BUDI
DAYA PADI DENGAN RESTU DEWATA
Masih mustahil menulis sejarah agraris tentang Pulau Jawa
karena tiga alasan.Alasan yang pertama ialah karena kita masih kekurangan
monografi lokal, kebanyakan pengarang adalah pedesaan Jawa walaupun ada usaha
belakangan Yogya. Terdapat perbedaan yang besar antara desa satu dan lain, baik
dalam tipe tanah pemilikan maupun dalam cara pengolahan. Kedua kesulitan dalam
penulisan sejarah agraris Jawa disebabkan oleh ketidaksenambungan
sumber-sumber.Untuk seluruh periode pertama yaitu dari abad ke-5 sampai yang
ke-15, ada sumber epigrafi, yakni prasasti yang ditulis diatas batu atau kuningan.
Kelebihannya adalah bahwa sumber-sumber tersebut mencakup hamper seluruh
politik agraris para penguasa dan pembesar.
Dari abad ke-16 sampai abad ke-18, perkembangan politik
diselingi serentetan perang dalam negeri akan tetapi kita hanya dapat menduga-duga
evolusi pedesaan padahal ini sangat penting. Kesulitan yang ketiga dalam
penyusunan sejarah agraris Pulau Jawa, tulisan mengenai “masalah pertanian di
Jawa” terus bermunculan tetapi sering juga meninggalkan taraf deskripsi atau
analisis yang mengarah ke bidang teori.Berhadapan dengan masalah yang termasuk
paling peka masa kini dan tiadanya monografi atau sumber yang berarti atau
memuaskan atau sebaliknya dengan sumber yang berlimpah, sejarawan merasa
sedikit kewalahan.Sintesis berikut merupakan salah satu percobaan penuh resiko
dan merupakan bagian paling “lemah” dari penelitian ini.
Prasasti
yang pertama yang ditenukan di Jawa berasal dari Pasundan sebelah utara, dekat
kota Jakarta dan Bogor, dan kearah barat di daerah Lebak. Jumlahnya lima buah,
disebutkan sebuah kerajaan bernama Taruma dengan raja Purnawarmma bukti
jejak-jejak pertama masuknya budaya tulis. Prassasti yang pertama daerah Jawa
Tengah, yang muncul pada awal abad ke-8, mengungkapkan persaingan di antara
sesame raka atau rakaryan, yaitu penguasa yang telah berhasil menguasai
sejumlah wanua atau “komunitas desa” dan berusaha meningkatkan pretisenya
dengan memperbanyak bangunan suci. Teks-teks tertulis kita dapat menangkap
proses integrasi pedesaan pada waktu itu sudah cukup maju. Wanua-wanua, di
bawah kekuasaan pembesar mereka, yaitu para rama (“bapak” desa) tampaknya sudah
terkelompok di dalam “federasi-federasi regional” atau watak yang namanya
diberikan pada raka. Para penguasa itu tampaknya harus tunduk pada kebutuhan
sejenis “potlatch” yang permanen: mereka kerap membuka tanah untuk
dianugerahkan kepada komunitas Hindu atau Buddha, yang pada gilirannya membalas
jasa dengan menganugerahkan kepada mereka gelar-gelar simbolis atau melancarkan
usaha pembangunan secara besar-besaran seperti untuk candi Borobudur atau
Prambanan.
Dalam
abad ke-9 tanah Jawa dapat disatukan untuk pertama kali oleh Sri Maharaja Rakai
Kayuwangi yang telah mengeluarkan prasasti-prasasti anatara 873 dan 882 rupanya
raja satu-satunya yang berhak memberikan anugerah. Penggantinya, Dyah Balitung,
raka di Watura memperkukuh keadaan pada tahun 907 memerintahkan pembuatan
inskripsi panjang yang menyatakan dirinya sebagai keturunan Sanjaya, dan
memyebutkan Jawa Timur sebagai daerah kekuasaannya. Namun peranan Jawa Timur, Raja
Daksa Tulodong dan Wawa yang berkuasa sesudah Balitung masing-masing dengan
masa pemerintahan yang sangat pendek akan tetapi pada tahun 928 Mpuk sindok
memindahkan keratonya untuk selamnya ke Jawa Timur dan sejak saat itu tidak ada lagi inskripsi yang berasal dari
Jawa Tengan. Apapun yang terjadi sebenarnya jantung kekuasaan raja-raja Jawa
selanjutnya dipindahkan ke timur selama enam abad lebih.Baru pada akhir abad
ke-16 bakal muncul seorang pengusa Jawa Tengah yang berhasil mendirikan
“kerajaan Mataram kedua”.
Sesudah
1205, dikeluarkannya prasasti Kediri perlu waktu enam puluh tahun lagi sebelum
pada tahun 1264muncul prasasti yang pertama seorang raja yang memerintah di
Singhasari.Namun kali ini peristiwa yang terjadi anatara kedua prasasti dapat
diketahui berkat teks-teks sastra terutama Nagarakertagama dan Pararaton atau
“Kitab Raja-raja”.Munculnya pemakaian tulisan tidak harus berarti ipso facto
bahwa telah lahir sebuah masyarakt baru. Masyarakat yang terungkap melalui
prasasti-prasasti pertama kelihatan pada saat tertentu berkembang dalam proses
evolusi yang lamban. Wanua-wanua sedang bergabung menjadi watak-watak, namun
tak ada tanda bahwa budi daya padi baru dikenal.Teori asal usul padi di Asia
Tenggara sudah banyak diperdebatkan.Cukuplah kiranya dikatakan bahwa
bagaimanapun juga, budi daya padi bukan sumbangan dari indianisasi. Namun yang
pasti ialah bahwa kedua ideology baru, Hindu maupun Budha yang rupanya disini
lebih rukun satu sama lain daripada di India, telah mempunyai andil besar di
dalam usaha “penggabungan wilayah-wilayah” dan muncul konsep kerajaan. Dari
awal sampai akhir periode yang tercantum pada prasasti itu tampil raja-raja
berikhtiar memusakan hati agamawan agar mereka sendiri lalu mendapat charisma
religius.
Bila
disatu pihak para raja membebaskan tanah milik komunitas agama dari pajak,
mereka sebaliknya dan menuntut kerja rodi dari semua desa yang langsung berada
dibawah kekuasaan mereka. Keluarga raja dan semua orang keratin di
sekelilingnya tidak mengkin hidup tanpa adanya “pajak-pajak kerajaan” dan
“tugas-tugas wajib raja” yang justru menurut prasasti tidak dikenakan kepada
sima. Karena itu, sruktur sosial tampaknya berlapis tiga: 1). Kaum agama yang
terdiri dari para rohaniwan Hindu atau Buddha, dan yang menguasai desa-desa mereka
yang bebas pajak, 2). Lingkungan keratin yang berkuasa di atas para raka lokal
(dengan bantuan kaum agamawan) dan 3). Desa-desa biasanya yang dipunguti pajak
oleh raja dengan perantaraan pemungut pajak dan juga dapat dianugerahkan
sebagai “lungguh” kepada para raka yang kesetiannya dibutuhkan oleh raja.Kaum
tani dari wanua, yang didukung kerajaan dalam usaha mereka membabat hutan
rimba, menghasilkan surplus yang langsung masuk kraton. Dalam hal sima, kraton
merelakan surplus hasil itu yang kemudian menjadi drwya hyang atau bwat hyang
akan tetapi maksudnya tidak lain supaya para agamawan melaksanakan ritual
kerajaan dengan baik dan menjaga candi-candi yang kebanyakan merupakan tempat
pemujaan leluhur raja. Dari sudut manipulasi symbol, para raja berkepentingan
memperbanyak jumlah sima, sedangkan dari sudut kekayaan material mereka juga
berkepentingan untuk mengembangkan budi daya padi pada wanua.Di samping
budidaya padi berkembang lamban, daerah persawahan masih merupakan kantung
terbatas yang dibuka ditengah-tengah hutan.
Abad
ke-15 dan ke-16 negara agraris mundur sampai akhirnya tata agraris itu hilang
untuk sementara waktu.Sebelum agama Islam masuk ke pedalaman Jawa, sudah ada
orang yang meninggalkan sinkretisme artodoks untuk menekuni aliran ritual baru,
dan mengagungkan tokoh-tokoh penyelamat. Candi-candi Singhasari atau Panataran
berfungsi utama sebagai penampung patung dewa, kidung yang berpatokan pada
jumlah suku kata, jenis rima dan jumlah larik satu bait. Kemungkinan terjadi
hubungan antara kaum kraton dan kaum agama, lemahnya ikatan kuasa antara raja
dan para pewaris raka atau samegat. Untuk mencegah perkembangan tersebut
diterapkan suatu politik “kekeluargaan” dengan menempatkan “kerabat” raja di
tempat-tempat kunci dan mengambil selir diantara anak pembesar tertentu.
Kenyataan
politik di sekitar tahun 1586, keluarga raja-raja Mataram memulihkan monarki
demi kepentingannya sendiri dan menyatukan kembali wilayah Jawa di bawah
kekuasaannya. Untuk mempertahankan kekuasaannya mereka atas wilayah yang telah
mereka taklukan, cara pertama ialah mewajibkan penguasa-penguasa daerah,
terutama yang kuat untuk tinggal di kraton beberapa bulan dalam setahun. Cara
lain untuk memperkukuh kekuasaan yang mungkin juga dicontoh dari Majapahit,
adalah dengan menerapakan politik perkawinan yang piawai. Cara ketiga adalah
pembentukan sejenis polisi Negara yng berada langsung dibawah kekausaan raja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar