Sabtu, 17 November 2012

Analisa & Review SKI BAB 1

di temukan
BUDI DAYA PADI DENGAN RESTU DEWATA

            Masih mustahil menulis sejarah agraris tentang Pulau Jawa karena tiga alasan.Alasan yang pertama ialah karena kita masih kekurangan monografi lokal, kebanyakan pengarang adalah pedesaan Jawa walaupun ada usaha belakangan Yogya. Terdapat perbedaan yang besar antara desa satu dan lain, baik dalam tipe tanah pemilikan maupun dalam cara pengolahan. Kedua kesulitan dalam penulisan sejarah agraris Jawa disebabkan oleh ketidaksenambungan sumber-sumber.Untuk seluruh periode pertama yaitu dari abad ke-5 sampai yang ke-15, ada sumber epigrafi, yakni prasasti yang ditulis diatas batu atau kuningan. Kelebihannya adalah bahwa sumber-sumber tersebut mencakup hamper seluruh politik agraris para penguasa dan pembesar.
            Dari abad ke-16 sampai abad ke-18, perkembangan politik diselingi serentetan perang dalam negeri akan tetapi kita hanya dapat menduga-duga evolusi pedesaan padahal ini sangat penting. Kesulitan yang ketiga dalam penyusunan sejarah agraris Pulau Jawa, tulisan mengenai “masalah pertanian di Jawa” terus bermunculan tetapi sering juga meninggalkan taraf deskripsi atau analisis yang mengarah ke bidang teori.Berhadapan dengan masalah yang termasuk paling peka masa kini dan tiadanya monografi atau sumber yang berarti atau memuaskan atau sebaliknya dengan sumber yang berlimpah, sejarawan merasa sedikit kewalahan.Sintesis berikut merupakan salah satu percobaan penuh resiko dan merupakan bagian paling “lemah” dari penelitian ini.

Prasasti yang pertama yang ditenukan di Jawa berasal dari Pasundan sebelah utara, dekat kota Jakarta dan Bogor, dan kearah barat di daerah Lebak. Jumlahnya lima buah, disebutkan sebuah kerajaan bernama Taruma dengan raja Purnawarmma bukti jejak-jejak pertama masuknya budaya tulis. Prassasti yang pertama daerah Jawa Tengah, yang muncul pada awal abad ke-8, mengungkapkan persaingan di antara sesame raka atau rakaryan, yaitu penguasa yang telah berhasil menguasai sejumlah wanua atau “komunitas desa” dan berusaha meningkatkan pretisenya dengan memperbanyak bangunan suci. Teks-teks tertulis kita dapat menangkap proses integrasi pedesaan pada waktu itu sudah cukup maju. Wanua-wanua, di bawah kekuasaan pembesar mereka, yaitu para rama (“bapak” desa) tampaknya sudah terkelompok di dalam “federasi-federasi regional” atau watak yang namanya diberikan pada raka. Para penguasa itu tampaknya harus tunduk pada kebutuhan sejenis “potlatch” yang permanen: mereka kerap membuka tanah untuk dianugerahkan kepada komunitas Hindu atau Buddha, yang pada gilirannya membalas jasa dengan menganugerahkan kepada mereka gelar-gelar simbolis atau melancarkan usaha pembangunan secara besar-besaran seperti untuk candi Borobudur atau Prambanan.
Dalam abad ke-9 tanah Jawa dapat disatukan untuk pertama kali oleh Sri Maharaja Rakai Kayuwangi yang telah mengeluarkan prasasti-prasasti anatara 873 dan 882 rupanya raja satu-satunya yang berhak memberikan anugerah. Penggantinya, Dyah Balitung, raka di Watura memperkukuh keadaan pada tahun 907 memerintahkan pembuatan inskripsi panjang yang menyatakan dirinya sebagai keturunan Sanjaya, dan memyebutkan Jawa Timur sebagai daerah kekuasaannya. Namun peranan Jawa Timur, Raja Daksa Tulodong dan Wawa yang berkuasa sesudah Balitung masing-masing dengan masa pemerintahan yang sangat pendek akan tetapi pada tahun 928 Mpuk sindok memindahkan keratonya untuk selamnya ke Jawa Timur dan sejak saat itu  tidak ada lagi inskripsi yang berasal dari Jawa Tengan. Apapun yang terjadi sebenarnya jantung kekuasaan raja-raja Jawa selanjutnya dipindahkan ke timur selama enam abad lebih.Baru pada akhir abad ke-16 bakal muncul seorang pengusa Jawa Tengah yang berhasil mendirikan “kerajaan Mataram kedua”.
Sesudah 1205, dikeluarkannya prasasti Kediri perlu waktu enam puluh tahun lagi sebelum pada tahun 1264muncul prasasti yang pertama seorang raja yang memerintah di Singhasari.Namun kali ini peristiwa yang terjadi anatara kedua prasasti dapat diketahui berkat teks-teks sastra terutama Nagarakertagama dan Pararaton atau “Kitab Raja-raja”.Munculnya pemakaian tulisan tidak harus berarti ipso facto bahwa telah lahir sebuah masyarakt baru. Masyarakat yang terungkap melalui prasasti-prasasti pertama kelihatan pada saat tertentu berkembang dalam proses evolusi yang lamban. Wanua-wanua sedang bergabung menjadi watak-watak, namun tak ada tanda bahwa budi daya padi baru dikenal.Teori asal usul padi di Asia Tenggara sudah banyak diperdebatkan.Cukuplah kiranya dikatakan bahwa bagaimanapun juga, budi daya padi bukan sumbangan dari indianisasi. Namun yang pasti ialah bahwa kedua ideology baru, Hindu maupun Budha yang rupanya disini lebih rukun satu sama lain daripada di India, telah mempunyai andil besar di dalam usaha “penggabungan wilayah-wilayah” dan muncul konsep kerajaan. Dari awal sampai akhir periode yang tercantum pada prasasti itu tampil raja-raja berikhtiar memusakan hati agamawan agar mereka sendiri lalu mendapat charisma religius.
Bila disatu pihak para raja membebaskan tanah milik komunitas agama dari pajak, mereka sebaliknya dan menuntut kerja rodi dari semua desa yang langsung berada dibawah kekuasaan mereka. Keluarga raja dan semua orang keratin di sekelilingnya tidak mengkin hidup tanpa adanya “pajak-pajak kerajaan” dan “tugas-tugas wajib raja” yang justru menurut prasasti tidak dikenakan kepada sima. Karena itu, sruktur sosial tampaknya berlapis tiga: 1). Kaum agama yang terdiri dari para rohaniwan Hindu atau Buddha, dan yang menguasai desa-desa mereka yang bebas pajak, 2). Lingkungan keratin yang berkuasa di atas para raka lokal (dengan bantuan kaum agamawan) dan 3). Desa-desa biasanya yang dipunguti pajak oleh raja dengan perantaraan pemungut pajak dan juga dapat dianugerahkan sebagai “lungguh” kepada para raka yang kesetiannya dibutuhkan oleh raja.Kaum tani dari wanua, yang didukung kerajaan dalam usaha mereka membabat hutan rimba, menghasilkan surplus yang langsung masuk kraton. Dalam hal sima, kraton merelakan surplus hasil itu yang kemudian menjadi drwya hyang atau bwat hyang akan tetapi maksudnya tidak lain supaya para agamawan melaksanakan ritual kerajaan dengan baik dan menjaga candi-candi yang kebanyakan merupakan tempat pemujaan leluhur raja. Dari sudut manipulasi symbol, para raja berkepentingan memperbanyak jumlah sima, sedangkan dari sudut kekayaan material mereka juga berkepentingan untuk mengembangkan budi daya padi pada wanua.Di samping budidaya padi berkembang lamban, daerah persawahan masih merupakan kantung terbatas yang dibuka ditengah-tengah hutan.
Abad ke-15 dan ke-16 negara agraris mundur sampai akhirnya tata agraris itu hilang untuk sementara waktu.Sebelum agama Islam masuk ke pedalaman Jawa, sudah ada orang yang meninggalkan sinkretisme artodoks untuk menekuni aliran ritual baru, dan mengagungkan tokoh-tokoh penyelamat. Candi-candi Singhasari atau Panataran berfungsi utama sebagai penampung patung dewa, kidung yang berpatokan pada jumlah suku kata, jenis rima dan jumlah larik satu bait. Kemungkinan terjadi hubungan antara kaum kraton dan kaum agama, lemahnya ikatan kuasa antara raja dan para pewaris raka atau samegat. Untuk mencegah perkembangan tersebut diterapkan suatu politik “kekeluargaan” dengan menempatkan “kerabat” raja di tempat-tempat kunci dan mengambil selir diantara anak pembesar tertentu.
Kenyataan politik di sekitar tahun 1586, keluarga raja-raja Mataram memulihkan monarki demi kepentingannya sendiri dan menyatukan kembali wilayah Jawa di bawah kekuasaannya. Untuk mempertahankan kekuasaannya mereka atas wilayah yang telah mereka taklukan, cara pertama ialah mewajibkan penguasa-penguasa daerah, terutama yang kuat untuk tinggal di kraton beberapa bulan dalam setahun. Cara lain untuk memperkukuh kekuasaan yang mungkin juga dicontoh dari Majapahit, adalah dengan menerapakan politik perkawinan yang piawai. Cara ketiga adalah pembentukan sejenis polisi Negara yng berada langsung dibawah kekausaan raja.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar