Jumat, 22 Mei 2015

NAZI DAN POLITIK RASIAL JERMAN



BAB  I
PENDAHULUAN
Mewujudkan Impian Persatuan Jerman Raya
Jerman, negara besar dengan segala kemajuannya merupakan salah satu negara di Eropa yang memiliki sejarah yang panjang. Dimulai dari persebaran suku-suku bangsa, dilanjutkan dengan masa Abad Pertengahan yang penuh perselisihan dan peperangan keluarga-keluarga besar, perkembangan negara Prusia yang dikemudian hari menjadi inti negara Jerman dan tercapainya persatuan negara-negara Jerman pada tahun 1871. Jerman yang tergolong paling akhir membentuk kesatuan nasional mampu bangkit dan berusaha untuk menggeser hegemoni negara-negara besar Eropa lainnya yang sudah lebih dulu berdiri seperti Inggris dan Perancis.
            Kesatuan Jerman sebenarnya sudah dimulai sejak munculnya Kekaisaran Romawi Suci pada Abad Pertengahan.[1] Keluarga Hapsburg dari Austria yang merupakan wilayah suku Jerman memerintah hampir seluruh wilayah Eropa, mulai dari Iberia hingga perbatasan dengan Rusia. Kekaisaran Romawi Suci berhasil mempertahankan wilayahnya hingga awal abad ke 19 walaupun dalam kurun waktu lebih dari delapan abad terjadi berbagai peristiwa yang berdampak bukan hanya pada eksistensi kekaisaran namun hingga ke seluruh penjuru Eropa bahkan dunia. Pada masa Kekaisaran Romawi Suci inilah muncul gerakan Protestan yang merupakan gerakan untuk mengembalikan ajaran-ajaran gereja ke Injil.
Revolusi Perancis yang pada mulanya menumbangkan tirani kemudian berdampak pada naiknya Napoleon Bonaparte sebagai kaisar Perancis. Napoleon mengadakan berbagai tindakan sepihak untuk mengembalikan kebesaran Perancis. Napoleon menproklamirkan diri sebagai kaisar pada 1804 dan menimbulkan berbagai reaksi di Eropa. Tsar Aleksandr dari Rusia yang anti-Perancis mengumumkan koalisi dengan Kerajaan Inggris, kemudian Franz I menyatakan diri sebagai kaisar Austria. Napoleon memimpin pasukan Perancis menghadapi koalisi Austria-Rusia namun dengan mudah dapat dikalahkan Napoleon. Kekalahan tersebut sangat berdampak buruk bagi Austria dan Romawi Suci. Perjanjian Pressburg tahun 1805 menyatakan Austria kehilangan wilayah Bayern, Wuerttemberg dan Baden.
Napoleon mengadakan perubahan-perubahan dan mengumumkan pembentukan Konfederasi Rhein pada Juli 1806. Konfederasi ini terdiri dari negara-negara Jerman kecuali Austria dan Prusia. Negara-negara ini lepas dari Romawi Suci dan berkoalisi dengan Perancis. Dengan demikian Austria mengumumkan berakhirnya masa kekuasaan Romawi Suci pada Agustus 1806. Konstelasi politik Eropa kemudian sangat dipengaruhi oleh tiga kekuatan besar, Kekaisaran Perancis, Kerajaan Inggris dan Kekaisaran Rusia. Ketiganya kemudian menyeret Eropa kedalam Perang Koalisi. Koalisi Inggris dan Rusia ditambah Austria serta Prusia menghadapi Perancis dan negara-negara koalisinya seperti Belanda dan Spanyol. Pertempuran demi pertempuran mengantarkan Napoleon ke puncak kejayaan dimana hampir seluruh Eropa dikuasai. Hanya Inggris dan Rusia yang belum bertekuk lutut. Kampanye ambisius Napoleon kemudian adalah menginvasi Rusia namun pertempuran dengan Rusia merupakan mimpi buruk bagi Napoleon. Tahun 1812, pasukan kebanggaan Napoleon dan Perancis, Le Grande Armee berhasil dipukul mundur oleh Resimen Preobrazhensky dibawah pimpinan Jenderal Kutuzov.
Kehancuran pasukan Perancis di Rusia mendorong Austria dan Prusia kembali berkoalisi dengan Rusia dan menghantam pasukan Perancis di Leipzig pada 1813. Tahun 1814 Napoleon mundur dan diasingkan ke Pulau Elba. Setelah perang berakhir para pemimpin koalisi mengadakan pertemuan di Vienna, Austria namun sempat dihentikan ketika terdengan kabar Napoleon kembali ke Perancis dan menyebabkan pertempuran Waterloo tahun 1815. Di Waterloo, Napoleon yang harus menghadapi gabungan kekuatan Inggris, Rusia, Austria dan Prusia kalah dan diasingkan ke Pulau St. Helena hingga kematiannya. Setelah itu kongres dibuka kembali dan akhirnya disepakati kompensasi-kompensasi pasca-perang.
Satu hal yang dapat diamati adalah bagaimana Jerman terpecah menjadi negara-negara kecil. Tiga puluh sembilan negara dan empat kota merdeka tergabung dalam Konfederasi Jerman. Hal ini mendorong berbagai tokoh memikirkan mengenai suatu konsep negara kesatuan Jerman. Kebanyakan dilontarkan oleh para penyair, penulis, tokoh-tokoh muda. Tahun 1841, konsep Deutschland Uber Alles dituangkan dalam syair gubahan August Heinrich Hoffmann von Fallersleben.[2] Kemudian syair ini dipadukan dengan iringan musik melodi ciptaan Joseph Haydn yang awalnya digunakan untuk menghormati Kaisar Austria, Franz II pada 1797. Pada perkembangan berikutnya syair dan melodi ini menjadi inspirasi bagi usaha penyatuan Jerman dan pada masa Republik Weimar hingga pemerintahan NAZI menjadi lagu kebangsaan Jerman.
Deutschland, Deutschland über alles,
Über alles in der Welt,
Wenn es stets zum Schutz und Trutze
Brüderlich zusammenhält,
Von der Maas bis an die Memel,
Von der Etsch bis an den Belt -
Deutschland, Deutschland über alles,
Über alles in der Welt![3]
Pasca-Konferensi Vienna 1815, Jerman terpecah menjadi banyak negara kecil, yang terbesar adalah Prusia. Austria walaupun berada di luar konfederasi Jerman memiliki pengaruh yang sangat kuat di Jerman. Di Prusia, timbul usaha-usaha mempersatukan Jerman. Kesukaran-kesukaran dasar dalam mendirikan kesatuan Jerman terletak dari pertentangan antara grossdeutsch (Jerman plus Austria) dengan kleindeutsch (Jerman tanpa Austria).[4] Pengaruh Austria mulai mendapat tantangan setelah Otto von Bismarck tampil sebagai Perdana Menteri Kerajaan Prusia pada 1862. Pada masa Bismarck, hubungan Prusia-Austria mengalami kerenggangan bahkan terjadi perang pada 1866. Pada perang ini hampir semua negara konfederasi berpihak pada Austria, namun Prusia dapat memenangkan perang dan memaksa pemerintah Austria mengadakan perjanjian perdamaian. Dampak dari pertempuran tersebut adalah diserahkannya Holstein kepada Prusia dan didirikannya Konfederasi Jerman Utara yang terdiri dari negara-negara di utara Sungai Maine. Sementara itu Hannover, Hessen-Kassel, Hessen-Nassau, Frankfurt am Main menjadi bagian dari Prusia.
Konfederasi Jerman Utara merupakan model awal pemerintahan Jerman modern. Semua negara memiliki hak otonom termasuk hak kerajaan dan kepangeranan namun kepemimpinan kesatuan berada ditangan Raja Prusia. Negara-negara Jerman Selatan, Bayern, Wuerttenberg, Baden dan Hessen-Darmstadt tidak termasuk dalam konfederasi tetapi secara militer mereka menyatakan berada dibawah komando Prusia. Bismarck juga berpendapat bahwa jalan satu-satunya untuk mempersatukan negara-negara Jerman secara politis adalah dengan peperangan melawan musuh yang sama yaitu Perancis.
Perang menghadapi Perancis diawali ketika terjadi kekosongan tahta Spanyol setelah Issabella II turun tahta. Salah satu calon pengganti ialah Pangeran Leopold von Hohenzollern-Sigmaringen yang masih memiliki pertalian keluarga dengan Raja Prusia. Akan tetapi Perancis yang trauma dikepung oleh keluarga Hapsburg baik di Austria-Jerman maupun Spanyol menolak calon dari Dinasti Hohenzollern karena akan mengulangi sejarah dimana Perancis akan terhimpit oleh dinasti-dinasti Jerman. Raja Perancis, Napoleon III mengirim duta ke Prusia untuk memastikan Prusia tidak menyetujui pencalonan Leopold namun Raja Prusia, Wilhelm I melalui Bismarck menolak keinginan Perancis. Dari sinilah pertentangan dimulai dan memicu perang.
Pada perang melawan Perancis ini, posisi Prusia sangat menguntungkan karena Austria tidak berani menyatakan membantu Perancis karena takut akan tekanan Rusia sementara Italia yang dianggap Perancis akan membantu lebih memilih menyelesaikan proses unifikasi dalam negeri. Dalam waktu singkat Perancis berhasil dikalahkan. Sebagai tanda kemenangan Prusia, Wilhelm I dinyatakan sebagai Kaisar Jerman disaksikan para raja, pangeran dan bangsawan Jerman di Istana Versailles. Semua negara-negara Jerman kecuali propinsi di Austria dipersatukan dibawah Wilhelm I sementara Bismarck diangkat sebagai Kanselir Kekaisaran.


BAB  II
NAZI DAN POLITIK RASIAL JERMAN
Jerman Pasca-Perang Dunia I
          Kalau ada negara yang bisa dikatakan menjadi korban utama Perang Dunia (PD) I, maka itu adalah Jerman. Mayoritas rakyat Jerman tahu, bahwa angkatan bersenjatanya belum kalah dalam PD I. Jermanlah yang melakukan penyerbuan dari segala penjuru tahun 1918, yaitu pada akhir PD I. Dengan kata lain, Jerman pada akhir masa perang itu masih tetap merupakan pihak yang mengambil prakarsa.[5] Kekacauan politik didalam negeri akibat revolusi kaum komunis membuat pemerintah Jerman ingin melaksanakan perdamaian dengan Sekutu.
            Sebuah konferensi perdamaian diselenggarakan di istana kekaisaran lama, di Versailles, dekat Paris, untuk menentukan masa depan Eropa. Baik negara Austria-Hongaria maupun Jerman dipaksa untuk menyerahkan logistik senjata  maupun bahan-bahan makanan yang jumlahnya sangat besar, dan juga harus meninggalkan tanah-tanah jajahan.[6] Konferensi perdamaian di Versailles ini amat menghukum Jerman, yang selanjutnya dilarang untuk mengembangkan seluruh angkatan bersenjatanya. Selain itu Jerman diwajibkan membayar ganti rugi perang kepada negara Sekutu dengan jumlah yang sangat besar.
            Tidak seperti PD II, PD I tidak berakhir dengan menyerahnya Jerman yang kalah. Ia berakhir dengan satu penghentian tembak menembak (armistice) di mana kekuatan Jerman, yang tidak mampu lagi melanjutkan perang, masih tetap utuh sebagai satu kekuatan militer. Dalam hal ini Panglima Amerika Jenderal Pershing menyarankan agar perunding perdamaian mendesakkan pengakuan bahwa Jerman menyerah. Ia tahu, bahwa para Jenderal dan angkatan perang tidak senang untuk mengakui pihaknya dikalahkan. Tetapi Pershing kalah suara.[7] Sebagai hasilnya, para petinggi militer Jerman yang merasa tidak dikalahkan merasa dikhianati oleh perundingan tersebut.
            Tidak hanya masalah politik dan militer, masalah ganti rugi juga merupakan hukuman terberat yang harus dijalani oleh Jerman. Jerman yang berusaha membayar, justru terjebak dalam kekacauan ekonomi yang sulit diterima oleh akal sehat. Inflasi meroket, dalam tempo semalam, orang Jerman yang menabung seumur hidup menjadi tak beruang. Harga sepotong roti yang mula-mula dihitung dalam ribuan Mark berubah menjadi jutaan Mark. Pada tahun 1922 Mark Jerman telah menjadi sehelai kertas tanpa nilai. Babakan ini harus diakui memberi salah satu ladang subur bagi tampilnya Adolf Hitler di panggung kekuasaan Jerman di kemudian hari.

Naiknya Adolf Hitler dan NAZI dalam Pemerintahan
          Persyaratan keras yang diberlakukan Jerman oleh pihak Sekutu dalam Perjanjian Versailles pada akhir PD I menciptakan sebuah situasi yang amat sulit dan suasana hati yang sangat putus asa di kalangan rakyat Jerman. Kaisar Wilhelm II (1859-1941) turun takhta pada tahun 1918, meninggalkan Jerman tanpa pemimpin. Selanjutnya kekosongan ini diisi oleh sebuah republik yang lemah di bawah konstitusi Weimar tahun 1919. Dikondisikan untuk diperintah oleh sebuah monarki yang kuat, harapan Jerman dipatahkan oleh Republik Weimar yang tampaknya tidak efektif, yang mereka lihat sebagai sesuatu yang wajib mereka terima sebagai akibat kekalahan mereka di medan perang.[8]
            Tahun 1923 Hitler yang muak dengan keadaan negaranya yang kala itu kacau diperintah oleh rezim Republik Weimar melancarkan sebuah pembrontakan (putsch), namun gagal. Hitler dipenjara selama sembilan bulan, dan Ia memanfaatkan waktu dipenjara untuk menulis Mein Kampf, sebuah karya pikirannya. Saat itu Hitler mulai belajar, bahwa untuk mencapai kekuasaan jalannya adalah melalui cara yang sah. Pada dekade 30-an lebih banyak kesempatan terbuka baginya. Tahun 1929, Krisis Mallaisse yang bermula di Amerika Serikat berdampak sistemik pada tatanan ekonomi global. Di Amerika Serikat, indeks Wall Street terjun bebas tak terbendung. Saham General Electric jatuh paling dalam diikuti Westinghouse dan First National Bank.[9] Produksi turun menjadi kurang dari setengah produksi selama 1920-an, pendapatan nasional merosot hingga seperempatnya, hiperinflasi tak terhindarkan disamping pemecatan besar-besaran karyawan perusahaan-perusahaan besar. Krisis merambat ke Eropa. Di Inggris, Pound merosot hingga 30%. Perusahaan-perusahaan di Inggris, Perancis dan negara-negara Eropa Barat lainnya kolaps dan menimbulkan pengangguran luar biasa. Tahun 1930 Amerika Serikat mengenakan tarif paling tinggi sepanjang sejarahnya dan dibalas oleh negara-negara lain seperti Perancis, Kanada, Italia, Spanyol, Argentina, Brazil dan Cina. Bahkan Inggris yang merupakan negeri klasik perdagangan bebas mengeluarkan kebijakan proteksi untuk mengamankan perekonomian dalam negeri.
Situasi buruk akibat krisis terlihat di Jerman. Angka pengangguran mencapai enam juta ditengah angkatan kerja yang hanya 18 juta.[10] Depresi mendorong situasi semakin tidak terkendali. Rakyat menuntut tindakan nyata pemerintah yang ternyata tidak mampu mengatasi keadaan. Hal ini dimafaatkan Hitler yang tidak lagi memakai cara putsch untuk meraih kekuasaan dengan paksa, melainkan melalui kombinasi antara propaganda dan intimidasi politik. Hitler dan kawan-kawan sangat menyadari bahwa penggunaan kekerasan untuk merebut kekuasaan tidaklah mungkin mendapat simpati dari rakyat Jerman.[11] Kekacauan dan depresi massal menjadi pendorong utama naiknya popularitas NAZI dan Hitler.
            Bergabung dengan Partai Pekerja Jerman. Dengan cepat dicapainya kedudukan pemimpin. Di bawah pengaruhnya suasana semi militer berkembang dalam partai tersebut. Sebuah nama baru diberikan, Partai Pekerja Nasionalis Sosialis Jerman atau dalam singkatan bahasa Jerman NAZI.[12] Pada pemilu tahun 1928, NAZI memperoleh 12 kursi. Jerman yang sedang menderita menjadi kunci kemenangan NAZI pada pemilu berikutnya. Propaganda yang dilakukan Hitler membuat Partai NAZI mengalami peningkatan jumlah pemilih. Pada tahun 1930, simpatisan yang memilih NAZI melonjak dari 810.000 orang menjadi 6.409.000 orang atau sekitar 18,3% dari total pemilih. Hal ini menyebabkan NAZI memperoleh 107 kursi di parlemen.
            Pada bulan Februari 1932, Hitler memutuskan untuk mengikuti pemilihan presiden Jerman. Namun, dalam pemilihan ini, Hitler dikalahkan oleh Paul Von Hindenburg. Pada pemilihan anggota parlemen bulan Juli 1932, akhirnya partai NAZI memperoleh kemenangan sebanyak 230 kursi. Hitler akhirnya menjadi Kanselir pada tanggal 30 Januari 1933, atas bantuan Franz von Papen yang membujuk Paul von Hindenburg agar memilih Hitler sebagai kanselir. Begitu menjadi kanselir, tanpa membuang waktu dia segera memulai program impiannya yaitu, me-NAZI-kan seluruh Jerman.      
           
Munculnya Politik Rasialisme di Jerman
Orang memang banyak mengetahui, bahwa dalam diri Hitler ada motif yang melebihi apa yang ada pada diri diktator pada umumnya. Ia tidak hanya sekedar menguasai negaranya sendiri. Dalam dirinya ada keyakinan, bahwa bangsa Jerman merupakan ras paling unggul. Ia sungguh percaya, bahwa bangsa Jerman telah terpilih untuk memimpin dan menguasai umat manusia. Teori rasial ini Ia kemukakan dalam Mein Kampf, dan tentang superioritas bangasa Jerman itu berikutnya terbukti bukan hanya slogan. Ia menjadi pernyataan sejati keyakinan dan merupakan jiwa kebijakan militer untuk penaklukan bangsa lain.
            Hitler juga menggambarkan betapa Jerman nantinya harus menjadi “tuan di bumi ini”, Lord Of The Earth. Untuk itu, suatu konsep hidup atau menurut istilah favorit Hitler, Weltanschauung, juga dimasukkan dalam Mein Kampf. Anehnya jutaan orang Jerman secara fanatik mempercayai konsep Hitler itu dengan segala konsekuensinya. Mereka percaya bahwa Reich Ketiga harus dibangun berdasarkan konsep keunggulan ras ke-Arya-an yang mereka miliki.[13] Menyingkirkan etnis Yahudi secara sistematis dari lingkungan masyarakat (bernegara) merupakan langkah pertama Hitler dalam pemurnian kembali ras Arya di Jerman.
            Undang-undang Nuremberg tahun 1935 melarang pernikahan orang Yahudi dengan warga Jerman lainnya dan menyatakan bahwa Yahudi bukanlah warga negara Jerman. Hitler dan NAZI juga juga mengobarkan propaganda yang menyatakan bahwa kekuasaan Yahudi di Jerman sudah terlalu besar dan memancing rakyat Jerman untuk melawannya. Misalnya, dengan mengatakan bahwa di antara 4.800 orang pengacara di Berlin, 3.600 orang adalah Yahudi. Propaganda tersebut berhasil mengubah pendapat masyarakat Jerman sehingga mereka tidak berkeberatan jika orang Yahudi disingkirkan dari Jerman.[14]
            Di mata Hitler, bangsa Yahudi bertanggung jawab atas kekalahan Jerman dalam peperangan, keruntuhan ekonomi, dan ancaman yang dihadapkan padanya oleh Revolusi Rusia dan munculnya Bolshevisme. Persekongkolan bangsa Yahudi yang sangat luas, yang dibayangkan Hitler bertanggung jawab atas ancaman yang datang dari dua sumber yang tampak saling bertentangan (kapitalisme internasional dan komunisme Soviet) keduanya adalah antitesis bagi apa yang dipahami sebagai jiwa nasional Jerman, atau Volksgeist.[15]
            Di dalam suatu bagian karangan yang terkenal Hitler mengungkapkan visi mimpi buruk berikut ini :
Dengan kegembiraan setani di wajahnya, pemuda Yahudi berambut hitam bersembunyi menanti sang gadis yang tak menaruh curiga yang Ia cemari dengan darahnya, dengan demikian mencuri perempuan itu dari bangsanya. Dengan segala cara Ia berusaha menghancurkan landasan-landasan rasial bangsa yang Ia tekadkan untuk ditaklukkan. Persis bagaimana Ia sendiri secara sistematis merusak perempuan, Ia tidak segan-segan menghancurkan perintang-perintang darah bagi orang lain, bahkan pada skala yang besar. Dulu dan sekarang orang Yahudi yang membawa orang Negro ke Rhineland, selalu dengan pikiran tersembunyi yang sama dan tujuan yang jelas untuk meruntuhkan ras kulit putih yang dibenci melalui pembastaran yang pasti Ia hasilkan, meruntuhkannya dari puncak budaya dan politiknya, dan Ia sendiri bangkit menjadi tuannya”.[16]
Hitler memerintahkan pembunuhan massal orang-orang yang diberi label “berbahaya” oleh NAZI pada pogrom Euthanasia T-4 dan pogrom Kristallnatch. Hitler mendorong tindakan pembunuhan terhadap orang-orang Yahudi Eropa oleh pasukan kematian, Einsatzgruppen pada pidato bulan Juli 1941.[17] Pada 20 Januari 1942, NAZI menuntaskan rencananya untuk Endlosung (Solusi Final) yaitu pembasmian orang Yahudi, kaum Gipsy, etnis Slavia, kaum homoseksual, kaum komunis serta kaum lainnya yang tidak disukai.[18] Pelaksanaan Endlosung di kamp-kamp konsentrasi NAZI dijalankan oleh SS dan diawasi oleh Gestapo. Disebutkan sekitar enam juta Yahudi Eropa tewas, 4,5 juta berasal dari Polandia sementara 125.000 berasal dari Jerman dan sisanya Yahudi Eropa Barat dan lainnya.[19] Peristiwa yang dikenal dengan nama Holocaust juga terdapat sekitar 500.000 jiwa kaum Gipsy, antara 10.000 sampai 25.000 kaum homoseksual, 2.000 saksi Yehovah, lebih dari 3,5 juta orang Yahudi non-Polandia, antara 3,5 sampai 6 juta penduduk Slavia, 4 juta tawanan perang Uni Soviet dan 1,5 juta orang dari kelompok yang bertentangan politik dengan NAZI.

Pengingkaran Terhadap Holocaust
          Pengingkaran Holocaust atau Holocaust Denial adalah kepercayaan bahwa Holocaust tidak pernah terjadi, atau jauh lebih sedikit dari 6 juta orang Yahudi yang dibunuh oleh NAZI, bahwa tidak pernah ada rencana terpusat untuk memusnahkan orang-orang Yahudi, atau bahwa tidak ada pembunuhan massal di kamp-kamp konsentrasi. Mereka yang percaya akan hal ini biasanya menuduh orang-orang Yahudi atau kaum Zionis mengetahui hal ini dan mengadakan konspirasi untuk medukung agenda politik mereka. Karena Holocaust dianggap ahli-ahli sejarah sebagai salah satu kejadian paling banyak didokumentasikan dalam sejarah, pandangan-pandangan ini tidak dianggap kredibel, dengan organisasi-organisasi seperti Historical Association mengatakan bahwa Holocaust Denial sebagai “At best, a from of academic fraud”.[20] 
            Sebenarnya dari kalangan ilmuwan Barat sendiri ada beberapa yang menyangkal adanya Holocaust, diantaranya pengarang Perancis Roger Garaudy, Profesor Robert Maurisson, Ernst Zundel, David Irving, dan lain-lain, tetapi hampir semuanya dinyatakan bersalah dan dijebloskan ke dalam penjara termasuk pada 15 Februari 2007, Ernst Zundel seorang Holocaust Denial dihukum 5 tahun penjara.[21] Yang menjadi pertanyaan adalah cukupkah waktu 5 tahun itu untuk mengumpulkan 6 juta orang Yahudi dari seluruh daratan Eropa ? mengingat alat transportasi saat itu sangatlah terbatas ditambah keadaan perang yang chaos. Apakah NAZI mempunyai teknologi sedemikian canggih sehingga mampu mengumpulkan 6 juta Yahudi dari seluruh Eropa untuk kemudian dibantai di kamp konsentrasi yang berada di sekitar Jerman ? Ditambah saat itu Jerman sedang berperang dengan 3 negara super : Amerika Serikat, Inggris dan Uni Soviet.[22] 





BAB  IV
POLITIK JERMAN DALAM PERANG DUNIA II
Operasi Tersembunyi CIA-NAZI[23]
            Dimana ada pepererangan, disitu biasanya agenda tersembunyi yang telah diatur “Pemain belakang layar”. Sementara prajurit bertempur mati-matian, mereka putar otak menangguk uang di tengah kesusahan orang. Mencuri tambang berharga, menyelundupkan peralatan perang, mencari posisi kunci dari pemerintahan baru, atau bisa saja diam-diam memutar uang di industri kemiliteran lawan. Diutarakan bagaimana pengusaha Amerika Serikat dan Jerman memutar uang membangun bisnis patungan sementara jutaan prajurit kedua negara meregang nyawa di medan pertempuran. Kali ini diketengahkan seputar sepak terjang agen-agen khusus CIA dan SS yang di lapangan ternyata berkonspirasi mengamankan bisnis miliaran dollar para pengusaha papan atas kedua negara. Beberapa tahun lalu rahasia ini terbongkar sehingga kontan banyak pihak dikecewakan.
            Agenda tersembunyi itu terbongkar bertahap, diawali dengan mencuatnya bukti-bukti keterlibatan tak langsung Inggris-Amerika Serikat dalam tragedi Holocaust. Di permukaan baik London dan Washington, begitu menentang tekanan dan pembantaian yang dilakukan tentara NAZI terhadap puluhan ribu kaum minoritas. Namun, dibelakang, mereka ternyata tak pernah benar-benar berupaya membebaskan mereka, meski upaya pelarian sudah didepan mata. Diduga, keengganan membebaskan itu karena mereka inilah para pekerja paksa kunci penggerak industri patungan Amerika Serikat-Jerman. Di Auschwitz, misalnya, pabrik bom, kimia dan persenjataan utama Jerman milik IG Farben (yang disokong penuh raja minyak Amerika Serikat, Rockefeller, meraup untung besar karena digerakkan oleh ribuan orang Yahudi yang tak perlu diupah). Selain Rockefeller yang masuk dengan bendera Standard Oil, dilingkup industri vital lainnya ditanam pula uang milik General Motors, IBM, Ford, The Chase and National City Bank, ITT dan masih banyak lagi lainnya. Jumlah awal uang yang diputar mencapai 8 miliar Dollar.        
            Tak heran jika lalu muncul sindiran sinis, bahwa para prajurit Amerika Serikat bertempur mati-matian di Jerman benar-benar menyedihkan. Mereka tak tahu bahwa pesawat yang mengebomi mereka sebenarnya dibuat dari uang orang-orang senegara. Baik Standard Oil maupaun IG Farben sendiri sama-sama kartel dibidang industri strategis. IG Farben memonopoli industri kimia, film, dan farmasi di Jerman. Sementar Standard Oil, di Amerika Serikat merupakan penguasa ladang minyak. Berkat dukungan Rockefeller, IG Farben menyuplai 85 persen kebutuhan amunisi Jerman selama PD II. Rockefeller dan pengusaha Amerika Serikat lainnya itu diam-diam sudah menanam saham dan membangun usaha patungan di Jerman sejak 1926. Jerman sendiri bagi Rockefeller ibarat “Rumah kedua”, karena kakek moyangnya, yakni Johan Rockefeller, adalah imigran asal Jerman.
UU Trading with Enemy Act yang diterbitkan badan legislatif Amerika Serikat seolah tak bergigi menghadapi praktek gelap Rockefeller. Boleh jadi itu karena Standard Oil memberi imbalan karet sintetis yang amat diperlukan kendaraan perang Amerika Serikat. Kebanyakan petinggi Amerika Serikat juga segan berurusan dengan keluarga Rockfeller karena Ia banyak menguasai ladang minyak di seantero Amerika Serikat. Sangat tak mungkin jika pemerintah Amerika Serikat tak mengetahui atau memberi izin berkaitan dengan ekspor barang-barang tersebut. Sebaliknya, mudah dipahami jika kemudian pemboman yang dilakukan Amerika Serikat tak pernah menjamah Auschwitz. Paling dekat bom jatuh 14 mil dari komplek pabrik dan kamp konsentrasi yang ada disana. Penempatan kompleks vital ini di luar wilayah Jerman dimungkinkan atas saran dari pejabat CIA. Dan, merupakan suatu fakta yang konyol ketika baru saja perang usai, CIA langsung berkantor pusat di gedung pencakar langit milik IG Farben di Frankfurt.

Konstelasi Politik Global Sebelum Perang
            Dekade 1930an bisa dikatakan sebagai fase Antarbellum II karena setelah negara-negara khususnya Eropa berbenah dari kehancuran yang diakibatkan oleh Perang Dunia I, negara-negara tersebut tengan mempersiapkan segala kemungkinan yang dapat terjadi. Hal tersebut ditambah dengan munculnya negara-negara dengan ideologi besar yang saling bertentangan. Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara Eropa Barat lainnya merepresentasikan ideologi liberal kapitalis. Disisi lain Uni Soviet mulai bangkit dengan kekuatan ideologi sosialis-komunis. Sementara itu baik di Jerman, Italia, dan Jepang, kaum fasis mulai mendapat tempat di pemerintahan. Adolf Hitler menjadi kanselir Jerman, Benito Mussolini menjadi perdana menteri Italia dan Hideki Tojo menjadi perdana menteri Jepang.
Para pemimpin negara-negara ini dengan ideologinya masing-masing saling mencurigai satu sama lain. Ditambah pula tindakan provokasi yang dilakukan oleh negara-negara fasis membawa dunia ke masa yang kritis. Tahun 1932, ancaman perang di Pasifik semakin nyata setelah Jepang keluar dari LBB akibat Krisis Manchuria. Melihat situasi tersebut Amerika Serikat mengakui eksistensi Uni Soviet di LBB dan setahun kemudian Uni Soviet resmi menjadi anggota LBB. Italia juga keluar dari LBB tahun 1935. Spanyol menjadi negara pertama uji coba persenjataan dan strategi politik NAZI Jerman dengan Uni Soviet dalam Perang Saudara 1936 dimana Franco dengan dukungan NAZI berhasil menggagalkan pembentukan pemerintahan republik sayap kiri dukungan Soviet.

Intrik di Eropa Tengah dan Timur
Berbagai intrik politik terjadi menjelang pecahnya Perang Dunia II dimana masing-masing negara berusaha mengamankan wilayah dan pertahanannya sendiri. Kesepakatan NAZI Jerman dengan Uni Soviet yang dikenal dengan Pakta Molotov-Ribbentrop sering dianggap sebagai pemicu perang. Dalam perjanjian tersebut, disepakati pembagian pengaruh antara NAZI dan Soviet di wilayah Eropa Tengah mulai dari perbatasan timur Jerman hingga perbatasan barat Soviet meliputi Polandia, Hungaria, dan negara-negara Baltik. Pakta ini dianggap pihak Barat maupun Polandia menyalahi hukum internasional karena secara sepihak membagi Eropa ke dalam dua pengaruh. Akan tetapi, Menteri Luar Negeri Uni Soviet, Vyacheslav Molotov mengatakan Uni Soviet terpaksa mengadakan perjanjian tersebut juga karena fakor Eropa Barat terutama Inggris dan Perancis menolak bekerja sama dengan Uni Soviet dalam menghadapi ekspansi Jerman. Selain itu Pakta Molotov-Ribbentrop hanya merupakan reaksi terhadap perjanjian rahasia sebelumnya yang dianggap membahayakan kedudukan baik NAZI maupun komunis Soviet, yaitu Kesepakatan Anglo-Polish antara Polandia dengan Inggris.[24]
Dari sudut pandang NAZI Jerman, kesepakatan dengan Uni Soviet bukan hanya sebatas strategi politik namun lebih menguntungkan dalam strategi militer. Kesepakatan tersebut memungkinkan Hitler memfokuskan pertempuran di front barat menghadapi Inggris dan Perancis dan menghindari resiko serbuan dari timur jika Uni Soviet berkoalisi dengan Inggris dan Perancis. Bagi Inggris dan Perancis ini dianggap hukuman Stalin atas keputusan kedua negara yang menolak Uni Soviet berkoalisi dengan mereka dalam menghadapi NAZI sebagai musuh bersama yang membahayakan perdamaian Eropa. Akan tetapi yang menjadi korban sebenarnya dari kesepakatan ini adalah Polandia dan negara-negara Baltik.
Pakta Molotov-Ribbentrop pada Agustus 1939 membentuk perjanjian non-agresi antara Jerman Nazi dan Uni Soviet, dan sebuah protokol rahasia menggambarkan bagaimana Finlandia, Estonia, Latvia, Lithuania, Polandia dan Rumania akan dibagi-bagi di antara mereka. Dalam Perang September di Polandia pada 1939 kedua negara itu menyerang dan membagi Polandia. Pada Juni 1940 Uni Soviet, yang mengancam untuk menggunakan kekerasan apabila tuntutan-tuntutannya tidak dipenuhi, memenangkan perang diplomatik melawan Rumania dan tiga negara Baltik yang de jure mengizinkannya untuk secara damai menduduki Estonia, Latvia dan Lithuania, dan mengembalikan wilayah-wilayah Ukraina, Belorusia, dan Moldovia di wilayah utara dan timur laut dari Rumania (Bucovina Utara dan Bessarabia). Pembagian Polandia untuk pertama kalinya memberikan Jerman dan Uni Soviet sebuah perbatasan bersama. Selama hampir dua tahun perbatasan ini tenang sementara Jerman menaklukkan Denmark, Norwegia, Perancis, dan daerah-daerah Balkan.
Uni Soviet sendiri mulai menguasai daerah-daerah Baltik dan sebagian wilayah Polandia yang dibagi dua. Akan tetapi tindakan ini dianggap Hitler sebagai ancaman karena dengan menguatnya Uni Soviet di Polandia dan Eropa Tengah maka hal itu tentu menyulitkan politik lebensraum yang awalnya adalah perluasan wilayah Jerman ke timur atau wilayah Rusia. Disamping itu pendudukan Soviet atas Eropa Tengah mungkin dianggap hanya satu tahap sebelum tahap menyerang ke pusat Jerman. Disisi lain Hitler melihat pembersihan besar-besaran di Uni Soviet telah melemahkan kekuatan militer Uni Soviet. Hal ini menjadi pertimbangan bagi Hitler untuk membatalkan kesepakatan dan mulai menginvasi Soviet.
Negara-negara yang menjadi korban bagi kedua pemimpin ini tentu saja Eropa Tengah khususnya Polandia dan negara-negara Baltik. Di Polandia, awal perang tahun 1939, terjadi serangan mendadak pasukan Jerman terhadap kota pelabuhan Gdansk, tujuannya untuk mengembalikan Gdansk ke wilayah Jerman. Tidak lama berselang, pemerintahan nasional dibubarkan paksa oleh militer Uni Soviet yang menyerang dari timur. Tentara Polandia banyak yang didemisionerkan dan sebagian besar dieksekusi atas tuduhan terlibat konspirasi dengan NAZI Jerman. Peristiwa ini dikenal dengan Tragedi Katyn karena eksekusi dilakukan di hutan Katyn, Smolensk. Peristiwa ini hingga kini selalu menjadi pemicu ketegangan antara Polandia dengan Rusia karena Rusia menolak bertanggung jawab atas tragedi di Katyn.[25] Tragedi Katyn sebenarnya telah diselidiki oleh dinas-dinas Inggris dan Amerika Serikat atas desakan pemerintah Polandia, namun selalu urung karena ada ancaman dari pemerintah Uni Soviet. Bahkan pemerintah Inggris dan Amerika Serikat balik menuduh Jerman dibalik pembantaian tersebut.
Setelah kesepakatan dibatalkan dan Hitler memerintahan menyerang Uni Soviet, Polandia kembali menjadi sasaran pertama serangan Jerman. Wilayah Polandia yang telah dikuasai NAZI kemudian dijadikan tempat mendirikan kamp-kamp konsentrasi untuk para tahanan politik maupun tawanan perang. Kamp-kamp terbesar NAZI terdapat di Polandia, diantaranya adalah Auschwitz-Birkenau, Kulmhof, Sobibor dan Treblinka. Di kamp-kamp tersebutlah NAZI melakukan Endlosung terhadap etnis-etnis non-Arya, Yahudi dan kaum-kaum lainnya yang bertentangan dengan NAZI.
Menjelang berakhirnya perang, kembali terjadi intrik mengenai Polandia. Ketika pasukan Jerman berhasil dipukul mundur dari wilayah Uni Soviet dan dikejar hingga kembali ke Jerman, pemerintah pendudukan Jerman di Polandia mengalami tantangan yaitu gerakan pemberontakan Warsawa pimpinan Jenderal Tadeuz Bor-Komorowski pada Agustus 1944. Kekuatan Jerman pada saat itu sudah mulai terkuras terlebih lagi dengan adanya pemberontakan Warsawa. Sekalipun kekuatan Jerman hampir habis namun pemberontakan Warsawa dapat digagalkan karena Uni Soviet menolak memberikan bantuan kepada milisi Warsawa dalam menentang NAZI. Hal ini karena Stalin tidak menginginkan Polandia setelah dibebaskan kemudian jatuh ke tangan pemerintahan demokratis yang pro-Barat oleh sebab itu, Stalin membiarkan milisi Polandia berjuang sendirian menghadapi Jerman hingga akhirnya dihancurkan tentara Jerman.[26] Begitulah nasib yang dialami negara-negara Eropa Tengah khususnya Polandia akibat intrik yang terjadi selama perang berlangsung. Akhirnya seluruh negara Eropa Tengah bahkan Jerman bagian timur jatuh ke dalam pengaruh Uni Soviet pasca-Konferensi Potsdam, 1945.





BAB  V
PENUTUP
            Jerman yang sekarang terlihat sebagai negara maju dengan teknologi yang tidak diragukan lagi pernah mengalami masa pasang surut. Jerman dengan segala potensinya menjadi starting point bagi Eropa maupun dunia. Tercatat berbagai peristiwa besar terjadi dengan Jerman sebagai motor penggeraknya. Mulai dari gerakan Protestan, peperangan di Eropa dan bahkan dua perang besar di dunia, Perang Dunia I dan Perang Dunia II bisa dikatakan utamanya disebabkan oleh ulah Jerman.
            Kedua perang tersebut walaupun awalnya Jerman memiliki peluang untuk menang dan menggusur hegemoni negara-negara yang sudah established pada akhirnya kekalahan pula yang harus ditelan bangsa ini. Hal ini disebabkan oleh faktor utamanya adalah bangsa Jerma sangan bersifat ambisius dan terkesan cepat dalam mengambil tindakan, terlihat dari taktik perang blitzkrieg dalam Perang Dunia II. Selama Perang Dunia II, para pemimpin Jerman tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pengambil kebijakan paling berdarah di dunia. Kamp-kamp konsentrasi tersebar dari Perancis hingga Polandia, membuat jutaan orang kehilangan nyawa dan jutaan lainnya hidup dibawah ketakutan. Perang Dunia II yang pada akhirnya tidak hanya membuat Jerman hancur tetapi menjadi ajang perebutan pengaruh antara dua ideologi besar dunia, kapitalisme-liberalisme Amerika Serikat (Barat) dengan sosialisme-komunisme Uni Soviet (Timur). Hingga akhirnya kedua Jerman bersatu pada awal dekade 1990an dan menandai berakhirnya suatu era, Perang Dingin.
            Berbagai peristiwa besar tersebut tentunya membuat bangsa Jerman sadar dan lebih dewasa dalam menghadapi permasalahan baik dalam negeri maupun internasional. Jerman tidak ingin mengulangi kesalahan para pendahulunya yang pada awalnya ingin menjayakan Jerman namun akhirnya malah menghancurkan Jerman dengan tindakan agresif dan terburu-buru. Namun pada akhirnya Jerman sekarang merupakan salah satu negara industri maju dan sebagian besar kemajuannya merupakan warisan dari rezim di masa lalu. Baik Kekaisaran Prusia maupun NAZI Jerman telah memberikan pondasi bagi Jerman sebagai negara industri dan itu menjadi modal untuk berperan dalam dunia internasional.


DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Archer, Jules. Kisah Para Diktator. 2004. Yogyakarta : Narasi.
Arrifai, Fuad bin Sayyid Abdurrahman. Yahudi Dalam Informasi Dan Organisasi. 1995. Jakarta : Gema Insani Press.
Ballack, Luger. 7 Tokoh Kunci NAZI. 2007. Jakarta : Visimedia.
Calton, Joel. Abad ke-20. 1991. Jakarta : Tira Pustaka.
Carr, William G. Yahudi Menggenggam Dunia. 2006. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Dawning, Stephan. Holocaust. Fakta atau Fiksi ?. 2007. Yogyakarta : Media Press.
Fredrickson, George M. Rasisme Sejarah Singkat. 2005. Yogyakarta : Bentang.
Geisler, Michael E. National Symbol, Fractured Identities : Contesting the National Narrative. 2005. New England : Middleburry College Press.
Hitler, Adolf. Mein Kampf. 2007. Yogyakarta : Narasi.
Maulani, Z.A. Zionisme : Gerakan Menaklukan Dunia. 2002. Jakarta : Daseta.
Nugraha, Arifin Surya. 10 Kisah Genocide. 2008. Yogyakarta : Bio Pustaka.
Ojong, P.K. Perang Eropa Jilid I, II, III. 2006. Jakarta : Kompas.
Pambudi, Agustinus. The Death Of Adolf Hitler. 2005. Yogyakarta : Narasi.
Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Singkat Jerman. 1982. Jakarta : UI Press.
Snyder, Louis. Dunia dalam Abad ke-20. 1955. New York : D. Van Nostrand Company, Inc.
Tim Narasi. The Mass Killers on the Twentieth Century. 2006. Yogyakarta : Narasi.
Yenne, Bill. 100 Peristiwa Yang Berpengaruh Di Dalam Sejarah Dunia. 2005. Jakarta : Karisma Publishing Group.

Majalah :
Majalah Angkasa edisi NAZI’S Special Forces, 2006.

Internet :

Film :
Dibalik Tragedi Dua Perang Dunia. Harun Yahya Series, 2003.
Katyn. Michal Kwiecinski Production, ITI Cinema, 2007.
NAZIS, The Occult Conspiracy. Discovery Channel, 2009.
The Road To War. BBC, 2005.
War Of The Century : When Hitler Fought Stalin. BBC, 2006.



[1] Marwati Djoened Poesponegoro. Sejarah Singkat Jerman. (Jakarta : UI Press, 1982). Hal. 10.
[2] Michael E. Geisler. National Symbol, Fractured Identities : Contesting the National Narrative. (New England : Middleburry College Press, 2005). Hal. 64.
[3] Ibid.
[4] Marwati Djoened. Op. Cit. Hal. 46.
[5] William G. Carr. Yahudi Menggenggam Dunia. (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006). Hal. 226.
[6] Bill Yenne. 100 Peristiwa Yang Berpengaruh Di Dalam Sejarah Dunia. (Jakarta : Karisma Publishing Group, 2005). Hal. 147.
[7] Ninok Laksono dalam pengantar buku Perang Eropa.
[8] Bill Yenne. Op. Cit. Hal. 156.
[9] Joel Calton. Abad ke-20. (Jakarta : Tira Pustaka, 1991). Hal. 67.
[10] Ibid. Hal. 74.
[11] Agustinus Pambudi. The Death Of Adolf Hitler. (Yogyakarta : Narasi, 2005). Hal. 37.
[12] Jules Archer. Kisah Para Diktator. (Yogyakarta : Narasi, 2004). Hal. 143.
[13] Luger Ballack. 7 Tokoh Kunci NAZI. (Jakarta : Visimedia, 2007). Hal. 27.
[14] Luger Ballack. Op. Cit. Hal. 35.
[15] George M. Fredrickson. Rasisme Sejarah Singkat. (Yogyakarta : Bentang, 2005). Hal. 157.
[16] Adolf Hitler. Mein Kampf. (Yogyakarta : Narasi, 2007). Hal. 325.
[17] Stephan Dawning. Holocaust. Fakta auatu Fiksi ?. (Yogyakarta : Media Press, 2007). Hal. 54.
[18] Tim Narasi. The Mass Killers on the Twentieth Century. (Yogyakarta : Narasi, 2006). Hal. 76.
[19] Ibid.
[20] Arifin Surya Nugraha. 10 Kisah Genocide. (Yogyakarta : Bio Pustaka, 2008). Hal. 12.
[21] Ibid. Hal. 13.
[22] file:///E:/Google/Darwinisme/tentang-pembantaian-yahudi-oleh-nazi.html
[23] Tulisan ini diambil dari artikel majalah Angkasa edisi NAZI’S Special Forces, 2006.
[24] Marwati Djoened P. Op Cit. Hal. 121.
[25] http://www.pondokrenungan.com/isi.php?table=issi&id=1146
[26] PK. Ojong. Perang Eropa Jilid III. (Jakarta : Kompas, 2006). Hal. 152.