Hitler mengadakan propaganda besar-besaran untuk mengusir kaum Yahudi, akibatnya media masa yang didominasi Yahudi segera mengekspos beberapa versi pembantaian masal atas kaum Yahudi. Dengan mengangkat hal ini kaun Yahudi meminta keadilan. dalam hal ini PBB mengeluarkan resolusi 181 pada 29 November 1947 dan memberikan 55% tanah Palestina untuk Israel. Mengapa atas hal yang dilakukan oleh Nazi bangsa Palestina yang harus menanggung deritanya.
Ketertutupan Yahudi akan masalah politik mungkin bisa dikatakan bahwa dalam hal inilah Yahudi benar-benar fokus untuk mencapai tujuannya. Hal ini dapat dilihat bahwa Zionisme mempunyai peranan yang senantiasa penting dalam berbagai jabatan-jabatan penting dalam struktur negara, organisasi, masyarakat yang sangat menetukan pola perubahan masyarakat dan dunia.
Mengutip  tentang moto “Freemasonry” ialah membangun “Satu Pemerintahan Dunia” (“E Pluribus Unum”), dan “Tata Dunia Baru” (“Novus Ordo Seclorum”). Dari sebuah makna tersebut terlihat bahwa memang tujuan dari Zionisme adalah membentuk sebuah tatanan baru dunia dimana bangsa Yahudi adalah sebagai ras yang dianggap paling unggul didalamnya dan menguasai semua aspek kehidupan.
Melalui dominasi atas ekonomi, politik dan organisasi-organisasi dunia, Yahudi berhasil mengeruk keuntungan. Pada perkembangannya sepak terjang Yahudi tidak senantiasa mulus, karena ternyata ada juga pemimpin-pemimpin besar dunia yang anti dengan Yahudi dan menolak eksistensi Yahudi, walau karir politiknya atau bahkan nyawa taruhannya. diAmeriak muncul nama-nama seperti “ Benjamin Franklin “ dalam pidatonya mengatakan : “ Dulu orang Yahudi masuk ke negara ini sebagai imigran dekil. Kemudian mereka menguasai potensi-potensi alam kita, sekarang mereka begitu sombong kepada kita dengan memonopoli kekayaan alam kita. Mereka adalah iblis-iblis jahanam dan kelelawar penghisap darah rakyat Amerika. Tuan-tuan usir gembel-gembel laknat itu dari negeri ini sebelum terlambat, demi melindungi kepentingan rakyat kita dan generasi mendatang”.[9]

2.      Membentuk negara Yahudi di Palestina, Berbeda dengan proyek yang pertama, proyek yang kedua dilakukan dengan meminta perhatian dan melibatkan dukungan dari seluruh dunia. Untuk kepentingan itu kaum Zionis dengan cerdik hanya meributkan soal Palestina, dan persoalan itu tidak ditengarai sebagai rencana kolonialisasi yang ambisius yang tidak biasa. Gagasan tentang “Tanah Air” bagi orang Yahudi begitu cerdiknya disemai, sehingga menjadi tabir-asap yang efektif untuk merampas tanah milik bangsa Arab- Palestina. Agenda mengenai Palestina digunakan juga untuk menipu publik menutupi berbagai kegiatan rahasia yang mereka jalankan.
Politik yang kedua ini sebenarnya tidak identik dengan keinginan bangsa Yahudi seutuhnya karena kenyataannya tidak semua bangsa Yahudi setuju untuk pindah ke Palestina. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Yahudi tidak setuju dengan Zionisme walaupun sebenarnya Zionisme adalah penyebab eksodusnya masyarakat Yahudi dunia.
Untuk memperbaiki citra buruk yang telah tersemat dalam Bangsa Yahudi mereka mengatakan hanya ada satu jalan dan itu dengan mendominasi media massa internasional. Citra buruk yang sulit untuk merubahnya, tetapi setalah terjadinya tragedi Holocaust, hal tersebut dimanfaatkan dengan sedemikian rupa oleh bangsa Yahudi terutama dalam hal media massa untukm mengubah opini dunia tentang mereka. Hal tersebut berhasil menarik simpati masyarakat dunia terutama Eropa dan Amerika sehingga timbul rasa bersalah, iba, kasihan dan nantinya berubah menjadi bentuk dukungan.




C.           Upaya Mewujudkan Negara Yahudi  (Israel) Di Palestina
a.    Anggapan Zionisme, “Palestina sebagai tanah air bangsa Yahudi”
Theodorl Herzl seorang bapak Zionisme dunia, di Vienna pernah mengatakan, “Yahudi harus mempunyai Negara sendiri”. Pandangan zionisme herzl memang suatu harapan yang sangat diyakini betul akan menjadi kenyataan. Perjuangan zionisme untuk mewujudkan tanah air untuk bangsa Yahudi dilakukan dengan gigih, terorganisir dan penuh kewaspadaan. Herzl, sang pendiri Zionisme, suatu kali memikirkan Uganda, dan ini lalu dikenal sebagai "Uganda Plan." Sang Zionis kemudian memutuskan Palestina. Alasannya adalah Palestina dianggap sebagai "tanah air bersejarah bagi orang-orang Yahudi", dibandingkan segala kepentingan keagamaan apa pun yang dimilikinya untuk mereka.
Para punggawa Zionisme selalu mencari celah dan terus berusaha agar keinginannya untuk mendapatkan Palestina dapat terwujud. Mengingat bahwa Palestina masih berada di bawah kekuatan Islam Turki Ustmaniyah bahkan sampai konferensi Zionisme Internasional di Basel tahun 1897. Sebelum konferensi di Basel, Herzl pernah menawarkan sejumlah uang yang mencapai ratusan juta poundsterling kepada sultan Turki, Abdul Hamid II yang mengalami kesulitan financial Karena keadaan politik yang kacau. Akan tetapi Herzl menginginkan balasannya yaitu tanah Palestina untu bangsa Yahudi, Sultan tentu menolak tawaran tersebut, karena merugikan rakyat Palestina yang bukan Yahudi.
Pergerakan Zionisme tidak berhenti sampai disitu, Theodorl Herzl bersama Zionis lainnya terus mempropagandakan keinginannya kepada penguasa-penguasa di Negara lain, seperti kepada Inggris yang juga memiliki kepentingan untuk mendapatkan bantuan biaya PD I dari kelompok Zionis.      
Pengusiran penduduk Arab-Palestina merupakan keharusan dari pemikiran Zionisme, sebagaimana telah dijelaskan Herzl pada tahun 1895. Kaum pendahulu Zionis menempuh beberapa strategi untuk mencapai tujuan mereka. Pertama, melalui imigrasi orang Yahudi; pada saat awalitu banyak kaum Zionis dan para pendukungnya yang sungguh-sungguh percaya bahwa imigrasi orang Yahudi dalam jumlah besar akan dapat dalam waktu singkat memecahkan “masalah Palestina” dengan membangun masyarakat Yahudi sebagai mayoritas. Kedua, yang lain meyakini, bilamana sejumlah petani dan buruh Arab-Palestina ditutup kesempatan kerjanya, maka hasilnya akan memaksa orang Arab-Palestina bermigrasi meninggalkan Palestina. Ketiga, dalam kenyataannya, kedua rencana di atas itu kurang begitu diketahui, karena rencana ini lebih banyak diperbincangkan di koridor-koridor kekuasaan di Berlin, London, dan Washington, dalam rangka mendapatkan dukungan (‘sponsorship’) dunia internasional, sekaligus untuk mendapatkan legitimasi terhadap klaim kaum Yahudi sebagai imbangan terhadap hak-hak kaum mayoritas penduduk Arab-Palestina.
Sejak awal impian kaum Zionis mendirikan negara Yahudi mengacu kepada dua sasaran yang bersifat komplementer dan sekaligus mutlak, yaitu: (1) mendapatkan sebuah tanah air, dan (2) menggantikan penduduk mayoritas Arab-Palestina baik dengan cara tidak mengakui hak-hak mereka, mengatasi jumlah mereka, atau mengusir merekadengan cara apa pun. Meskipun Theodore Herzl dan kaum Zionis lainnya menjanjikan bahwa orang Yahudi dan Arab-Palestina akan hidup berdampingan secara damai dan bahagia, namun tidak ada jalan lain yang terbuka untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina sebagaimana yang didambakan oleh kaum Zionis kecuali dengan cara-cara tersebut di atas.

b.   Palestina di Bawah Mandat Inggris
Wilayah Palestina sebelum Perang Dunia I berada dalam kekuasaan Turki Utsmani. Akan tetapi, setelah kekalahan Turki Utsmani pada Perang Dunia I berdampak terhadap lepasnya wilayah Palestina yang kemudian dimandatkan kepada Inggris, salah satu pihak sekutu.
Pasca Perang Dunia I usaha pendekatan kepada pemerintahan Inggris semakin gencar dilakukan oleh kelompok Zionis. Lobbi Zionis Yahudi terhadap Inggris menghasilkan Deklarasi Balfour pada tanggal 12 November 1917 yang ditandatangani menteri luar Negeri Inggris Arthur James Balfour, dimana Inggris mengakui hak-hak Yahudi bersejarah atas Palestina, selanjutnya bersedia menyediakan fasilitas untuk terbentuknya satu tempat tinggal bersifat nasional bagi umat Yahudi.

c.    Deklarasi Balfour
Kaum Zionis dengan salah satu tokohnya Chaim Weizmann mampu meyakinkan menteri luar negeri Inggris bernama Arthur James Balfour dengan sejumlah iming-iming. Salah satu diantaranya adalah teknologi peralatan perang. Weizmann adalah seorang ahli kimia yang terkenal karena keberhasilannya mensintesiskan aseton melalui fermentasi. Aseton diperlukan untuk menghasilkan cordite, bahan pembakar dalam senjata api untuk melesatkan peluru. Ketika itu, Jerman memonopoli ramuan aseton tersebut sedangkan Inggris tidak bisa menciptakan aseton tersebut. Tanpa aseton takkan ada cordite, jadi tanpa cordite Inggris saat itu mungkin akan kalah perang besar. Dengan iming-iming transfer teknologi itulah Balfour menyetujui permintaan kaum Zionis untuk melakukan migrasi besar-besaran di bumi Palestina.
Memanfaatkan situasi yang ada Chaim Weizmann pada tahun 1917 menulis surat kepada Parlemen Inggris untuk meminta dukungan dan persetujuan Inggris untuk membentuk sebuah negara Yahudi di Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1917 menteri luar-negeri Inggeris Lord Balfour mengirimkan nota kepada Parlemen Inggris dengan isi, antara lain, “Menurut pendapat pemerintah Inggeris, mempertahankan Terusan Suez akan mencapai hasil maksimal dengan mendirikan suatu negara Palestina yang terikat dengan kita. Dan mengembalikan orang Yahudi ke Palestina di bawah pengawasan Inggeris akan menjamin rencana ini.” Parlemen Inggris memberikan persetujuannya, dan dengan dasar dukungan itu Lord Balfour kemudian mengirim surat pada hari yang tidak jauh berselang kepada Baron Rothschilds yang intinya berbunyi, “Pemerintahan Sri Baginda dengan segala senanghati merestui pembentukan Tanah Air bagi kaum Yahudi di Palestina, dan akan menggunakan segala upaya untuk memfasilitasi tercapainya tujuan ini”.
Pada tahun 1917 terdapat 56.000 orang Yahudi di Palestina, dan 644.000 orang Arab Palestina. Pada  1922 terdapat 83.797 orang Yahudi dan 633.000 orang Arab. Pada 1931 terdapat 174.616 orang Yahudi dan 750.000 orang Arab.[10] Dengan membentuk aliansi dengan Inggris, Zionis memperoleh dukungan kuat untuk menaklukan negeri tersebut. Tahun 1931, 20.000 keluarga petani diusir oleh orang-orang Zionis. Selain itu bukan hanya kehilangan tanah pedesaan saja, masyarakat Palestina juga tengah dihancurkan oleh proses kolinialisasi.
Dukungan Inggris kepada terbentuknya negara Yahudi itu terkait erat dengan kepentingan imperialisme global Inggris sebagaimana ditegaskan oleh Winston Churchill pada tahun 1921, menteri luar-negeri Inggris pada waktu itu, bahwa “Kalau Palestina tidak pernah ada, maka menurut keyakinan saya, demi kepentingan Imperium, ia harus diciptakan”.

d.   Keterlibatan Internasional dalam pendirian Negara Israel
Upaya mendirikan Negara Yahudi yang benar-benar dilandasi dan diakui hukum Internasional seperti apa yang diidamkan oleh bapak Zionisme Yahudi Internasional, semakin mendekati kenyataan pada tahun 1940-an. Suasana penyelesaian Perang Dunia II yang diakhiri oleh kenyataan pahit bangsa Yahudi yang menjadi korban kekejaman dan Pembantaian Nazi Jerman semakin ter”ekspos” oleh media massa Internasional yang banyak dikuasai pula oleh orang-orang Yahudi Zionis. Kecerdikan mengubah opini publik ini semakin memantapkan pergerakan Zionisme kepada sebuah perwujudan keinginan yang telah dinantikan sejak konferensi Zionisme Internasional di Bazel, yaitu membentuk negara Yahudi di tanah suci Palestina.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai kelanjutan dari Liga Bangsa-Bangsa (LBB), mengambil alih menangani masalah di Palestina tahun 1947 yang sebelumnya telah lama berada dalam kendali Inggris. Resolusi 181 yang ditetapkan pada 29 November 1947 menjadi landasan utama Israel mendeklarasikan Negara Israel sebagai Negara yang berdaulat penuh pada tanggal 14 Mei 1948. Resolusi 181 keluar atas tekanan pemerintahan Truman terhadap sejumlah Negara anggota PBB. Pemungutan suara di Majelis Umum PBB menghasilkan suara setuju sebanyak 33 suara, 13 suara menolak, dan 10 absten. Tetapi Inggris yang kala itu memegang mandat atas Palestina tidak mendukung pemisahan Palestina, disebabkan tekanan dari Negara-negara Arab.
Langkah kemudian setelah berdirinya Negara Israel tahun 1948, para Zionis Israel terus mengupayakan perluasan wilayah di Palestina. Gerakan teror terus dilancarkan guna mengusir bahkan sampai memusnahkan masyarakat Palestina di tanahnya sendiri. David Ben-Gurion, perdana menteri Israel yang pertama menyatakan “Perang Kemerdekaan” , dan bertekad untuk merebut kembali Tanah Israel yang ditetapkan oleh Konferensi Perdamaian Versailles 1919. “Kita harus menyerang di semua lini. Tidak hanya sebatas wilayah Palestina, atau wilayah Israel semata”.
            Konsep agama ini oleh Kaum Zionis sekuler tetap dipertahankan, tetapi lebih dikembangkan, disesuaikan dengan ambisi gerakan Zionisme. Ketika ditanya tentang batas-batas negara Israel, Chaim Weizmann, presiden pertama negara Israel, menegaskan, “Luas negara Israel tidak ditentukan. Luasnya akan disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah penduduknya”. Perdana menteri Israel Golda Meir bahkan dengan congkak menyatakan, luas negara Israel adalah “sejauh yang dapat dicapai oleh militer Israel”.








  1. Terorisme-Zionisme

  1. Teror Zionisme
Zionis Israel menjadikan terorisme sebagai strategi andalan untuk mewujudkan cita-citanya. Bagi Zionis Israel, cara-cara teroristik dianggap legal dan lazim jika ditujukan kepada Palestina dan para penentang terbentuknya negara Yahudi. Sejak Israel melakukan agresi ke Lebanon dan Palestina, lebih dari 750 warga sipil Lebanon dan 150 warga Gaza, Palestina gugur. Bagi Israel, tidak ada perbedaan antara warga sipil dan militer, dewasa dan anak-anak, laki-laki dan perempuan, semuanya bisa menjadi sasaran serangan militer jika hal itu diyakini dapat melemahkan musuhnya. Meski sebagian besar masyarakat internasional, kecuali AS dan Inggris, mengutuk tindakan biadab itu dan menyeru gencatan senjata, Zionis mengabaikannya. Dalam pandangan Israel, hukum internasional, tata krama pergaulan dunia dan bahkan resolusi PBB sekalipun tidak ada artinya kalau tidak sejalan dengan kepentingan nasionalnya.
Sebelum pemerintahan Israel didirikan, kelompok Haganah, Irgun, dan Stern bertanggung jawab atas pengusiran orang-orang Palestina dari tanah mereka. Organisasi teroris sebelum 1948 dan tentara Israel setelah 1948 ini melakukan kampanye teroris atas penduduk sipil Arab. Kelompok itu menerapkan cara-cara teror seperti penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan untuk mengusir orang-orang Palestina dari tanah mereka. Hampir tidak ada hari tanpa darah tertumpah dari orang yang tak bersalah di Palestina. Teror itu berlangsung secara massif dan keji sehingga terjadi pengungsian bangsa Palestina secara besar-besaran guna menyelamatkan diri. Tanah dan rumah-rumah yang telah ditinggalkan bangsa Palestina kemudian diduduki dan dijadikan permukiman Yahudi. Tidak ada pembantaian yang ditujukan kepada kelompok-kelompok bersenjata tetapi kepada orang-orang sipil.
Beberapa contoh setengah abad pemerintahan terror Israel :
1.      Pembantaian King David, 1946 :92 tewas
Serangan ini dilakukan oleh organisasi teroris Irgun dan dengan sepegetahuan David Ben Gurion, penjabat teras Zionis pada masa itu. Sejumlah 92 orang terdiri dari orang Inggris, Palestina dan Yahudi terbunuh dan 45 terluka parah.
2.      Pembantaian Baldat Al-Shaikh, 1947 : 60 tewas
60 orang tewas yang diantaranya wanita, anak-anak dan orang tua kehilangan nyawanya karena serangan yang dilakukan oleh 150-200 teroris zionis. Serangan pada pukul 2 pagi dan berlangsung selama 4 jam.
3.      Pembantaian Yehida, 1947 : 13 tewas
Yehida pemukiman pertama Zionis, para penyerang memakai pakaian tentara Inggris menembaki orang-orang Islam.
4.      Pembantaian Khisas, 1947 : 10 tewas
Dua mobil anggota Haganah memasuki desa Khisas di perbatasan Libanon dan melakukan penembakan pada seseorang yang melintasi jalan mereka.
5.      Pembantaian Qazaza, 1947 : 5 anak tewas
5 anak tewas ketika teroris zionis menembaki sebuah rumah dengan membabi buta.
6.      Pembantaian Hotel Semirami, 1948 : 19 tewas
Dalam upaya membuat warga Palestina merasa tidak aman dan memaksa mereka keluar dari Yerusalem. Sekelompok Zionis yang dipimpin oleh persiden pertama Israel David Ben Gurion meledakan hotel Semirami dan 19 orang tewas.
7.      Pembantaian Naseral al-Din, 1948
Sekelompok teroris Zionis berpakaian tentara Arab menembaki penduduk kota yang meninggalkan rumahnya. Hanya 40 orang yang lolos dari pembunuhan ini. Kemudian, desa tersebut terhapus dalam peta.
8.      Pembantaian Tantura, 1948 : 200 tewas
Tantura, sekarang rumah dari sekitar 1500 pemukim Yahudi, adalah sebuah tempat pembantaian besar-besaran atas orang-orang Islam pada tahun 1948.
9.      Pembantaian Masjid Dahmash 1948 : 100 tewas
Pembantaian 100 orang Islam bermaksud mencari tempat perlindungan justru dibantai di masjid ini. Para penduduk yang ketakutan di Laydda dan Ramla meninggalkan tanahnya. Sekitar 60.000 orang Palestina keluar dari negerinya dan 350 orang lebih tewas dalam perjalanan karena kesehatan yang parah.
10.  Pembantaian Dawayma, 1948 : 100 tewas
Sebagaian besar terbunuh tengah berada di Masjid untuk melakukan solat Jumat. Wanita-wanita di Palestina diperkosa selama serangan ini, sementara rumah-rumahnya yang masih ada penghuni di dalamnya diledakan dengan dinamit.
11.  Pembantaian Houla, 1948 : 85 tewas
Tentara Isreal memaksa 85 orang untuk masuk ke dalam sebuah rumah, kemudian rumah itu dibakar, penduduk yang ketakuatan melarikan diri ke Beirut. Dari 12.000 penduduk asli Houla, hanya 1200 orang yang tersisa.


12.  Pembantaian Salha, 1948 : 105 tewas
Penduduk disuatu desa dipaksa masuk ke masjid lalu mereka dibakar hingga tidak ada seorangpun yang tersisa hidup-hidup.
13.  Pembantaian Deir Yasin, 1948 : 254 tewas
Pembantaian di Deir Yassin pada 1948  yang dilakukan oleh organisasi teroris Irgun dan Stem, yang dipimpin Menachem Begin yang kemudian menjadi PM Israel. Pada malam 9 April 1948, rumah-rumah penduduk di Deir Yassin dibakar dan semua orang yang mencoba melarikan diri dari api ditembak mati. Selama serangan ini, wanita-wanita hamil dicabik perutnya dengan bayonet, anggota tubuhnya dipotong-potong, dan lainnya diperkosa. Sekitar 52 orang anak-anak disayat-sayat tubuhnya di depan mata ibunya, lalu mereka dibunuh secara keji. Para Zionis menjadikan serangan seperti itu untuk meneror orang-orang Palestina dan mengusir mereka dari tanah mereka sehingga imigran Yahudi punya tempat untuk hidup.

14.  Pembantaian di Qibya, 1953 : 96 tewas
Pembantaian Qibya, yang terjadi pada 13 Oktober 1953, meliputi penghancuran 40 rumah dan pembunuhan 96 orang sipil, sebagian besar di antara mereka wanita dan anak-anak. Unit “101” ini dipimpin oleh Ariel Sharon, yang nantinya juga menjadi salah satu perdana menteri Israel. Sekitar 600 tentaranya mengepung desa itu dan memutuskan hubungannya dengan seluruh desa Arab lainnya. Begitu memasukinya pada pukul 4 pagi, para teroris Zionis mulai secara terencana memusnahkan rumah-rumah dan membunuh penduduk-penduduknya.
15.  Pembantaian Kafr Qasem, 1956 : 49 tewas
Serangan di Kafr Qasem, ketika 49 orang tak bersalah, tanpa memandang wanita atau anak-anak, tua atau muda, dibunuh dengan brutal, terjadi pada 29 Oktober 1956. Pada hari itu juga, Israel melancarkan serangannya atas Mesir. Tentara garda depan Israel melakukan pembersihan sekitar pukul 4 sore, dan menyatakan bahwa mereka telah mengamankan perbatasan. Mereka berkata pada pejabat setempat di kota-kota perbatasan bahwa jam malam untuk kota tersebut mulai hari itu akan dimulai pukul 5 sore, bukan 6 sore seperti biasanya. Salah satu kota tersebut adalah Kafr Qasem, di dekat pemukiman Yahudi di Betah Tekfa. Para penduduk kota baru diberitahu tentang jam malam tersebut pada pukul 4.45 sore. Pejabat setempat memberi tahu tentara Israel bahwa sebagian besar penduduk kota bekerja di luar kota, dan begitu mereka kembali dari kerjanya, mereka tidak mungkin mengetahui tentang perubahan tersebut. Pada saat yang sama, tentara Israel mulai mendirikan barikade di jalan masuk kota. Sementara itu, orang-orang yang bekerja di luar kota pun mulai kembali ke rumahnya. Tentara Israel menghentikan setiap kendaraan yang mencoba memasuki kota itu dan menembak mati orang-orang di dalamnya. Di antara mereka ada anak laki-laki berusia 15 dan 16 tahun, remaja putri, dan wanita hamil. Orang-orang yang mendengarkan keributan dan keluar melihat apa yang terjadi ditembak karena melanggar jam malam begitu mereka melangkah ke luar. Tentara Israel diperintahkan bukan untuk menahan, melainkan menembak mati semua yang melanggar jam malam.
16.  Pembantaian Khan Yunis, 1956 : 275 tewas
Tentara Israel yang menyerang kamp-kamp pengungsian di Khan Yunis membunuh 275 orang.
17.  Pembantaian di Kota Gaza, 1956 : 60 tewas
Dalam serangan ini, para Zionis membunuh 60 orang, termasuk wanita dan anak-anak.
18.  Pembantaian Fakhsni, 1981 : 150 tewas
Akibat serangan udara Israel atas daerah Libanon, 150 orang tewas dan 600 luka-luka.
  1. Pembantaian di Mesjid Ibrahimi, 1994: 50 tewas
Pada hari Jum’at, 25 Februari 1994, suatu pembantaian mengerikan terjadi di Palestina. Dalam sebuah serangan yang dilakukan oleh seorang Yahudi Zionis atas umat Islam yang tengah sholat Jum’at di Mesjid Ibrahimi, lebih dari 50 orang Islam tewas dan hampir 300 orang luka-luka. Beberapa orang yang terluka kemudian tewas karena luka yang dideritanya. Pembantaian ini dilakukan oleh seorang Yahudi yang tinggal di pemukiman Yahudi Kiryat Arba di Hebron. Sang teroris juga menjadi anggota cadangan di angkatan bersenjata Israel dan anggota sebuah organisasi teroris Zionis. Sumber-sumber di Israel melaporkan bahwa ia mengenakan seragam militer selama serangan tersebut. Penyerang menyusup ke dalam mesjid dan bersembunyi di belakang sebuah tiang sewaktu orang Islam melaksanakan sholat Subuh. Ketika mereka tengah rukuk bersama, ia memberondong mereka dengan sebuah senapan mesin. Menurut laporan saksi mata, ia tidak melakukannya sendiri, ia hanya menarik picunya saja. Begitu senjatanya kosong, temannya mengganti dengan yang baru. Setelah kejadian ini, tentara Israel mengepung mesjid itu dan mencegah wartawan mendekatinya. Begitu banyak orang yang tewas ketika para tentara ini menembaki orang-orang Islam Palestina yang berdemonstrasi di sekitar mesjid untuk memprotes serangan tersebut.
  1. Pembantaian Qana, 1996: 109 tewas
Lebih dari 100 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, kehilangan jiwanya di kamp pengungsi Qana ketika mereka dibom oleh angkatan udara Israel. Pemandangan mengerikan karena pembantaian ini, termasuk anak-anak yang dipenggal kepalanya, tidak akan pernah terlupakan. Suatu tim pemeriksa dari PBB memastikan bahwa pembantaian ini disengaja.
  1. Pembantaian Sabra dan Shatilla
serangan Israel atas kamp pengungsi Sabra dan Shatilla selama penyerangan Libanon 1982 akan tercatat dalam sejarah sebagai salah satu tindakan pembantaian etnis terburuk yang pernah dilakukan oleh Zionis. Selama serangan oleh kelompok Phalangis Kristen Libanon, dengan dukungan dan arahan tentara-tentara Israel, lebih dari 3000 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, terbunuh. Penelitian dan penyelidikan setelah itu memperlihatkan bahwa Ariel Sharon, yang saat itu menteri pertahanan Israel dan sekarang perdana menteri, bertanggung jawab atas operasi tersebut. Karena serangan berdarah ini, sekarang pun ia masih dikenal sebagai “Tukang Jagal dari Libanon." Bagi setiap orang yang berada di kamp pengungsian Sabra dan Shatilla di Beirut pada 18 September 1982, namanya (Ariel Sharon) sama artinya dengan penjagalan, dengan mayat-mayat yang membengkak, dengan wanita-wanita yang terburai isi perutnya, dengan mayat-mayat bayi, dengan pemerkosaan, penjarahan dan pembunuhan.

  1. Berdirinya Palestina
            Palestina berdiri sebagai sebuah negara secara resmi diumumkan Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yaser Arafat yang kemudian menjadi presiden Palestina di pusat pemerintahan di Pengasingan, Aljazair. Tapi PBB tidak mengakuinya. Sebaliknya lembaga internasional turut memberi dukungan kepada Palestina. Sekretaris Jenderal PBB mengundang Yasser Arafat untuk menyampaikan pidato dalam sidang di New York pada Desember 1988. Namun pemerintah Amerika Serikat menolak memberi visa masuk pada Arafat, sidang dipindahkan ke Jenewa. [11]






[2] http://fahmirusydi.multiply.com/journal/item/11, diakses pada 4 Maret 2010, pukul 15.00 wib.
[3] Harun Yahya, Palestina 1: Zionisme dan Terorisme Israel, ( Bandung : Dzikra,2003), h. 41.
[5] Z.A. Maulani,  Zionisme : Gerakan menaklukan Dunia, ( Jakarta:Daseta, 2002), h.7
[6] Harun Yahya, Op.Cit , h. 45
[7] Z.A. Maulani, Op.Cit, h. 209
[8] http://ainuamri.blogsome.com/2009/09/30/p606/, diakses pada 6 Maret 2010, pikul 15.00
[9] Faud Bin Sayyid Abdurrahman Arrifa’i, Yahudi dalam Informasi dan Organisasi, ( Jakarta:Gema Insani Press. 2002 ), h. 69.
[10] Ralp Schoenman, Sisi Gelap Zionisme (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h.51
[11] Anwar M. Aris. Israel Is Not Real, (Jakarta : Rajut Publishing House, 2009), hal. 38