BAB I
PENDAHULUAN
Mewujudkan Impian Persatuan Jerman Raya
Jerman, negara besar dengan
segala kemajuannya merupakan salah satu negara di Eropa yang memiliki sejarah
yang panjang. Dimulai dari persebaran suku-suku bangsa, dilanjutkan dengan masa
Abad Pertengahan yang penuh perselisihan dan peperangan keluarga-keluarga
besar, perkembangan negara Prusia yang dikemudian hari menjadi inti negara
Jerman dan tercapainya persatuan negara-negara Jerman pada tahun 1871. Jerman
yang tergolong paling akhir membentuk kesatuan nasional mampu bangkit dan
berusaha untuk menggeser hegemoni negara-negara besar Eropa lainnya yang sudah
lebih dulu berdiri seperti Inggris dan Perancis.
Kesatuan
Jerman sebenarnya sudah dimulai sejak munculnya Kekaisaran Romawi Suci pada
Abad Pertengahan.[1]
Keluarga Hapsburg dari Austria yang merupakan wilayah suku Jerman memerintah
hampir seluruh wilayah Eropa, mulai dari Iberia hingga perbatasan dengan Rusia.
Kekaisaran Romawi Suci berhasil mempertahankan wilayahnya hingga awal abad ke
19 walaupun dalam kurun waktu lebih dari delapan abad terjadi berbagai
peristiwa yang berdampak bukan hanya pada eksistensi kekaisaran namun hingga ke
seluruh penjuru Eropa bahkan dunia. Pada masa Kekaisaran Romawi Suci inilah
muncul gerakan Protestan yang merupakan gerakan untuk mengembalikan
ajaran-ajaran gereja ke Injil.
Revolusi Perancis yang pada
mulanya menumbangkan tirani kemudian berdampak pada naiknya Napoleon Bonaparte
sebagai kaisar Perancis. Napoleon mengadakan berbagai tindakan sepihak untuk
mengembalikan kebesaran Perancis. Napoleon menproklamirkan diri sebagai kaisar
pada 1804 dan menimbulkan berbagai reaksi di Eropa. Tsar Aleksandr dari Rusia
yang anti-Perancis mengumumkan koalisi dengan Kerajaan Inggris, kemudian Franz
I menyatakan diri sebagai kaisar Austria. Napoleon memimpin pasukan Perancis
menghadapi koalisi Austria-Rusia namun dengan mudah dapat dikalahkan Napoleon.
Kekalahan tersebut sangat berdampak buruk bagi Austria dan Romawi Suci.
Perjanjian Pressburg tahun 1805 menyatakan Austria kehilangan wilayah Bayern,
Wuerttemberg dan Baden.
Napoleon mengadakan
perubahan-perubahan dan mengumumkan pembentukan Konfederasi Rhein pada Juli
1806. Konfederasi ini terdiri dari negara-negara Jerman kecuali Austria dan
Prusia. Negara-negara ini lepas dari Romawi Suci dan berkoalisi dengan
Perancis. Dengan demikian Austria mengumumkan berakhirnya masa kekuasaan Romawi
Suci pada Agustus 1806. Konstelasi politik Eropa kemudian sangat dipengaruhi
oleh tiga kekuatan besar, Kekaisaran Perancis, Kerajaan Inggris dan Kekaisaran
Rusia. Ketiganya kemudian menyeret Eropa kedalam Perang Koalisi. Koalisi
Inggris dan Rusia ditambah Austria serta Prusia menghadapi Perancis dan
negara-negara koalisinya seperti Belanda dan Spanyol. Pertempuran demi
pertempuran mengantarkan Napoleon ke puncak kejayaan dimana hampir seluruh
Eropa dikuasai. Hanya Inggris dan Rusia yang belum bertekuk lutut. Kampanye
ambisius Napoleon kemudian adalah menginvasi Rusia namun pertempuran dengan
Rusia merupakan mimpi buruk bagi Napoleon. Tahun 1812, pasukan kebanggaan
Napoleon dan Perancis, Le Grande Armee berhasil dipukul mundur oleh
Resimen Preobrazhensky dibawah pimpinan Jenderal Kutuzov.
Kehancuran pasukan Perancis di
Rusia mendorong Austria dan Prusia kembali berkoalisi dengan Rusia dan menghantam
pasukan Perancis di Leipzig pada 1813. Tahun 1814 Napoleon mundur dan
diasingkan ke Pulau Elba. Setelah perang berakhir para pemimpin koalisi
mengadakan pertemuan di Vienna, Austria namun sempat dihentikan ketika
terdengan kabar Napoleon kembali ke Perancis dan menyebabkan pertempuran
Waterloo tahun 1815. Di Waterloo, Napoleon yang harus
menghadapi gabungan kekuatan Inggris, Rusia, Austria dan Prusia kalah dan
diasingkan ke Pulau St. Helena hingga kematiannya. Setelah itu kongres dibuka
kembali dan akhirnya disepakati kompensasi-kompensasi pasca-perang.
Satu hal yang dapat diamati
adalah bagaimana Jerman terpecah menjadi negara-negara kecil. Tiga puluh
sembilan negara dan empat kota merdeka tergabung dalam Konfederasi Jerman. Hal
ini mendorong berbagai tokoh memikirkan mengenai suatu konsep negara kesatuan
Jerman. Kebanyakan dilontarkan oleh para penyair, penulis, tokoh-tokoh muda. Tahun
1841, konsep Deutschland Uber Alles dituangkan dalam syair gubahan
August Heinrich Hoffmann von Fallersleben.[2]
Kemudian syair ini dipadukan dengan iringan musik melodi ciptaan Joseph Haydn
yang awalnya digunakan untuk menghormati Kaisar Austria, Franz II pada 1797. Pada
perkembangan berikutnya syair dan melodi ini menjadi inspirasi bagi usaha
penyatuan Jerman dan pada masa Republik Weimar hingga pemerintahan NAZI menjadi
lagu kebangsaan Jerman.
Deutschland, Deutschland über alles,
Über alles in der Welt,
Wenn es stets zum Schutz und Trutze
Brüderlich zusammenhält,
Von der Maas bis an die Memel,
Von der Etsch bis an den Belt -
Deutschland, Deutschland über alles,
Über alles in der Welt![3]
Pasca-Konferensi Vienna 1815,
Jerman terpecah menjadi banyak negara kecil, yang terbesar adalah Prusia.
Austria walaupun berada di luar konfederasi Jerman memiliki pengaruh yang
sangat kuat di Jerman. Di Prusia, timbul usaha-usaha mempersatukan Jerman.
Kesukaran-kesukaran dasar dalam mendirikan kesatuan Jerman terletak dari
pertentangan antara grossdeutsch (Jerman plus Austria) dengan kleindeutsch
(Jerman tanpa Austria).[4]
Pengaruh Austria mulai mendapat tantangan setelah Otto von Bismarck tampil
sebagai Perdana Menteri Kerajaan Prusia pada 1862. Pada masa Bismarck, hubungan
Prusia-Austria mengalami kerenggangan bahkan terjadi perang pada 1866. Pada
perang ini hampir semua negara konfederasi berpihak pada Austria, namun Prusia
dapat memenangkan perang dan memaksa pemerintah Austria mengadakan perjanjian
perdamaian. Dampak dari pertempuran tersebut adalah diserahkannya Holstein
kepada Prusia dan didirikannya Konfederasi Jerman Utara yang terdiri dari
negara-negara di utara Sungai Maine. Sementara itu Hannover, Hessen-Kassel,
Hessen-Nassau, Frankfurt am Main menjadi bagian dari Prusia.
Konfederasi Jerman Utara
merupakan model awal pemerintahan Jerman modern. Semua negara memiliki hak
otonom termasuk hak kerajaan dan kepangeranan namun kepemimpinan kesatuan
berada ditangan Raja Prusia. Negara-negara Jerman Selatan, Bayern, Wuerttenberg,
Baden dan Hessen-Darmstadt tidak termasuk dalam konfederasi tetapi secara
militer mereka menyatakan berada dibawah komando Prusia. Bismarck juga
berpendapat bahwa jalan satu-satunya untuk mempersatukan negara-negara Jerman
secara politis adalah dengan peperangan melawan musuh yang sama yaitu Perancis.
Perang menghadapi Perancis
diawali ketika terjadi kekosongan tahta Spanyol setelah Issabella II turun
tahta. Salah satu calon pengganti ialah Pangeran Leopold von
Hohenzollern-Sigmaringen yang masih memiliki pertalian keluarga dengan Raja
Prusia. Akan tetapi Perancis yang trauma dikepung oleh keluarga Hapsburg baik
di Austria-Jerman maupun Spanyol menolak calon dari Dinasti Hohenzollern karena
akan mengulangi sejarah dimana Perancis akan terhimpit oleh dinasti-dinasti
Jerman. Raja Perancis, Napoleon III mengirim duta ke Prusia untuk memastikan
Prusia tidak menyetujui pencalonan Leopold namun Raja Prusia, Wilhelm I melalui
Bismarck menolak keinginan Perancis. Dari sinilah pertentangan dimulai dan memicu
perang.
Pada perang melawan Perancis
ini, posisi Prusia sangat menguntungkan karena Austria tidak berani menyatakan
membantu Perancis karena takut akan tekanan Rusia sementara Italia yang
dianggap Perancis akan membantu lebih memilih menyelesaikan proses unifikasi
dalam negeri. Dalam waktu singkat Perancis berhasil dikalahkan. Sebagai tanda
kemenangan Prusia, Wilhelm I dinyatakan sebagai Kaisar Jerman disaksikan para
raja, pangeran dan bangsawan Jerman di Istana Versailles. Semua negara-negara
Jerman kecuali propinsi di Austria dipersatukan dibawah Wilhelm I sementara
Bismarck diangkat sebagai Kanselir Kekaisaran.
BAB II
NAZI DAN POLITIK RASIAL JERMAN
Jerman Pasca-Perang Dunia I
Kalau ada negara yang bisa dikatakan menjadi
korban utama Perang Dunia (PD) I, maka itu adalah Jerman. Mayoritas rakyat
Jerman tahu, bahwa angkatan bersenjatanya belum kalah dalam PD I. Jermanlah
yang melakukan penyerbuan dari segala penjuru tahun 1918, yaitu pada akhir PD
I. Dengan kata lain, Jerman pada akhir masa perang itu masih tetap merupakan
pihak yang mengambil prakarsa.[5]
Kekacauan politik didalam negeri akibat revolusi kaum komunis membuat
pemerintah Jerman ingin melaksanakan perdamaian dengan Sekutu.
Sebuah
konferensi perdamaian diselenggarakan di istana kekaisaran lama, di Versailles,
dekat Paris, untuk menentukan masa depan Eropa. Baik negara Austria-Hongaria
maupun Jerman dipaksa untuk menyerahkan logistik senjata maupun bahan-bahan makanan yang jumlahnya
sangat besar, dan juga harus meninggalkan tanah-tanah jajahan.[6]
Konferensi perdamaian di Versailles ini amat menghukum Jerman, yang selanjutnya
dilarang untuk mengembangkan seluruh angkatan bersenjatanya. Selain itu Jerman
diwajibkan membayar ganti rugi perang kepada negara Sekutu dengan jumlah yang
sangat besar.
Tidak
seperti PD II, PD I tidak berakhir dengan menyerahnya Jerman yang kalah. Ia
berakhir dengan satu penghentian tembak menembak (armistice) di mana
kekuatan Jerman, yang tidak mampu lagi melanjutkan perang, masih tetap utuh
sebagai satu kekuatan militer. Dalam hal ini Panglima Amerika Jenderal Pershing
menyarankan agar perunding perdamaian mendesakkan pengakuan bahwa Jerman
menyerah. Ia tahu, bahwa para Jenderal dan angkatan perang tidak senang untuk
mengakui pihaknya dikalahkan. Tetapi Pershing kalah suara.[7]
Sebagai hasilnya, para petinggi militer Jerman yang merasa tidak dikalahkan
merasa dikhianati oleh perundingan tersebut.
Tidak
hanya masalah politik dan militer, masalah ganti rugi juga merupakan hukuman
terberat yang harus dijalani oleh Jerman. Jerman yang berusaha membayar, justru
terjebak dalam kekacauan ekonomi yang sulit diterima oleh akal sehat. Inflasi
meroket, dalam tempo semalam, orang Jerman yang menabung seumur hidup menjadi
tak beruang. Harga sepotong roti yang mula-mula dihitung dalam ribuan Mark
berubah menjadi jutaan Mark. Pada tahun 1922 Mark Jerman telah menjadi sehelai
kertas tanpa nilai. Babakan ini harus diakui memberi salah satu ladang subur
bagi tampilnya Adolf Hitler di panggung kekuasaan Jerman di kemudian hari.
Naiknya Adolf Hitler dan NAZI dalam Pemerintahan
Persyaratan keras yang diberlakukan Jerman oleh
pihak Sekutu dalam Perjanjian Versailles pada akhir PD I menciptakan sebuah
situasi yang amat sulit dan suasana hati yang sangat putus asa di kalangan
rakyat Jerman. Kaisar Wilhelm II (1859-1941) turun takhta pada tahun 1918,
meninggalkan Jerman tanpa pemimpin. Selanjutnya kekosongan ini diisi oleh
sebuah republik yang lemah di bawah konstitusi Weimar tahun 1919. Dikondisikan
untuk diperintah oleh sebuah monarki yang kuat, harapan Jerman dipatahkan oleh
Republik Weimar yang tampaknya tidak efektif, yang mereka lihat sebagai sesuatu
yang wajib mereka terima sebagai akibat kekalahan mereka di medan perang.[8]
Tahun
1923 Hitler yang muak dengan keadaan negaranya yang kala itu kacau diperintah
oleh rezim Republik Weimar melancarkan sebuah pembrontakan (putsch),
namun gagal. Hitler dipenjara selama sembilan bulan, dan Ia memanfaatkan waktu
dipenjara untuk menulis Mein Kampf, sebuah karya pikirannya. Saat itu
Hitler mulai belajar, bahwa untuk mencapai kekuasaan jalannya adalah melalui
cara yang sah. Pada dekade 30-an lebih banyak kesempatan terbuka baginya. Tahun
1929, Krisis Mallaisse yang bermula di Amerika Serikat berdampak sistemik pada
tatanan ekonomi global. Di Amerika Serikat, indeks Wall Street terjun bebas tak
terbendung. Saham General Electric jatuh paling dalam diikuti Westinghouse dan
First National Bank.[9]
Produksi turun menjadi kurang dari setengah produksi selama 1920-an, pendapatan
nasional merosot hingga seperempatnya, hiperinflasi tak terhindarkan disamping
pemecatan besar-besaran karyawan perusahaan-perusahaan besar. Krisis merambat
ke Eropa. Di Inggris, Pound merosot hingga 30%. Perusahaan-perusahaan di
Inggris, Perancis dan negara-negara Eropa Barat lainnya kolaps dan menimbulkan
pengangguran luar biasa. Tahun 1930 Amerika Serikat mengenakan tarif paling
tinggi sepanjang sejarahnya dan dibalas oleh negara-negara lain seperti
Perancis, Kanada, Italia, Spanyol, Argentina, Brazil dan Cina. Bahkan Inggris
yang merupakan negeri klasik perdagangan bebas mengeluarkan kebijakan proteksi
untuk mengamankan perekonomian dalam negeri.
Situasi buruk akibat krisis
terlihat di Jerman. Angka pengangguran mencapai enam juta ditengah angkatan
kerja yang hanya 18 juta.[10]
Depresi mendorong situasi semakin tidak terkendali. Rakyat menuntut tindakan
nyata pemerintah yang ternyata tidak mampu mengatasi keadaan. Hal ini
dimafaatkan Hitler yang tidak lagi memakai cara putsch untuk meraih
kekuasaan dengan paksa, melainkan melalui kombinasi antara propaganda dan
intimidasi politik. Hitler dan kawan-kawan sangat menyadari bahwa penggunaan
kekerasan untuk merebut kekuasaan tidaklah mungkin mendapat simpati dari rakyat
Jerman.[11]
Kekacauan dan depresi massal menjadi pendorong utama naiknya popularitas NAZI dan
Hitler.
Bergabung
dengan Partai Pekerja Jerman. Dengan cepat dicapainya kedudukan pemimpin. Di
bawah pengaruhnya suasana semi militer berkembang dalam partai tersebut. Sebuah
nama baru diberikan, Partai Pekerja Nasionalis Sosialis Jerman atau dalam singkatan
bahasa Jerman NAZI.[12]
Pada pemilu tahun 1928, NAZI memperoleh 12 kursi. Jerman yang sedang menderita
menjadi kunci kemenangan NAZI pada pemilu berikutnya. Propaganda yang dilakukan
Hitler membuat Partai NAZI mengalami peningkatan jumlah pemilih. Pada tahun
1930, simpatisan yang memilih NAZI melonjak dari 810.000 orang menjadi
6.409.000 orang atau sekitar 18,3% dari total pemilih. Hal ini menyebabkan NAZI
memperoleh 107 kursi di parlemen.
Pada
bulan Februari 1932, Hitler memutuskan untuk mengikuti pemilihan presiden
Jerman. Namun, dalam pemilihan ini, Hitler dikalahkan oleh Paul Von Hindenburg.
Pada pemilihan anggota parlemen bulan Juli 1932, akhirnya partai NAZI
memperoleh kemenangan sebanyak 230 kursi. Hitler akhirnya menjadi Kanselir pada
tanggal 30 Januari 1933, atas bantuan Franz von Papen yang
membujuk Paul von Hindenburg agar memilih Hitler sebagai kanselir. Begitu menjadi kanselir, tanpa membuang waktu dia segera
memulai program impiannya yaitu, me-NAZI-kan seluruh Jerman.
Munculnya Politik Rasialisme di Jerman
Orang memang banyak
mengetahui, bahwa dalam diri Hitler ada motif yang melebihi apa yang ada pada
diri diktator pada umumnya. Ia tidak hanya sekedar menguasai negaranya sendiri.
Dalam dirinya ada keyakinan, bahwa bangsa Jerman merupakan ras paling unggul.
Ia sungguh percaya, bahwa bangsa Jerman telah terpilih untuk memimpin dan
menguasai umat manusia. Teori rasial ini Ia kemukakan dalam Mein Kampf,
dan tentang superioritas bangasa Jerman itu berikutnya terbukti bukan hanya
slogan. Ia menjadi pernyataan sejati keyakinan dan merupakan jiwa kebijakan
militer untuk penaklukan bangsa lain.
Hitler
juga menggambarkan betapa Jerman nantinya harus menjadi “tuan di bumi ini”, Lord
Of The Earth. Untuk itu, suatu konsep hidup atau menurut istilah favorit
Hitler, Weltanschauung, juga dimasukkan dalam Mein Kampf. Anehnya
jutaan orang Jerman secara fanatik mempercayai konsep Hitler itu dengan segala
konsekuensinya. Mereka percaya bahwa Reich Ketiga harus dibangun berdasarkan
konsep keunggulan ras ke-Arya-an yang mereka miliki.[13]
Menyingkirkan etnis Yahudi secara sistematis dari lingkungan masyarakat
(bernegara) merupakan langkah pertama Hitler dalam pemurnian kembali ras Arya
di Jerman.
Undang-undang
Nuremberg tahun 1935 melarang pernikahan orang Yahudi dengan warga Jerman
lainnya dan menyatakan bahwa Yahudi bukanlah warga negara Jerman. Hitler dan
NAZI juga juga mengobarkan propaganda yang menyatakan bahwa kekuasaan Yahudi di
Jerman sudah terlalu besar dan memancing rakyat Jerman untuk melawannya.
Misalnya, dengan mengatakan bahwa di antara 4.800 orang pengacara di Berlin,
3.600 orang adalah Yahudi. Propaganda tersebut berhasil mengubah pendapat
masyarakat Jerman sehingga mereka tidak berkeberatan jika orang Yahudi
disingkirkan dari Jerman.[14]
Di
mata Hitler, bangsa Yahudi bertanggung jawab atas kekalahan Jerman dalam
peperangan, keruntuhan ekonomi, dan ancaman yang dihadapkan padanya oleh
Revolusi Rusia dan munculnya Bolshevisme. Persekongkolan bangsa Yahudi yang
sangat luas, yang dibayangkan Hitler bertanggung jawab atas ancaman yang datang
dari dua sumber yang tampak saling bertentangan (kapitalisme internasional dan
komunisme Soviet) keduanya adalah antitesis bagi apa yang dipahami sebagai jiwa
nasional Jerman, atau Volksgeist.[15]
Di
dalam suatu bagian karangan yang terkenal Hitler mengungkapkan visi mimpi buruk
berikut ini :
“Dengan kegembiraan setani di wajahnya,
pemuda Yahudi berambut hitam bersembunyi menanti sang gadis yang tak menaruh
curiga yang Ia cemari dengan darahnya, dengan demikian mencuri perempuan itu
dari bangsanya. Dengan segala cara Ia berusaha menghancurkan landasan-landasan
rasial bangsa yang Ia tekadkan untuk ditaklukkan. Persis bagaimana Ia sendiri
secara sistematis merusak perempuan, Ia tidak segan-segan menghancurkan perintang-perintang
darah bagi orang lain, bahkan pada skala yang besar. Dulu dan sekarang orang
Yahudi yang membawa orang Negro ke Rhineland, selalu dengan pikiran tersembunyi
yang sama dan tujuan yang jelas untuk meruntuhkan ras kulit putih yang dibenci
melalui pembastaran yang pasti Ia hasilkan, meruntuhkannya dari puncak budaya
dan politiknya, dan Ia sendiri bangkit menjadi tuannya”.[16]
Hitler memerintahkan
pembunuhan massal orang-orang yang diberi label “berbahaya” oleh NAZI pada
pogrom Euthanasia T-4 dan pogrom Kristallnatch. Hitler mendorong tindakan
pembunuhan terhadap orang-orang Yahudi Eropa oleh pasukan kematian, Einsatzgruppen pada pidato bulan Juli
1941.[17] Pada 20 Januari 1942, NAZI menuntaskan
rencananya untuk Endlosung (Solusi Final) yaitu pembasmian orang Yahudi,
kaum Gipsy, etnis Slavia, kaum homoseksual, kaum komunis serta kaum lainnya
yang tidak disukai.[18]
Pelaksanaan Endlosung di kamp-kamp konsentrasi NAZI dijalankan oleh SS
dan diawasi oleh Gestapo. Disebutkan sekitar enam juta Yahudi Eropa tewas, 4,5
juta berasal dari Polandia sementara 125.000 berasal dari Jerman dan sisanya
Yahudi Eropa Barat dan lainnya.[19]
Peristiwa yang dikenal dengan nama Holocaust juga terdapat sekitar
500.000 jiwa kaum Gipsy, antara 10.000 sampai 25.000 kaum homoseksual, 2.000 saksi
Yehovah, lebih dari 3,5 juta orang Yahudi non-Polandia, antara 3,5 sampai 6
juta penduduk Slavia, 4 juta tawanan perang Uni Soviet dan 1,5 juta orang dari
kelompok yang bertentangan politik dengan NAZI.
Pengingkaran Terhadap Holocaust
Pengingkaran Holocaust atau Holocaust Denial adalah
kepercayaan bahwa Holocaust tidak pernah terjadi, atau jauh lebih sedikit dari
6 juta orang Yahudi yang dibunuh oleh NAZI, bahwa tidak pernah ada rencana
terpusat untuk memusnahkan orang-orang Yahudi, atau bahwa tidak ada pembunuhan
massal di kamp-kamp konsentrasi. Mereka yang percaya akan hal ini biasanya
menuduh orang-orang Yahudi atau kaum Zionis mengetahui hal ini dan mengadakan
konspirasi untuk medukung agenda politik mereka. Karena Holocaust dianggap
ahli-ahli sejarah sebagai salah satu kejadian paling banyak didokumentasikan
dalam sejarah, pandangan-pandangan ini tidak dianggap kredibel, dengan
organisasi-organisasi seperti Historical Association mengatakan bahwa Holocaust
Denial sebagai “At best, a from of academic fraud”.[20]
Sebenarnya
dari kalangan ilmuwan Barat sendiri ada beberapa yang menyangkal adanya
Holocaust, diantaranya pengarang Perancis Roger Garaudy, Profesor Robert
Maurisson, Ernst Zundel, David Irving, dan lain-lain, tetapi hampir semuanya
dinyatakan bersalah dan dijebloskan ke dalam penjara termasuk pada 15 Februari
2007, Ernst Zundel seorang Holocaust Denial dihukum 5 tahun penjara.[21]
Yang menjadi pertanyaan adalah cukupkah waktu 5 tahun itu untuk mengumpulkan 6
juta orang Yahudi dari seluruh daratan Eropa ? mengingat alat transportasi saat
itu sangatlah terbatas ditambah keadaan perang yang chaos. Apakah NAZI
mempunyai teknologi sedemikian canggih sehingga mampu mengumpulkan 6 juta
Yahudi dari seluruh Eropa untuk kemudian dibantai di kamp konsentrasi yang
berada di sekitar Jerman ? Ditambah saat itu Jerman
sedang berperang dengan 3 negara super : Amerika Serikat, Inggris dan Uni Soviet.[22]
BAB IV
POLITIK JERMAN DALAM PERANG DUNIA II
Operasi Tersembunyi CIA-NAZI[23]
Dimana
ada pepererangan, disitu biasanya agenda tersembunyi yang telah diatur “Pemain
belakang layar”. Sementara prajurit bertempur mati-matian, mereka putar
otak menangguk uang di tengah kesusahan orang. Mencuri tambang berharga,
menyelundupkan peralatan perang, mencari posisi kunci dari pemerintahan baru,
atau bisa saja diam-diam memutar uang di industri kemiliteran lawan. Diutarakan
bagaimana pengusaha Amerika Serikat dan Jerman memutar uang membangun bisnis
patungan sementara jutaan prajurit kedua negara meregang nyawa di medan
pertempuran. Kali ini diketengahkan seputar sepak terjang agen-agen khusus CIA
dan SS yang di lapangan ternyata berkonspirasi mengamankan bisnis miliaran dollar
para pengusaha papan atas kedua negara. Beberapa tahun lalu rahasia ini
terbongkar sehingga kontan banyak pihak dikecewakan.
Agenda
tersembunyi itu terbongkar bertahap, diawali dengan mencuatnya bukti-bukti
keterlibatan tak langsung Inggris-Amerika Serikat dalam tragedi Holocaust. Di
permukaan baik London dan Washington, begitu menentang tekanan dan pembantaian
yang dilakukan tentara NAZI terhadap puluhan ribu kaum minoritas. Namun,
dibelakang, mereka ternyata tak pernah benar-benar berupaya membebaskan mereka,
meski upaya pelarian sudah didepan mata. Diduga, keengganan membebaskan itu
karena mereka inilah para pekerja paksa kunci penggerak industri patungan
Amerika Serikat-Jerman. Di Auschwitz, misalnya, pabrik bom, kimia dan
persenjataan utama Jerman milik IG Farben (yang disokong penuh raja minyak
Amerika Serikat, Rockefeller, meraup untung besar karena digerakkan oleh ribuan
orang Yahudi yang tak perlu diupah). Selain Rockefeller yang masuk dengan
bendera Standard Oil, dilingkup industri vital lainnya ditanam pula uang milik
General Motors, IBM, Ford, The Chase and National City Bank, ITT dan masih
banyak lagi lainnya. Jumlah awal uang yang diputar mencapai 8 miliar
Dollar.
Tak
heran jika lalu muncul sindiran sinis, bahwa para prajurit Amerika Serikat
bertempur mati-matian di Jerman benar-benar menyedihkan. Mereka tak tahu bahwa
pesawat yang mengebomi mereka sebenarnya dibuat dari uang orang-orang senegara.
Baik Standard Oil maupaun IG Farben sendiri sama-sama kartel dibidang industri
strategis. IG Farben memonopoli industri kimia, film, dan farmasi di Jerman.
Sementar Standard Oil, di Amerika Serikat merupakan penguasa ladang minyak.
Berkat dukungan Rockefeller, IG Farben menyuplai 85 persen kebutuhan amunisi
Jerman selama PD II. Rockefeller dan pengusaha Amerika Serikat lainnya itu
diam-diam sudah menanam saham dan membangun usaha patungan di Jerman sejak
1926. Jerman sendiri bagi Rockefeller ibarat “Rumah kedua”, karena kakek
moyangnya, yakni Johan Rockefeller, adalah imigran asal Jerman.
UU Trading with Enemy Act
yang diterbitkan badan legislatif Amerika Serikat seolah tak bergigi menghadapi
praktek gelap Rockefeller. Boleh jadi itu karena Standard Oil memberi imbalan
karet sintetis yang amat diperlukan kendaraan perang Amerika Serikat.
Kebanyakan petinggi Amerika Serikat juga segan berurusan dengan keluarga
Rockfeller karena Ia banyak menguasai ladang minyak di seantero Amerika
Serikat. Sangat tak mungkin jika pemerintah Amerika Serikat tak mengetahui atau
memberi izin berkaitan dengan ekspor barang-barang tersebut. Sebaliknya, mudah
dipahami jika kemudian pemboman yang dilakukan Amerika Serikat tak pernah
menjamah Auschwitz. Paling dekat bom jatuh 14 mil dari komplek pabrik dan kamp
konsentrasi yang ada disana. Penempatan kompleks vital ini di luar wilayah
Jerman dimungkinkan atas saran dari pejabat CIA. Dan, merupakan suatu fakta
yang konyol ketika baru saja perang usai, CIA langsung berkantor pusat di
gedung pencakar langit milik IG Farben di Frankfurt.
Konstelasi Politik Global Sebelum Perang
Dekade
1930an bisa dikatakan sebagai fase Antarbellum II karena setelah negara-negara
khususnya Eropa berbenah dari kehancuran yang diakibatkan oleh Perang Dunia I,
negara-negara tersebut tengan mempersiapkan segala kemungkinan yang dapat
terjadi. Hal tersebut ditambah dengan munculnya negara-negara dengan ideologi
besar yang saling bertentangan. Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara
Eropa Barat lainnya merepresentasikan ideologi liberal kapitalis. Disisi lain
Uni Soviet mulai bangkit dengan kekuatan ideologi sosialis-komunis. Sementara
itu baik di Jerman, Italia, dan Jepang, kaum fasis mulai mendapat tempat di
pemerintahan. Adolf Hitler menjadi kanselir Jerman, Benito Mussolini menjadi
perdana menteri Italia dan Hideki Tojo menjadi perdana menteri Jepang.
Para pemimpin negara-negara
ini dengan ideologinya masing-masing saling mencurigai satu sama lain. Ditambah
pula tindakan provokasi yang dilakukan oleh negara-negara fasis membawa dunia
ke masa yang kritis. Tahun 1932, ancaman perang di Pasifik semakin nyata
setelah Jepang keluar dari LBB akibat Krisis Manchuria. Melihat situasi
tersebut Amerika Serikat mengakui eksistensi Uni Soviet di LBB dan setahun
kemudian Uni Soviet resmi menjadi anggota LBB. Italia juga keluar dari LBB
tahun 1935. Spanyol menjadi negara pertama uji coba persenjataan dan strategi
politik NAZI Jerman dengan Uni Soviet dalam Perang Saudara 1936 dimana Franco
dengan dukungan NAZI berhasil menggagalkan pembentukan pemerintahan republik
sayap kiri dukungan Soviet.
Intrik di Eropa Tengah dan Timur
Berbagai intrik politik
terjadi menjelang pecahnya Perang Dunia II dimana masing-masing negara berusaha
mengamankan wilayah dan pertahanannya sendiri. Kesepakatan NAZI Jerman dengan
Uni Soviet yang dikenal dengan Pakta Molotov-Ribbentrop sering dianggap sebagai
pemicu perang. Dalam perjanjian tersebut, disepakati pembagian pengaruh antara
NAZI dan Soviet di wilayah Eropa Tengah mulai dari perbatasan timur Jerman
hingga perbatasan barat Soviet meliputi Polandia, Hungaria, dan negara-negara
Baltik. Pakta ini dianggap pihak Barat maupun Polandia menyalahi hukum
internasional karena secara sepihak membagi Eropa ke dalam dua pengaruh. Akan
tetapi, Menteri Luar Negeri Uni Soviet, Vyacheslav Molotov mengatakan Uni
Soviet terpaksa mengadakan perjanjian tersebut juga karena fakor Eropa Barat
terutama Inggris dan Perancis menolak bekerja sama dengan Uni Soviet dalam
menghadapi ekspansi Jerman. Selain itu Pakta Molotov-Ribbentrop hanya merupakan
reaksi terhadap perjanjian rahasia sebelumnya yang dianggap membahayakan
kedudukan baik NAZI maupun komunis Soviet, yaitu Kesepakatan Anglo-Polish antara
Polandia dengan Inggris.[24]
Dari sudut pandang NAZI
Jerman, kesepakatan dengan Uni Soviet bukan hanya sebatas strategi politik
namun lebih menguntungkan dalam strategi militer. Kesepakatan tersebut
memungkinkan Hitler memfokuskan pertempuran di front barat menghadapi Inggris
dan Perancis dan menghindari resiko serbuan dari timur jika Uni Soviet
berkoalisi dengan Inggris dan Perancis. Bagi Inggris dan Perancis ini dianggap
hukuman Stalin atas keputusan kedua negara yang menolak Uni Soviet berkoalisi
dengan mereka dalam menghadapi NAZI sebagai musuh bersama yang membahayakan
perdamaian Eropa. Akan tetapi yang menjadi korban sebenarnya dari kesepakatan
ini adalah Polandia dan negara-negara Baltik.
Pakta Molotov-Ribbentrop pada Agustus 1939
membentuk perjanjian non-agresi antara Jerman Nazi dan Uni Soviet, dan sebuah
protokol rahasia menggambarkan bagaimana Finlandia,
Estonia,
Latvia,
Lithuania,
Polandia
dan Rumania
akan dibagi-bagi di antara mereka. Dalam Perang
September di Polandia pada 1939 kedua negara itu menyerang dan
membagi Polandia. Pada Juni 1940 Uni Soviet, yang
mengancam untuk menggunakan kekerasan apabila tuntutan-tuntutannya tidak
dipenuhi, memenangkan perang diplomatik melawan Rumania
dan tiga negara Baltik yang de jure
mengizinkannya untuk secara damai menduduki
Estonia, Latvia dan Lithuania, dan mengembalikan wilayah-wilayah
Ukraina, Belorusia, dan Moldovia di wilayah utara dan timur laut dari Rumania
(Bucovina Utara dan Bessarabia). Pembagian Polandia untuk pertama kalinya memberikan Jerman dan Uni Soviet
sebuah perbatasan bersama. Selama hampir dua tahun perbatasan ini tenang
sementara Jerman menaklukkan Denmark, Norwegia, Perancis, dan daerah-daerah Balkan.
Uni
Soviet sendiri mulai menguasai daerah-daerah Baltik dan sebagian wilayah
Polandia yang dibagi dua. Akan tetapi tindakan ini dianggap Hitler sebagai
ancaman karena dengan menguatnya Uni Soviet di Polandia dan Eropa Tengah maka
hal itu tentu menyulitkan politik lebensraum yang awalnya adalah
perluasan wilayah Jerman ke timur atau wilayah Rusia. Disamping itu pendudukan
Soviet atas Eropa Tengah mungkin dianggap hanya satu tahap sebelum tahap
menyerang ke pusat Jerman. Disisi lain Hitler melihat pembersihan besar-besaran
di Uni Soviet telah melemahkan kekuatan militer Uni Soviet. Hal ini menjadi
pertimbangan bagi Hitler untuk membatalkan kesepakatan dan mulai menginvasi
Soviet.
Negara-negara
yang menjadi korban bagi kedua pemimpin ini tentu saja Eropa Tengah khususnya
Polandia dan negara-negara Baltik. Di Polandia, awal perang tahun 1939, terjadi
serangan mendadak pasukan Jerman terhadap kota pelabuhan Gdansk, tujuannya
untuk mengembalikan Gdansk ke wilayah Jerman. Tidak lama berselang,
pemerintahan nasional dibubarkan paksa oleh militer Uni Soviet yang menyerang
dari timur. Tentara Polandia banyak yang didemisionerkan dan sebagian besar
dieksekusi atas tuduhan terlibat konspirasi dengan NAZI Jerman. Peristiwa ini
dikenal dengan Tragedi Katyn karena eksekusi dilakukan di hutan Katyn,
Smolensk. Peristiwa ini hingga kini selalu menjadi pemicu ketegangan antara
Polandia dengan Rusia karena Rusia menolak bertanggung jawab atas tragedi di
Katyn.[25]
Tragedi Katyn sebenarnya telah diselidiki oleh dinas-dinas Inggris dan Amerika
Serikat atas desakan pemerintah Polandia, namun selalu urung karena ada ancaman
dari pemerintah Uni Soviet. Bahkan pemerintah Inggris dan Amerika Serikat balik
menuduh Jerman dibalik pembantaian tersebut.
Setelah
kesepakatan dibatalkan dan Hitler memerintahan menyerang Uni Soviet, Polandia
kembali menjadi sasaran pertama serangan Jerman. Wilayah Polandia yang telah
dikuasai NAZI kemudian dijadikan tempat mendirikan kamp-kamp konsentrasi untuk
para tahanan politik maupun tawanan perang. Kamp-kamp terbesar NAZI terdapat di
Polandia, diantaranya adalah Auschwitz-Birkenau, Kulmhof, Sobibor dan Treblinka.
Di kamp-kamp tersebutlah NAZI melakukan Endlosung terhadap etnis-etnis
non-Arya, Yahudi dan kaum-kaum lainnya yang bertentangan dengan NAZI.
Menjelang
berakhirnya perang, kembali terjadi intrik mengenai Polandia. Ketika pasukan
Jerman berhasil dipukul mundur dari wilayah Uni Soviet dan dikejar hingga
kembali ke Jerman, pemerintah pendudukan Jerman di Polandia mengalami tantangan
yaitu gerakan pemberontakan Warsawa pimpinan Jenderal Tadeuz Bor-Komorowski
pada Agustus 1944. Kekuatan Jerman pada saat itu sudah mulai terkuras terlebih
lagi dengan adanya pemberontakan Warsawa. Sekalipun kekuatan Jerman hampir
habis namun pemberontakan Warsawa dapat digagalkan karena Uni Soviet menolak
memberikan bantuan kepada milisi Warsawa dalam menentang NAZI. Hal ini karena
Stalin tidak menginginkan Polandia setelah dibebaskan kemudian jatuh ke tangan
pemerintahan demokratis yang pro-Barat oleh sebab itu, Stalin membiarkan milisi
Polandia berjuang sendirian menghadapi Jerman hingga akhirnya dihancurkan
tentara Jerman.[26]
Begitulah nasib yang dialami negara-negara Eropa Tengah khususnya Polandia
akibat intrik yang terjadi selama perang berlangsung. Akhirnya seluruh negara
Eropa Tengah bahkan Jerman bagian timur jatuh ke dalam pengaruh Uni Soviet
pasca-Konferensi Potsdam, 1945.
BAB V
PENUTUP
Jerman yang sekarang terlihat sebagai negara maju dengan
teknologi yang tidak diragukan lagi pernah mengalami masa pasang surut. Jerman
dengan segala potensinya menjadi starting point bagi Eropa maupun dunia.
Tercatat berbagai peristiwa besar terjadi dengan Jerman sebagai motor penggeraknya.
Mulai dari gerakan Protestan, peperangan di Eropa dan bahkan dua perang besar
di dunia, Perang Dunia I dan Perang Dunia II bisa dikatakan utamanya disebabkan
oleh ulah Jerman.
Kedua perang tersebut walaupun awalnya Jerman memiliki
peluang untuk menang dan menggusur hegemoni negara-negara yang sudah established
pada akhirnya kekalahan pula yang harus ditelan bangsa ini. Hal ini
disebabkan oleh faktor utamanya adalah bangsa Jerma sangan bersifat ambisius
dan terkesan cepat dalam mengambil tindakan, terlihat dari taktik perang blitzkrieg
dalam Perang Dunia II. Selama Perang Dunia II, para pemimpin Jerman tercatat
dalam sejarah sebagai salah satu pengambil kebijakan paling berdarah di dunia. Kamp-kamp
konsentrasi tersebar dari Perancis hingga Polandia, membuat jutaan orang
kehilangan nyawa dan jutaan lainnya hidup dibawah ketakutan. Perang Dunia II yang
pada akhirnya tidak hanya membuat Jerman hancur tetapi menjadi ajang perebutan
pengaruh antara dua ideologi besar dunia, kapitalisme-liberalisme Amerika
Serikat (Barat) dengan sosialisme-komunisme Uni Soviet (Timur). Hingga akhirnya
kedua Jerman bersatu pada awal dekade 1990an dan menandai berakhirnya suatu
era, Perang Dingin.
Berbagai peristiwa besar tersebut tentunya membuat bangsa
Jerman sadar dan lebih dewasa dalam menghadapi permasalahan baik dalam negeri
maupun internasional. Jerman tidak ingin mengulangi kesalahan para pendahulunya
yang pada awalnya ingin menjayakan Jerman namun akhirnya malah menghancurkan
Jerman dengan tindakan agresif dan terburu-buru. Namun pada akhirnya Jerman
sekarang merupakan salah satu negara industri maju dan sebagian besar
kemajuannya merupakan warisan dari rezim di masa lalu. Baik Kekaisaran Prusia
maupun NAZI Jerman telah memberikan pondasi bagi Jerman sebagai negara industri
dan itu menjadi modal untuk berperan dalam dunia internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Archer, Jules. Kisah Para Diktator. 2004.
Yogyakarta : Narasi.
Arrifai, Fuad
bin Sayyid Abdurrahman. Yahudi Dalam
Informasi Dan Organisasi. 1995. Jakarta : Gema Insani Press.
Ballack, Luger. 7 Tokoh Kunci NAZI. 2007.
Jakarta : Visimedia.
Calton, Joel. Abad ke-20. 1991. Jakarta :
Tira Pustaka.
Carr,
William G. Yahudi Menggenggam Dunia. 2006. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Dawning,
Stephan. Holocaust. Fakta atau Fiksi ?. 2007.
Yogyakarta : Media Press.
Fredrickson,
George M. Rasisme Sejarah Singkat. 2005. Yogyakarta : Bentang.
Geisler,
Michael E. National Symbol, Fractured Identities : Contesting the National
Narrative. 2005. New England : Middleburry College Press.
Hitler,
Adolf. Mein Kampf. 2007. Yogyakarta : Narasi.
Maulani,
Z.A. Zionisme : Gerakan Menaklukan Dunia. 2002. Jakarta : Daseta.
Nugraha,
Arifin Surya. 10 Kisah Genocide. 2008. Yogyakarta : Bio Pustaka.
Ojong, P.K.
Perang Eropa Jilid I, II, III. 2006. Jakarta : Kompas.
Pambudi,
Agustinus. The Death Of Adolf Hitler. 2005. Yogyakarta : Narasi.
Poesponegoro,
Marwati Djoened. Sejarah Singkat Jerman. 1982. Jakarta : UI Press.
Snyder,
Louis. Dunia dalam Abad ke-20. 1955. New York : D. Van Nostrand Company,
Inc.
Tim Narasi.
The Mass Killers on the Twentieth Century. 2006. Yogyakarta : Narasi.
Yenne, Bill. 100 Peristiwa Yang Berpengaruh Di Dalam
Sejarah Dunia. 2005. Jakarta : Karisma Publishing Group.
Majalah :
Majalah Angkasa edisi NAZI’S Special Forces,
2006.
Internet :
Film :
Dibalik Tragedi Dua Perang Dunia. Harun Yahya Series, 2003.
Katyn. Michal Kwiecinski Production, ITI Cinema, 2007.
NAZIS, The Occult Conspiracy. Discovery Channel, 2009.
The Road To War. BBC, 2005.
War Of The Century : When Hitler Fought
Stalin. BBC, 2006.
[2] Michael E. Geisler.
National Symbol, Fractured Identities : Contesting the National Narrative. (New
England : Middleburry College Press, 2005). Hal. 64.
[6] Bill Yenne. 100 Peristiwa Yang Berpengaruh Di Dalam
Sejarah Dunia. (Jakarta : Karisma Publishing Group, 2005). Hal. 147.
[17] Stephan Dawning. Holocaust.
Fakta auatu Fiksi ?. (Yogyakarta : Media Press, 2007). Hal. 54.
[22] file:///E:/Google/Darwinisme/tentang-pembantaian-yahudi-oleh-nazi.html