Waktu semester 1, aku tidak ada kepikiran buat masuk UKM malah aku berminat ke BEMJ Sejarah (Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Sejarah) dan Pusdima. Tetapi setelah aku semester 3 angkatan 2011, aku penasaran mencoba mengikuti organisasi tersebut yakni UKM (Unit Kesenian Mahasiswa). Tadian sempat malu, karena kebanyakan yang masuk UKM angkatan baru semua yakni 2012. Biarlah walaupun usiaku beda berapa tahun, tetap aku jalani dengan santai. UKM sendiri terletak di Gedung G UNJ, disana ada beberapa macam seni: SS (Seni Suara) , S2R2 (Seni Rupa Rawamangun), Band, Vocal Grup, Tari Modern Dance, Tari Tradisional (Tari Saman), dan Teater.
Awalnya aku, tertarik pada Tari Saman karena menurutku sangat penting bisa mempelajari tari tradisional Indonesia sekaligus mencintai dan melestarikan budaya Indonesia sendiri agar tidak diambil oleh negara lain. Perlunya melesatarikan Tari tradisional terhadap penerus-penerus generasi muda akan kebudayaannya, tidak boleh sampai hilang budaya itu. Aku ingin memilih S2R2, tetapi berat di cat dan kuas nya karena perlu biaya tambahan buat perlengkapan melukisnya. Akhirnya aku memutuskan untuk memilih SS (Seni Suara) bagian Padus, karena aku ingin melatih vokal suaraku agar tidak kecil. Aku terkadang suka diledekin sama teman kuliah karena suaraku yang kecil tetapi semenjak ikut SS suaraku terlatih dan volume suaraku tidak kecil lagi. Ya akan aku tunjukan bahwa aku mempunyai kemampuan yang mereka tidak miliki, karena bakatku adalah di Seni karena aku mempunyai keturunan dari keluarga Bapak ku adalah pintar menggambar dan bernyanyi. Pas di test jenis suaraku apa? Ternyata jenis suaraku Alto (Rendah), namun aku dimasukan oleh seniorku menjadi Mezzo (nada Sedang). Beruntung sekali aku dimasukan kedalam jenis suara Mezzo, latihan demi latihan aku jalani selama hampir sebulan. Walaupun aku, waktu SMA bukan Padus tetapi aku senang bisa menjalaninya. Tanggal 11 November 2012 adalah hari Pentas Karya bagi CAB 31 dimana aku dan teman-temanku akan menyanyikan lagu Bangun Pemudi Pemuda karangan A. Simanjuntak. Nama untuk Paduan suara kami adalah Marcia Choir, itupun nama yang diberikan oleh kak Citra.
Foto ini ketika kami sebelum pentas karya, dengan memasang wajah jelek kami(Marcia Choir)
Tak berapa lama kemudian kami bersiap-siap, untuk berada di belakang panggung. Hati aku pun langsung dag dig dug tak karuan. Soalnya aku baru pertama kali tampil di atas panggung, aku belum terbiasa dengan suasana seperti sedang konser. Maklum saja, aku menjadi grogi karena yang menonton adalah orang tua dari mereka yang tampil maju diatas panggung. Orang tuaku yang hadir hanya IbuKu dan saudara kembarku karena Bapakku sedang kerja. Susunan acara dibacakan, satu demi persatu tiba saatnya Marcia Choir yang tampil diatas panggung, suasana pun hening semua. Lalu, pempimpin Diregen telah memberikan aba-aba bahwa pertanda sudah mulainya nyanyian tersebut diawali dengan bunyi piano lalu kami semuapun bernyanyi layaknya seorang Paduan Suara Terkenal. Karena dengan semangatnya, kami pun tidak grogi semua, menurut Ibuku penampilan Padus lebih enak didengar aku senang sekali pendapat Ibuku ini. Setelah tampilannya selesai kami semua pun masuk ke back stage dengan rasa lega bahwa sudah tampil di acara tersebut.^^
Masih mustahil menulis sejarah agraris tentang Pulau Jawa
karena tiga alasan.Alasan yang pertama ialah karena kita masih kekurangan
monografi lokal, kebanyakan pengarang adalah pedesaan Jawa walaupun ada usaha
belakangan Yogya. Terdapat perbedaan yang besar antara desa satu dan lain, baik
dalam tipe tanah pemilikan maupun dalam cara pengolahan. Kedua kesulitan dalam
penulisan sejarah agraris Jawa disebabkan oleh ketidaksenambungan
sumber-sumber.Untuk seluruh periode pertama yaitu dari abad ke-5 sampai yang
ke-15, ada sumber epigrafi, yakni prasasti yang ditulis diatas batu atau kuningan.
Kelebihannya adalah bahwa sumber-sumber tersebut mencakup hamper seluruh
politik agraris para penguasa dan pembesar.
Dari abad ke-16 sampai abad ke-18, perkembangan politik
diselingi serentetan perang dalam negeri akan tetapi kita hanya dapat menduga-duga
evolusi pedesaan padahal ini sangat penting. Kesulitan yang ketiga dalam
penyusunan sejarah agraris Pulau Jawa, tulisan mengenai “masalah pertanian di
Jawa” terus bermunculan tetapi sering juga meninggalkan taraf deskripsi atau
analisis yang mengarah ke bidang teori.Berhadapan dengan masalah yang termasuk
paling peka masa kini dan tiadanya monografi atau sumber yang berarti atau
memuaskan atau sebaliknya dengan sumber yang berlimpah, sejarawan merasa
sedikit kewalahan.Sintesis berikut merupakan salah satu percobaan penuh resiko
dan merupakan bagian paling “lemah” dari penelitian ini.
Prasasti
yang pertama yang ditenukan di Jawa berasal dari Pasundan sebelah utara, dekat
kota Jakarta dan Bogor, dan kearah barat di daerah Lebak. Jumlahnya lima buah,
disebutkan sebuah kerajaan bernama Taruma dengan raja Purnawarmma bukti
jejak-jejak pertama masuknya budaya tulis. Prassasti yang pertama daerah Jawa
Tengah, yang muncul pada awal abad ke-8, mengungkapkan persaingan di antara
sesame raka atau rakaryan, yaitu penguasa yang telah berhasil menguasai
sejumlah wanua atau “komunitas desa” dan berusaha meningkatkan pretisenya
dengan memperbanyak bangunan suci. Teks-teks tertulis kita dapat menangkap
proses integrasi pedesaan pada waktu itu sudah cukup maju. Wanua-wanua, di
bawah kekuasaan pembesar mereka, yaitu para rama (“bapak” desa) tampaknya sudah
terkelompok di dalam “federasi-federasi regional” atau watak yang namanya
diberikan pada raka. Para penguasa itu tampaknya harus tunduk pada kebutuhan
sejenis “potlatch” yang permanen: mereka kerap membuka tanah untuk
dianugerahkan kepada komunitas Hindu atau Buddha, yang pada gilirannya membalas
jasa dengan menganugerahkan kepada mereka gelar-gelar simbolis atau melancarkan
usaha pembangunan secara besar-besaran seperti untuk candi Borobudur atau
Prambanan.
Dalam
abad ke-9 tanah Jawa dapat disatukan untuk pertama kali oleh Sri Maharaja Rakai
Kayuwangi yang telah mengeluarkan prasasti-prasasti anatara 873 dan 882 rupanya
raja satu-satunya yang berhak memberikan anugerah. Penggantinya, Dyah Balitung,
raka di Watura memperkukuh keadaan pada tahun 907 memerintahkan pembuatan
inskripsi panjang yang menyatakan dirinya sebagai keturunan Sanjaya, dan
memyebutkan Jawa Timur sebagai daerah kekuasaannya. Namun peranan Jawa Timur, Raja
Daksa Tulodong dan Wawa yang berkuasa sesudah Balitung masing-masing dengan
masa pemerintahan yang sangat pendek akan tetapi pada tahun 928 Mpuk sindok
memindahkan keratonya untuk selamnya ke Jawa Timur dan sejak saat itutidak ada lagi inskripsi yang berasal dari
Jawa Tengan. Apapun yang terjadi sebenarnya jantung kekuasaan raja-raja Jawa
selanjutnya dipindahkan ke timur selama enam abad lebih.Baru pada akhir abad
ke-16 bakal muncul seorang pengusa Jawa Tengah yang berhasil mendirikan
“kerajaan Mataram kedua”.
Sesudah
1205, dikeluarkannya prasasti Kediri perlu waktu enam puluh tahun lagi sebelum
pada tahun 1264muncul prasasti yang pertama seorang raja yang memerintah di
Singhasari.Namun kali ini peristiwa yang terjadi anatara kedua prasasti dapat
diketahui berkat teks-teks sastra terutama Nagarakertagama dan Pararaton atau
“Kitab Raja-raja”.Munculnya pemakaian tulisan tidak harus berarti ipso facto
bahwa telah lahir sebuah masyarakt baru. Masyarakat yang terungkap melalui
prasasti-prasasti pertama kelihatan pada saat tertentu berkembang dalam proses
evolusi yang lamban. Wanua-wanua sedang bergabung menjadi watak-watak, namun
tak ada tanda bahwa budi daya padi baru dikenal.Teori asal usul padi di Asia
Tenggara sudah banyak diperdebatkan.Cukuplah kiranya dikatakan bahwa
bagaimanapun juga, budi daya padi bukan sumbangan dari indianisasi. Namun yang
pasti ialah bahwa kedua ideology baru, Hindu maupun Budha yang rupanya disini
lebih rukun satu sama lain daripada di India, telah mempunyai andil besar di
dalam usaha “penggabungan wilayah-wilayah” dan muncul konsep kerajaan. Dari
awal sampai akhir periode yang tercantum pada prasasti itu tampil raja-raja
berikhtiar memusakan hati agamawan agar mereka sendiri lalu mendapat charisma
religius.
Bila
disatu pihak para raja membebaskan tanah milik komunitas agama dari pajak,
mereka sebaliknya dan menuntut kerja rodi dari semua desa yang langsung berada
dibawah kekuasaan mereka. Keluarga raja dan semua orang keratin di
sekelilingnya tidak mengkin hidup tanpa adanya “pajak-pajak kerajaan” dan
“tugas-tugas wajib raja” yang justru menurut prasasti tidak dikenakan kepada
sima. Karena itu, sruktur sosial tampaknya berlapis tiga: 1). Kaum agama yang
terdiri dari para rohaniwan Hindu atau Buddha, dan yang menguasai desa-desa mereka
yang bebas pajak, 2). Lingkungan keratin yang berkuasa di atas para raka lokal
(dengan bantuan kaum agamawan) dan 3). Desa-desa biasanya yang dipunguti pajak
oleh raja dengan perantaraan pemungut pajak dan juga dapat dianugerahkan
sebagai “lungguh” kepada para raka yang kesetiannya dibutuhkan oleh raja.Kaum
tani dari wanua, yang didukung kerajaan dalam usaha mereka membabat hutan
rimba, menghasilkan surplus yang langsung masuk kraton. Dalam hal sima, kraton
merelakan surplus hasil itu yang kemudian menjadi drwya hyang atau bwat hyang
akan tetapi maksudnya tidak lain supaya para agamawan melaksanakan ritual
kerajaan dengan baik dan menjaga candi-candi yang kebanyakan merupakan tempat
pemujaan leluhur raja. Dari sudut manipulasi symbol, para raja berkepentingan
memperbanyak jumlah sima, sedangkan dari sudut kekayaan material mereka juga
berkepentingan untuk mengembangkan budi daya padi pada wanua.Di samping
budidaya padi berkembang lamban, daerah persawahan masih merupakan kantung
terbatas yang dibuka ditengah-tengah hutan.
Abad
ke-15 dan ke-16 negara agraris mundur sampai akhirnya tata agraris itu hilang
untuk sementara waktu.Sebelum agama Islam masuk ke pedalaman Jawa, sudah ada
orang yang meninggalkan sinkretisme artodoks untuk menekuni aliran ritual baru,
dan mengagungkan tokoh-tokoh penyelamat. Candi-candi Singhasari atau Panataran
berfungsi utama sebagai penampung patung dewa, kidung yang berpatokan pada
jumlah suku kata, jenis rima dan jumlah larik satu bait. Kemungkinan terjadi
hubungan antara kaum kraton dan kaum agama, lemahnya ikatan kuasa antara raja
dan para pewaris raka atau samegat. Untuk mencegah perkembangan tersebut
diterapkan suatu politik “kekeluargaan” dengan menempatkan “kerabat” raja di
tempat-tempat kunci dan mengambil selir diantara anak pembesar tertentu.
Kenyataan
politik di sekitar tahun 1586, keluarga raja-raja Mataram memulihkan monarki
demi kepentingannya sendiri dan menyatukan kembali wilayah Jawa di bawah
kekuasaannya. Untuk mempertahankan kekuasaannya mereka atas wilayah yang telah
mereka taklukan, cara pertama ialah mewajibkan penguasa-penguasa daerah,
terutama yang kuat untuk tinggal di kraton beberapa bulan dalam setahun. Cara
lain untuk memperkukuh kekuasaan yang mungkin juga dicontoh dari Majapahit,
adalah dengan menerapakan politik perkawinan yang piawai. Cara ketiga adalah
pembentukan sejenis polisi Negara yng berada langsung dibawah kekausaan raja.
Pengembangan
sejarah nasional sekarang ini sering kurang memberi makna bagi
orang-orang
tertentu terutama sejarah daerahnya sendiri. Banyak sejarah nasional
tidak dapat menggali lebih mendalam
tentang kajiannya dan bersifat
umum saja. Sejarah daerah kita sendiri terkadang luput dari pengetahuan
kita
dan sejarah lokal juga bisa digunakan untuk mengoreksi
generalisasi-generalisasi dari Sejarah nasional.Sejarah lokal sengaja
dibuat untuk orang-orang dari zaman kemudian dari hidup pembuatnya.
Antara
sejarah lokal dan Nasional sangatlah berhubungan.Denganmelakukan
penelitian tentang sejarah lokal, kita tidak hanya memperkaya
pembendaharaan
sejarah Nasional tetapi lebih penting lagi memperdalam pengetahuan kita
tentang dinamika sosiokultural dari masyarakat Indonesia yang majemuk
ini
secara lebih intim. Dengan ini kita makin menyadari berbagai corak
penghadapan
manusia dengan lingkungannya dan dengan sejarahnya serta memperdalam
pula
kesadaran sejarah kita untuk mendapatkan makna dari berbagai peristiwa
sejarah
yang dilalui.
1.2.Rumusan
Masalah
1.2.1.Apa
pengertian sejarah lokal dan sejarah nasional?
1.2.2.Bagaimana
keterkaitan hubungan antara sejarah lokal dan sejarah nasional?
1.2.3.Bagaimana
sejarah lokal dalam melengkapi sejarah nasional?
1.2.4.Apa
fungsi sejarah lokal sebagai dimensi mikro terhadap sejarah nasional?
1.2.5.Bagaimana
kedudukan sejarah lokal dalam sejarah nasional?
1.3.Tujuan
Penulisan
1.3.1.Agar pembaca dapat mengetahui
pengertian sejarah lokal dan
sejarah nasional.
1.3.2.Agar
pembaca
dapat mengetahui hubungan antara sejarah lokal dan sejarah nasional.
1.3.3Agar pembaca dapat memahami fungsi sejarah
lokal sebagai dimensi mikro dalam melengkapi sejarah nasional sebagai
dimensi
makro.
1.3.4Agar pembaca dapat mengetahui
kriteria sejarah lokal dalam
sejarah nasional.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian
Sejarah lokal dan
Sejarah Nasional
Sejarah lokal (SL) sudah ada dan
lama berkembang sebelum ada sejarah Nasional. SL itu berkaitan dengan
kajian
tentang asal-usul tempat tinggal (daerah) atau suku bangsa/etnis maupun
kebudayaannya. Uraian tentang ini cukup banyak di Indonesia dan namanya:
Babad,
Riwayat, Hikayat, Tambo dan untuk itu disebut Sejarah Tradisional.
Sejarah lokal
bisa
dikatakan sebagai suatu bentuk penulisan sejarah dalam lingkup yang
terbatas
yang meliputi suatu lokalitas tertentu. Keterbatasan lingkup itu
biasanya
dikaitkan dengan unsur wilayah ( unsur spatial ). Di indonesia sejarah
lokal bisa disebut pula sebagai sejarah
daerah. Namun tidak jarang yang mengklaim bahwa sejarah lokal sama
dengan
sejarah daerah. Taufik Abdullah misalnya dia tidak setuju lokal
disamakan
dengan daerah, karena daerah indentik dengan politik. Dan bisa
mengabaikan
etnis kultural yang sebenarnya, lebih mencerminkan unit lokalitas suatu
perkembangan sejarah. Banyak sekali persamaan sejarah Lokal itu. Jordan
menggariskan ruang lingkup sejarah lokal yaitu keseluruhan
Lingkungan
sekitar yang bisa berupa kesatuan wilayah seperti desa, kecamatan,
kabupaten,
kota kecil dan lain-lain. Pengertian lain yang diangkat sebagai
definisi
Sejarah lokal dalam buku ini yaitu studi tentang kehidupan
masyarakat atau
khususnya komunitas dari suatu lingkungan sekitar (neighborhood)
tertentu dalam
dinamika perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan.
Sedangkan
sejarah
nasional digunakan sebagai suatu konsep resmi negara. Sejarah nasional
lebih
bersifat konsepsi umum yang mendukung penanaman nilai nasionalisme,
biasanya
merupakan hal-hal lokal yang dianggap memiliki pengaruh secara nasional
dan
kebangsaan.
2.2.Hubungan
antara Sejarah Lokal dan Sejarah
Nasional
Sejarah lokal
seringkali dipahami sebagai bagian dari sejarah nasional. Hal ini
dilatarbelakangi oleh fakta bahwa studi sejarah lokal diperlukan untuk
mencari
bahan sebagai penyusun nasional yang akhirnya hanya menghasilkan sejarah
nasional versi lokal. Realitas yang mencul di daerah-daerah dapat
berubah,
sehingga kadang-kadang peristiwa nasional yang penting dalam kategori
sejarah
nasional bisa saja tidak memiliki arti apa-apa pada sejarah lokal.
Sejarah
nasional ditentukan oleh faktor-faktor ekstra lokal, bukan sekedar
kumpulan-kumpulan peristiwa local, atau peristiwa lokal yang strategis
namun
juga tergantung pada kekuatan politik saat itu dan faktor internasional.
Penyusunan sejarah nasional tidak hanya sekedar berdasarkan “pantas
tidaknya”
peristiwa untuk menjadi unsure dari sejarah nasional, namun juga
berdasarkan
logika keterkaitan peristiwa tersebut dengan latar belakang yang berlaku
secara
nasional.
Sejarah
lokal
tidak harus memiliki kurun waktu periode yang sama dengan sejarah
nasional. Karena lingkupnya yang “terbatas” maka sejarah lokal
mempelajari
manusia lebih mendetail. Tidak hanya manusia yang berperan sebagai tokoh
sentral/besar dalam sebuah peristiwa namun juga manusia dengan setiap
dinamika
kehidupannya. Sejarah lokal menurut P.D. Jordan, di negara Barat
penggunaan
istilah sejarah lokal (local history) dikenal pula sebagai neighborhood
history
atau community history. Diartikan sebagai “the entire range of
possibilities in
a person’s immediate environment”. Pembatasan tidak hanya dari ruang
lingkup
spasial atau keruangan seperti desa, kota, kabupaten, dan provinsi namun
juga
pranata-pranata sosial serta unit-unit budaya yang ada di lingkungan
tersebut.
Unsur sosial dan budaya tersebut seperti keluarga, pola pemukiman,
mobilitas
sosial, pasar, teknologi pertanian, lembaga pemerintahan setempat.
Sejarah
lokal menurut P. D Jordan ini diartikan oleh I Gde Widja sebagai studi
tentang
kehidupan masyarakat atau komunitas khusus dari sebuah lingkungan
tertentu
dalam dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
2.3.Sejarah
Lokal dalam Melengkapi Sejarah
Nasional
Sejarah
lokal dapat melengkapi sejarah nasional, karena sejarah nasional hanya
membicarakan sesuatu secara umum sehingga sifatnya terbatas. Sejarah
lokal
memberikan detail sehingga mampu melengkapi kekurangan sejarah nasional.
Misalkan sejarah nasional membicarakan proklamasi 1945, pasti hanya
membicarakan kisah di Jakarta. Hal ikhwal proklamasi di daerah/lokal
akan
menjadi fungsi pelengkap sejarah nasional. Hasil studi khusus pada
sejarah
lokal akan memberikan pengetahuan lebih umum terhadap kejadian-kejadian
historis di tingkat lokal yang merupakan dimensi sejarah nasional.
2.4.Fungsi
Sejarah Lokal Sebagai Dimensi Mikro
Terhadap Sejarah Nasional
Dalam studi sejarah, salah satu
masalah yang dihadapi sejarawan ialah penentuan kesatuan kerangka
peristiwa
yang menjadi pusat perhatiannya dalam melihat proses persambungan
peristiwa-peristiwa. Dalam hubungan ini dikenal istilah unit-unit
sejarah.
Sejarawan perlu menentukan batas-batas yang akan memungkinkan mereka
membatasi
ruang lingkup kegiatannya. Misalnya membedakan antara yang disebut
kejadian
historis dengan kejadian non-historis. Cara yang lain yang juga bisa
dijadikan
dasar kategorisasi peristiwasejarah, yaitu melihat peristiwa-peristiwa
itu
dalam rangka apa yang disebut sebagai “unit sejarah”. Yang penting dalam
kategorisasi peristiwa sejarah adalah adanya kerangka kesatuan yang di
dalamnya
mengandung pola-pola dari fakta-fakta yang berada dalam satu kerangka
tersebut,
di dalamnya juga mengandung aspek kesatuan temporal serta kesatuan
spatial dari
rangkaian peristiwanya. Dengan demikian, unit-unit historis itu terwujud
dari
berbagai kategori yangmenyebabkan
adanya
variasi lingkup sejarah.Sejarawan Inggris, A.J Toynbee meskipun
mengakui
adanya unit historisyang merupakan kesatuan negara dan bangsa, tapi
lebih
cenderung pada unithistoris makro. Sebaliknya kelompok sejarawan praktis
lebih
melihat kesatuan lapangan studi sejarah yang bisa dipahami itu berada
pada
lingkungan sejarah mikro.
2.5.Kedudukan Sejarah Lokal dalam Sejarah Nasional
Seperti
yang sudah diketahui bahwa sejarah lokal merupakan bagian sejarah yang
bersifat
mikro sedangkan untuk sejarah nasional sendiri bersifat makro. Yang mana
sejarah
nasional lebih bersifat konsepsi umum yang mendukung penanaman nilai
nasionalisme.
Dan untuk sejarah lokal sebagai mikro dapat memberikan bantuan dalam
kajian
sejarah nasional yang membicarakan sesuatu secara umum.
Hubungan
erat antara mikro dan dimensi makro dalam sejarah bisa pula dilihat
dalam
hubungan studi sejarah di Indonesia. Menurut Kartodirdjobahwa banyak peristiwa-peristiwa sejarah yang
bersifat lokal, sebenarnya hanya bisa dimengerti dengan baik apabila
dihubungan
dengan dimensi sejarah nasional. Menurutnya sebagai contoh yaitu hal-hal
yang
dibawa oleh proses westernisasi seperti diperkenalkannya sistem pajak,
sewa
tanah, birokrasi modern yang membawa fenomena baru dalam kehidupan
penduduk
pedesaan.
Keterkaitan
antara sejarah lokal dengan sejarah nasional tidak dapat dikatakan bahwa
kumpulan-kumpulan dari sejarah lokal itu dapat diartikan sejarah
nasional. Karena
sejarah lokal sebagai penyempurnakan
sejarah nasional dan memberi hubungan timbal balik.
Dan
dapat disimpulkan bahwa dalam sejarah nasional lebih ditekankan pada
gambaran
yang lebih meluas serta lebih menyeluruh dari suatu lingkungan bangsa
yang
bersifat umum dengan tidak terlalu memperhatikan hal-hal kecil dalam
peristiwa
lokal, sedangkan dalam sejarah lokalyang lebih diperhatikan adalah peristiwa-peristiwa di lingkungan
sekitar
yang mencangkup suatu lokalitas dan menempatkan sejarah nasional sebagai
latar
belakang dari peristiwa-peristiwa khusus di lokalitas tersebut. Dengan
demikian
sejarah nasional yang hanya membicarakan
sesuatu secara umum dan sifatnya terbatas. Sejarah Lokal memberikan
detail
sehingga mampu melengkapi kekurangan sejarah nasional.
BABIII
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Sejarah
lokal menjadi semakin kurang terlokasikan. Sejarah lokal bersifat
melebar,
horizonnya semakin mengembang menuju ke arah perbandingan-perbandingan
yang
meluas. Bahwa dalam sejarah nasional tekanan terutama diberikan pada
gambaran
yang lebih meluas serta menyeluruh dari suatu lingkungan bangsa dengan
tidak
terlalu memperhatikan detail-detail peristiwa lokal. Sedangkan dalam
sejarah
lokal yang mendapat perhatian utama justru peristiwa-peristiwa
dilingkungan
sekitar suatu lokalitas sebagi suatu kebulatan, dan menempatkan sejarah
nasional sebagai latar belakang dari peristiwa khusus di lokalitas.
Melakukan
koreksi terhadap
generalisasi-generalisasi yang sering dibuat dalam penulisan sejarah
nasional.
Banyaknya ketumpang tindihan pengertian dan pemahaman mengenai sejarah
nasional
dan sejarah lokal. Tidak semua peristiwa atau perubahan yang
digeneralisir/dianggap menjadi fakta nasioanl yang berlaku bagi semua
wilayah
Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
·Widya,
I Gde. 1989. Sejarah Lokal suatu perspektif dalam pengajaran
sejarah.
Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
·Priyadi,
Sugeng. 2012. Sejarah Lokal Konsep, Metode dan Tantangannya. Yogyakarta:
Ombak.