Bab I
Emansipasi
Politik Kaum Borjuis
Kurun waktu tiga
dasawarsa yang memisahkan abad ke-19 dengan abad ke-20, yang berakhir dengan
pertarungan memperebutkan Afrika yang diawali dengan Perang Dunia I. Inilah
periode yang Imperialisme, yang ditandai ketentraman yang menimbulkan kebosanan
di Eropa. Peristiwa yang terpenting di Eropa sendiri pada periode imperialistik
ini ialah emansipasi politik kaum borjuis, merupakan kelas pertama dalam
sejarah yang berhasil meraih keunggulan ekonomi tanpa punya minat untuk meraih
kekuasaan politis. Bahkan tatkala kaum borjuasi sudah berhasil memantapkan diri
sebagai kelas penguasa, semua keputusan politik tetap diserahkan kepada negara.
Ekspansi sebagai tujuan permanen dan tujuan utama dalam
politik merupakan inti pemikiran politik imperialisme. Karena imperialisme
tidak menganjurkan penjarahan sesaat, tidak pula mendorong asimilasi yang
langgeng, maka imperialisme merupakan konsep yang sama sekali baru karena
konsep ini sama sekali bukan konsep politis, melainkan konsep yang berakar pada
bidang spekulasi bisnis. Ekspansi berarti perluasan terus-menerus produksi
industrial dan transaksi ekonomi yang khas
abad ke-19.
Kaum borjuis terjun ke bidang politik karena keharusan
ekonomis, sebab bila kaum borjuis tidak hendak melepaskan sistem kapitalis yang
hukum inherennya berupa pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus. Maka mereka
haruslah memaksakan hukum itu pada pemerintah serta mencanangkan bahwa ekspansi
merupakan tujuan politik terakhir dalam kebijakan luar negeri.
Ciri imperialisme ialah bahwa institusi-institusi
nasional tetap terpisah dari administrasi kolonial meskipun institusi-institusi
nasional itu boleh melakukan kontrol. Imperialisme adalah satu-satunya cara
untuk memimpin poltik dunia. Faktor imperial secara politis tercermin dalam
konsep bahwa orang-orang pribumi tidak hanya dilindungi melainkan juga dalam
arti tertentu diwakili oleh orang Inggris dalam bentuk “Parlemen Imperial”. Kaum
imperialis tahu lebih baik disbanding kaum nasionalis bahwa struktur politik
negara-kebangsaan tidak mampu membangun sebuah imperium.
Yang menjadi perintis dalam perkembangan pra-imperialis
ini ialah para pemodal Yahudi yang memperoleh kekayaan di luar sistem kapitalis
dan selama itu diperlukan oleh negara-kebangsaan yang sedang tumbuh untuk
mendapatkan pinjaman-pinjaman dengan jaminan internasional. Entah bagaimana,
keengganan pemerintah untuk memberikan kekuasaan nyata kepada orang-orang
Yahudi dan keengganan orang Yahudi untuk melibatkan diri dalam bisnis yang mempunyai implikasi
politik. Betapa makmurnya kelompok Yahudi, tidak pernah ada pertarungan
kekuasaan sungguh-sungguh sesudah berakhirnya tahap awal yang berupa usaha
untung-untungan dan usaha memperoleh komisi.
Ekspansi tampil sebagai penyelamat, sejauh iniekspansi
dapat menjadi kepentingan bersama seluruh bangsa dank arena alasan inilah kaum
imperialis diberi keleluasaan untuk menjadi “benalu atas patriotisme”. Dalam
teori, ada jurang pemisah antara nasionalisme dan imperilaisme dalam prakteknya
jurang itu sudah dijembatani oleh nasionalisme kesukuan dan rasisme
terang-terangan. Sejak semula, kaum imperialis dari semua negara menyerukan dan
membanggakan diri sebagai “diatas partai-partai”, sebagai satu-satunya pihak
yang menyuarakan kepentingan seluruh bangsa. Terutama berlaku di negara-negara
Eropa Timur dan Eropa Tengah, bahkan sama sekali tak punya jajahan di luar
negeri aliansi antara “massa” (mob)
dan modal terjadi di dalam negeri, bahkan punya kebencian lebih dalam terhadap
lembaga-lembaga nasional dan semua partai nasional.
Kenyataannya bahwa “massa” (mob) ini hanya dapat
ditunggangi oleh para politisi imperialis dan hanya dapat digerakan oleh
doktrin-doktrin rasial memberi kesan seakan-akan hanya imperialisme saja yang
mampu memecahkan masalah-masalah domestik,sosial dan ekonomi di zaman modern.
Bab II
Pemikiran-Ras
Sebelum Rasisme
Alur pemikiran-ras merupakan “penemuan” bangsa Jerman,
maka “cara berpikir Jerman” tentu sudah malang melintang di dunia pemikiran
jauh sebelum kaum Nazi mulai melancarkan usahagila untuk menaklukan dunia. Kebenaran
historis yang terkandung dalam persoalan ini ialah bahwa pemikiran ras, yang
berakar jauh di abad ke-18, bangkit serentak di semua negara Barat sepanjang
abad ke-19. Sampai pada masa-masa menentukan berupa “perebutan Afrika”,
pemikiran ras merupakan salah satu saja dari sekian banyak opini bebas dalam
kerangka umum liberalisme, saling berdebat dan bersaing untuk dapat disetujui
pendapat umum. Hanya beberapa opini bebas yang dapat berkembang sepenuhnya
menjadi ideologi, yakni sistem yang didasarkan pada sebuah opini yang cukup
memikat dan membujuk mayoritas rakyat dan cukup luas untuk memandu mereka dalam
kehidupan modern orang biasa.
Setelah menyaksikan persaingan habis-habisan antara
pemikiran-ras dan pemikiran kelas dalam berebut pengaruh atas pikiran orang
modern. Melihat pemikiran-ras sebagai perwujudan kecenderungan nasional dan
pemikiran kelas sebagai perwujudan kecenderungan internasional, disertai
anggapan bahwa yang pertama merupakan persiapan mental untuk memasuki perang
antar bangsa sedang yang lainnya merupakan ideologi bagi perang saudara. Karena
pemikiran-raas di Jerman tumbuh bersama dengan upaya-upaya yang makan waktu
lama berkaitan erat dengan rasa kebangsaan yang lebih umum, sehingga agak sukar
membedakan nasionalisme yang murni dengan rasisme yang punya sosok jelas.
Bentuk awal dari pemikiran-ras di Jerman ini ditumbuhkan
sebagai sarana untuk mengembangkan persatuan nasional dan sebagai senjata dalam
perang antar bangsa. Bila ras dan percampuran ras merupakan satu-satunya faktor
yang menentukan individu, dengan dasar ras dapatlah dibentuk sebuah “elite”
yang boleh menganggap dirinya punya hak-hak istimewa yang sebelumnya dimiliki
keluarga-keluarga feodal. Jadi, dari sebuah peristiwa politis yaitu kemunduran
kaum bangsawan. Count Gobineau menarik dua kesimpulan yang kontradiktoris:
runtuhnya umat manusia dan terbentuknya aristokrasi yang alamiah dan baru.
Di Inggris, nasionalisme berkembang tanpa menimbulkan
serangan-serangan serius pada kelas-kelas feodal lama. Hal ini mungkin karena
golongan priyayi rendah Inggris,
sejak abad ke-17dan jumlahnya semakin bertambah, menyerap pula lapisan teratas
borjuasi sehingga kadang-kadang orang biasa pun dapat mencapai kedudukan
seorang lord. Amerika dan Inggris
merupakan bangsa-bangsa pertama yang harus menghadapi persoalan ras dalam
politik praktis. Bukan menghasilkan pemecahan atas persolan-persoalan serius
yang ada, dihapuskannya perbudakan malahan mempertajam konflik-konflik
internal. Hal ini khususnya terjadi di Inggris di mana “hak-hak orang Inggris”
tak diganti dengan orientasi politik baru yang bisa memproklamasikan hak-hak
manusia. Bagi politik Inggris keterpisahan itu bukan ideologi yang dibuat-buat
melainkan fakta nyata yang harus diperhitungkan oleh setiap negarawan. Apa yang
memisahkan mereka dari kaum rasis yang muncul kemudian ialah bahwa tak seorang
pun di antara mereka itu pernah secara serius mempertimbangkan diskriminasi
terhadap bangsa-bangsa lain yang dianggap ras-ras lebih rendah.
Namun, walaupun rasisme telah menghidupkan kembali
unsur-unsur pemikiran-ras di setiap negara, yang kita hadapi bukanlah sejarah
sebuah gagasan yang memiliki suatu “logika imanen”. Pemikiran-ras merupakan
sumber argument yang bagus bagi pebagai konflik politik, namun pemikiran-ras tak
pernah memegang bentuk monopoli apa pun dalam kehidupan poltik masing-masing
negara, pemikiran-ras mempertajam dan menunggangi perbedaan-perbedaan
kepentingan yang sudah ada, namun pemikiran ras tidak pernah menciptakan
konflik-konflik baru atau menghasilkan kategori –kategori baru dalam pemikiran
politik.
Bab III
Ras
dan Birokrasi
Dua sarana bagi organisasi politik dan pemerintahan atas
jajahan di luar negeri ditemukan selama dekade-dekade awal imperialisme.
Pertama adalah ras sebagai prinsip lembaga politik, dan kedua birokrasi sebagai
prinsip dominasi di luar negeri. Tanpa birokrasi sebagaai substitusi
pemeerintah, pemilikan Inggris atas India hanya akan menyiksakan “kekacauan
hukum di India” tanpa mengubah iklim poltik keseluruhan. Temuan itu senyatanya
dibuat di Benua Hitam. Ras adalah penjelasan darurat tentang manusia yang baik
orang Eropa maupun orang-orang beradab lainnya tidak mampu memahaminya.
Birokrasi adalah organisasi suatu permainan besar ekspansi, di dalamnya setiap
wilayah dianggap sekedar batu loncatan untuk ekspansi lebih jauh dan setiap
bangsa adalah alat bagi penaklukan berikutnya. Sekalipun tujuan rasisme dan
birokrasi menunjukkan adanya banyak keterkaitan, keduanya ditemukan dan
berkembangnya secara terpisah.
Satu-satunya benua yang belum disentuh Eropa dalam
sejarah kolonialnya adalah benua hitam Afrika. Negara-negara Eropa mencoba
berkali-kali untuk menjangkau lebih jauh lagi ke seberang Laut Mediterania,
untuk menancapkan kekuasaan mereka di tanah-tanah Arab dan memperkenalkan sekalian
agama Nasrani mereka pada masyarakat muslim tetapi mereka tak pernah coba
memperlakukan wilayah Afrika Utara seperti koloni-koloni lain. Kaum pemodal
yang kebanyakan orang-orang Yahudi dan hanya merupakan wakil, bukan pemilik
modal yang berlimpah ruah, tidak memiliki pengaruh maupun kekuasaan poltik
untuk menggolkan tujuan-tujuan politik dan penggunaan kekerasan dalam spekulasi
dan pertaruhan. Ciri utama dari kaum pemodal ialah bahwa dia tidak mendapat
keuntungan dari produksi serta eksploitasi atau pertukaran atau operasi
perbankan tetapi hanya dari komisi.
Bab IV
Imperialisme
Kontinental Gerakan-Gerakan Pan
Nazisme dan Bolshevisme, masing-masing lebih berhutang
budi kepada Pan-Jermanisme dan Pan-slavisme daripada kepada ideologi atau
gerakan politik lain. Hal ini terlihat paling jelas dalam politik luar
negerinya, dimana strategi Nazi Jerman dan Soviet Rusia mengikuti dari dekat
program penaklukan terkenal yang telah digariskan oleh gerakan-gerakan Pan
sebelum dan selama Perang Dunia I, sehingga tujuan-tujuan totaliter kerap kali
ditafsirkan sebagai usaha untuk mencapai kepentingan-kepentingan Jerman atau
Rusia. Sekalipun Hitler maupun Stalin tidak pernah merasa hutang budi pada
imperialisme dalam perkembangan metode-metode pemerintahan mereka, tetapi tidak
mereka pernah ragu-ragu mengakui hutang budinya terhadap ideologi-ideologi
gerakan Pan atau menirukan slogan-slogan mereka.
Lahirnya gerakan-gerakan Pan tidak bersamaan dengan
lahirnya Imperialisme, sekitar tahun 1870. Bangsa-bangsa Eropa Tengah dan Timur
yang tidak memiliki koloni dan harapan kecil akan ekspansi di perantauan,
sekarang memutuskan bahwa “mereka punya hak yang sama atas ekspansi seperti
bangsa-bangsa besar lain dan bila mereka tidak diberi kemungkinan itu, mereka
akan terpaksa melakukannya di Eropa. Orang-orang Pan-Jerman dan Pan-Slavia
bersepakat bahwa, dengan hidup dalam negara-negara kontinental sebagai
bangsa-bangsa kontinental mereka harus mencari koloni di kontinen. Pentingnya
imperialisme kontinental berbeda dari imperialisme perantauan, terletak pada
kenyataan bahwa konsepnya tentang ekspansi terpadu (kohesif). Imperialisme
kontinental berbagi rasa benci dengan imperialisme seberang lautan terhadap
kesempitan negara-kebangsaan, maka ia menentang imperialisme perantauan tidak karena
alasan-alasan ekonomis yang bagaimanapun juga mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan
nasional yang otentik.
Para pelaku utama gerakan-gerakan Pan berbagai kesadaran
bersama imperialisme Barat terhadap semua persoalan politik luar negeri yang
dilupakan oleh kelompok-kelompok tua yang berkuasa di negara-kebangsaan.
Pengaruh mereka terhadap kaum intelektual makin nyata kaum inteligensia Rusia,
dengan beberapa kekecualian adalah penganut Pan-Slavisme, dan Pan-Jermanisme
berawal di Austria sebagai gerakan mahasiswa. Sikap imperialisme kontinental
pada umumnya jauh lebih memberontak dan para pemimpinnya jauh lebih mahir dalam
retorika revolusioner. Kalau imperialisme perantauan menawarkan obat mujarab
cukup banyak bagi semua kelas sosial, imperialisme kontinental tidak menawarkan
apa-apa kecuali suatu ideologi dan gerakan
Tujuan-tujuan gerakan Pan bahkan kurang memiliki unsur
anarkis dalam perencanaan kemanusiaan serta pengekangan geografis. Dalam
aliansi imperialis antara “massa” (mob) dan modal, prakarsa kebanyakan terletak
pada para wakil bisnis kecuali Afrika Selatan di mana kebijakan “massa” (mob),
jelas berkembang sangat dini. Dilain pihak, dalam gerakan Pan, prakarsa selalu
hanya pada “massa” (mob), yang pada waktu itu dipimpin oleh kaum intelektual
tertentu. Namun, lebih hakiki lagi adalah kenyataan bahwa pemerintah totaliter
mewarisi suatu aura kesucian. Tumbuhlah suatu perasaan nasionalisme baru yang
kekerasannya terbukti menjadi motor penggerak “massa” (mob) dan yang cukup
memadai untuk menggantikan patriotisme nasional lama sebagai pusat kehidupan
emosional.
Sama seperti imperialisme kontinental timbul dari
frustasi ambisi negara-negara yang tidak mendapat bagian dalam ekspansi
mendadak pada tahun 1880-an, begitu pula sukuisme muncul sebagai nasionalisme
dari bangsa-bangsa yang tidak ikut dalam emansipasi nasional dan tidak mencapai
kedaulatan suatu negara-kebangsaan. Selain dari itu, karena Monarki Ganda
member angin bagi bangsa-bangsa Slavia maupun Jerman. Maka Pan-Slavisme dan
Pan-Jermanisme sejak semula memang menghadapi kehancuran, dan Austria-Hongaria
menjadi pusat sesungguhnya dari gerakan-gerakan Pan.
Munculnya anti-semistis secara mendadak sebagai pusat pandangan
terhadap dan dunia berbeda dari peranan politik di Prancis selama Peristiwa
Dreyfus atau peranannya sebagai suatu alat propaganda dalam gerakan Stoecker
Jerman. Lebih pada sifat sukuisme dan bukan fakta-fakta dan keadaan politik,
arti sesungguhnya dari antisemitisme gerakan Pan adalah bahwa rasa benci
terhadap orang-orang Yahudi diperkeras oleh pengalaman nyata mengenai bangsa
Yahudi, secara politis, sosial, atau ekonomis, dan hanya disusul oleh logika
khusus sebuah ideologi. Penaklukan negara oleh bangsa sangat dipermudah dengan
jatuhnya monarki absolute yang diikuti oleh perkembangan kelas-kelas baru.
Monarki absolute diandaikan mengabdi pada kepentingan bangsa secara
keseluruhan, menjadi lambang dan bukti lahiriah dari eksistensi kepentingan
umum. Konflik diam-diam antara negara dan bangsa tampil amat jelas pada
lahirnya negara-kebangsaan modern, ketika Revolusi Prancis mengkombinasikan
Hak-hak Manusia dengan tuntutan atas kedaulatan nasional. Akibat praktis dari
kontradiksi ini ialah bahwa sejak saat itu hak-hak asasi manusia dilindungi serta
diselenggarakan hanya sebagai hak-hak nasional, dan bahwa lembaga negara yang
tugas utamanya ialah melindungi dan menjamin hak seseorang sebagai manusia
sebagai warga negara dan anggota bangsa.
Pada hakikatnya nasionalisme merupakan ungkapan
pemutarbalikan negara menjadi alat bangsa dan identifikasi warga negara dengan
warga bangsa. Hubungan antara negara dan masyarakat ditentukan oleh fakta
perjuangan kelas yang menggantikan tata masyarakat feodal. Nasionalisme menjadi
perekat yang berharga untuk menyatukan negara yang disentralisir dan masyarakat
yang teratomisasi, dan ini nyata-nyata memang terbukti sebagai satu-satunya
hubungan yang hidup dan bekerja di antara individu negara-kebangasaan. Ciri
resmi gerakan-gerakan Pan ialah bahwa mereka tidak pernah berusaha kea rah
emansipasi nasional, tetapi sekaligus dalam impian mereka akan ekspansi, berada
di atas batas-batas sempit komunitas nasional dan menyatakan komunitas bangsa
yang tetap menjadi faktor politik kendati anggota-anggotanya terbesar di
seluruh jagad.
Nasionalisme kesukuan, yang terbesar di kalangan
bangsa-bangsa tertindas di Eropa Timur dan Selatan. Nasionalisme kerap kali
digambarkan sebagai pengganti emosional dari agama, tetapi hanya rasa kesukuan
dari gerakan-gerakan Pan memberikan suatu teori keagamaan baru dan konsep baru
mengenai kesucian. Gerakan-gerakan Pan mengajarkan asal-usul ilahi dari bangsa
sendiri sebagai tandingan bagi imam Yahudi-Kristen tentang asa-usul IIlahi
Manusia. Konsep ini memiliki dua keunggulan politis. Pertama, kebangsaan
menjadi sifat permanen yang tidak dapat diusik-usik lagi oleh sejarah, tidak
peduli apa pun yang terjadi pada bangsa tertentu emigrasi, penaklukan,
penyebaran. Kedua, yang secara langsung berdampak ialah dalam kontras mutlak
antara asal-usul ilahi dari bangsa sendiri dan bangsa lain, perbedaan-perbedaan
antar anggota individual secara sosial, ekonomis atau psikologis. Asal-usul
ilahi ini merupakan konsep metafisik yang dapat menjadi dasar kesamaan tujuan
politis, tujuan mendirikan umat manusia di dunia. Sukuisme gerakan-gerakan Pan
dengan konsepnya mengenai “asal-usul IIlahi” dari suatu bangsa member sebagian
daya tarik untuk menentukan melecehkan individualisme liberal.
Menganggap para pemimpin gerakan Pan merupakan kaum
reaksioner atau “kontra revolusioner” adalah suatu kesalahan serius. Kendati
tidak begitu berminat pada masalah sosial, mereka tidak pernah melakukan
kesalahan dengan memihak eksploitasi kapitalis dan banyak dari sebagian mereka
pernah termasuk dalam partai liberal progresif. Yang membuat antisemitisme
gerakan-gerakan Pan begitu efektif sehingga bisa terhindar dari kemerosotan
propaganda antisemitisme selama ketenangan semu yang mendahuluinya pecah Perang
Dunia I ialah penggabungannya dengan nasionalisme kesukuan Eropa Timur. Karena
di sana ada kedekatan melekat antara teori gerakan Pan mengenai bangsa dan
eksistensi kebakaran bangsa Yahudi. Orang Yahudi merupakan contoh suatu bangsa
yang tanpa rumah (negara) tapi mampu mempertahankan jati diri mereka selama
berabad-abad dan oleh karena itu dapat diangkat sebagai bukti bahwa tidak
dibutuhkan wilayah untuk membentuk suatu kebangsaan.
Bahwa fanatisme gerakan Pan yang menggempur orang Yahudi
sebagai pusat ideologi, yang menjadi awal dan akhir golongan Yahudi di Eropa
merupakan suatu pembalasan paling logis dan paling pahit yang pernah terjadi
dalam sejarah. Gerakan-gerakan Pan berasal dari negara-negara yang tidak pernah
mengenal pemerintahan konstitisional, sehingga pemimpin-pemimpin-pemimpin
gerakan tersebut tentu saja memandang pemerintah dan kekuasaan dari sudut pandang keputusan semena-mena dari atas.
Imperialisme kolonial yang juga memerintah dengan dekrit dan malahan
kadang-kadang didefinisikan sebagai “regime
des decrets”, cukup berbahaya namun justru kenyataannya bahwa para
administrator didatangkan dari luar dan merasa dirinya menjadi perebutan
kekuasaan mengurangi pengaruh terhadap bangsa bawahan mereka.
Gerakan-gerakan totaliter masih berhutang budi atas
seruan samar-samar pada suasana anti Barat dan menjadi mode, terutama di Jerman
pra-Hitler dan Austria tetapi telah menguasai kaum inteligensia Eropa pada
tahun dua puluhan. Sejak semula gerakan-gerakan, kurang memiliki “kekuatan
emosi-emosi yang diwariskan”, maka harus berbeda dari model depotisme Rusia
dalam dua hal. Pertama, gerakan-gerakan itu harus menyelenggarakan propaganda
yang nyaris tidak dibutuhkan oleh birokrasi yang telah mapan dan melakukannya
dengan memperkenalkan suatu unsur kekerasan. Kedua, gerakan tersebut menemukan
pengganti untuk memainkan peran “emosi-emosi yang diwariskan “ dalam ideologi
yang telah dikembangkan partai-partai secara luas. Perbedaan dalam penggunaan
teknologi ialah bahwa mereka tidak hanya menambah pembenaran ideologis pada
perwakilan kepentingan tetapi menggunakan ideologi sebagai prinsip organisasi.
Bahwa disintegrasi sistem kepartaian Eropa timbul, tidak
disebabkan oleh gerakan Pan, melainkan oleh gerakan totaliter, yang tempatnya
antara perkumpulan imperialis kecil yang tidak begitu berbahaya dan gerakan
taotaliter yang merupakan pelopor totalitarisme. Sejauh mereka telah
membuang unsur snobisme kekayaan dan
keturunan di Inggris atau snobisme pendidikan di Jerman, dapat memanfaatkan
rasa benci mendalam rakyat terhadap lembaga-lembaga yang diandaikan mewakili
rakyat. Perbedaan pokok antara Partai Anglo-Saxon dan Partai Kontinental
terletak disini, bahwa yang pertama merupakan suatu organisasi politik dari
warga negara yang butuh “bertindak bersama” (act in concert) agar bertindak sungguh-sungguh.
Sedangkan yang terakhir adalah organisasi individu-individu pribadi yang
menginginkan agar kepentingan mereka dilindungi terhadap campur tangan publik.
Tidak ada gerakan tanpa kebencian terhadap negara, dan
hal ini sebutulnya tidak dikenal oleh para pengikut Pan-Jermanisme Jerman
sebelum perang yang mengalami stabilitas cukup besar. Hal ini mungkin karena
disini kepentingan ekonomi dan sosial sangat tergantung pada kebangsaan oleh
karenanya nasionalisme yang merupakan
kekuatan pemersatu di dalam negara , sekaligus menjadi prinsip kekacauan internal, yang bermuara pada suatu
perbedaan yang lebih menentukan dalam struktur partai-partai dibandingkan
dengan struktur partai-partai dibandingkan dengan struktur negara bangsa.
Karena satu-satunya hal terpenting dalam pergerakan ialah justru keadaan yang
selalu bergerak. Oleh karenanya kaum Nazi, biasanya mengacu pada 14 tahun
Republik Weimar sebagai “waktu sistem”. Gerakan sejati bertujuan menghancurkan
negara, sementara yang pertama masih mengakui negara begitu perwakilannya jatuh
di tangan anggota satu partai (seperti Italia jaman Mussolini), yang terakhir
mengakui gerakan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan lebih tinggi
otoritasnya daripada negara.
Sikap permusuhan gerakan-gerakan Pan terhadap sistem
partai mendapatkan arti praktis ketika setelah Perang Dunia I, sistem partai
tidak lagi menjadi perlengkapan kerja, dan sistem kelas masyarakat Eropa runtuh
karena makin membengkaknya massa yang seluruhnya terpuruk jadi proletar melarat
oleh kejadian perang. Diantara dua Perang Dunia, ketika setiap gerakan memiliki
peluang lebih besar daripada partai manapun karena gerakan menyerang langsung
kelembagaan negara dan tidak memperhatikan soal kelas. Fasisme dan Nazisme
selalu membanggakan diri bahwa kebencian mereka tidak ditujukan kepada
kelas-kelas secara individual, tetapi sistem kelas itu sendiri yang mereka
kecam sebagai rekayasaMarxisme. Karena makin lemahnya sistem partai yang tumbuh
di bawah tekanan gerakan di luar parlemen dan kelas, makin cepat antagonisme
lama antara partai-partai dan negara akan hilang. Tindakan revolusioner kerap
kali lebih konsesi yang dibuat-buat demi massa yang keinginannya tidak
terpuaskan daripada perjuangan untuk merebut kekuasaan yang sesungguhnya.
Berbeda dengan
disintegrasi partai-partai lama, gerakan Fasis dan Komunis tetap bersatu di
mana-mana yang pertama, diluar Jerman dan Italia, dengan setia membela
perdamaian bahkan dengan pengorbanan dominasi asing, dan yang kedua dalam waktu
lama menggembor-gemborkan perang bahkan dalam pengorbanan kehancuran nasional.
Sementara liga imperialis menempatkan diri di atas partai demi identifikasi
sebagai negara kebangsaan, gerakan Pan menyerang partai yang sama sebagai
bagian dari sistem umum yang mencakup negara-kebangsaan. Negara Totaliter
merupakan suatu negara dalam penampilannya saja, gerakan tersebut tidak lagi
mengidentifikasikan dirinya sebagai rakyat. Mulai sekarang gerakan ada di atas
negara dan rakyat siap mengorbankan keduanya demi ideologinya.
Bab V
Surutnya
Negara-Kebangsaan dan Berakhirnya
Hak-Hak
Manusia
Sepintas lalu kekacauan di Eropa, namun di daerah-daerah tersebut dan setelah
bubarnya dua negara multinasional di Eropa sebelum perang, yakni Rusia dan
Austria-Hungaria. Mereka kehilangan hak-hak yang dipikirkan dan malahan
didefinisikan sebagai sesuatu yang tak dapat dicabut, yaitu Hak-hak Manusia.
Dengan timbulnya golongan minoritas di Eropa Timur dan Eropa Selatan dan
golongan tuna negara yang terdampar di Eropa Tengah dan Barat, maka
diperkenalkanlah unsur baru disintegrasi Eropa pasca perang. Pencabutan
kewarganegaraan menjadi senjata ampuh politik totaliter, dan ketidakmampuan
konstitusional negara-kebangsaan Eropa untuk menjamin hak-hak asasi manusia
bagi mereka yang telah kehilangan hak-hak yang menindas untuk memaksakan
standar nilai mereka bahkan terhadap kaum oposan.
Desintergasi internal baru baru mulai setelah Perang
Dunia I, dengan munculnya golongan minoritas yang diciptakan oleh Perjanjian
Perdamaian serta arus pengungsi yang
makin meningkat akibar revolusi-revolusi. Perjanjian sebagai permainan
semena-semena yang memberikan kekuasaan pada satu kelompok dan ketundukan
kepada yang lain. Di lain pihak, negara-negara yang baru dibentuk dan
dijanjikan status sama dalam kedaulatan nasional dengan Bangsa-Bangsa Barat
memandang Perjanjian minoritas sebagai pelanggaran janji dan diskriminasi,
karena hanya negara-negara baru dan bukan Jerman yang kalah perang teringat
oleh Perjanjian tersebut. Gerakan-gerakan pembebasan nasional di Timur bersifat
revolusioner seperti gerakan-gerakan buruh di Barat, kedua mewakili “lapisan
tanpa sejarah” dari penduduk Eropa dan keduanya berusaha mendapatkan pengakuan
serta partisipasi dalam urusan publik. Karena tujuannya mempertahankan status quo Eropa, maka pemberian peluang
menentukan nasib sendiri dan kedaulatan nasional merupakan hal yang tak
terelakkan. Dalam keyakinan ini yang dapat di dasari oleh kenyataan bahwa
Revolusi Prancis telah mengkombinasikan Deklarasi hak-hak manusia dengan
Kedaulatan Nasional, mereka didukung oleh Perjanjian minoritas mereka sendiri
yang tidak mempercayakan perlindungan pemerintah terhadap berbagai bangsa
tetapi menugaskan Liga Bangsa-Bangsa untuk menjamin Hak-hak mereka karena
pembenahan wilayah dibiarkan tanpa negara nasioanl sendiri.
Liga Bangsa-Bangsa maupun perjanjian minoritas tidak
dapat mencegah berdirinya negara-negara baru dari asimilasi minoritas mereka
yang sedikit banyak dipaksakan. Faktor paling kuat yang menentang asimilasi
adalah kelemahan dalam jumlah dan kebudayaan yang disebut “rakyat negara”
minoritas Yahudi atau Rusia di Polandia tidak merasa kebudayaan Polandia lebih
unggul daripada kebudayaan mereka sendiri. Dengan kata lain, kepentingan
nasional bukan kepentingan bersama minoritas sendiri yang merupakan dasar sesungguhnya
dari keanggotaan dalam Kongres. Para perancang Perjanjian minoritas tidak
memprediksi kemungkinan perpindahan penduduk secara besar-besaran atau masalah
orang yang tidak “dapat dideportasikan” karena tidak ada negara di atas bumi
ini di mana mereka mengenyam hak untuk menetap. Kaum minoritas masih dapat
dianggap sebagai fenomena luar biasa, terutama di wilayah tertentu yang
menyimpang dari norma.
Pencabutan kebangsaan tersebut mengadaikan suatu struktur
negara, bila belum sepenuhnya totaliter, paling sedikit tidak mau mentolerir
oposisi dan lebih suka kehilangan warga negara daripada mempunyai orang-orang
dengan pendapat yang berbeda. Karena negara non totaliter, terlepas dari
mempunyai maksud buruk yang diilhami oleh suasana perang, pada umumnya menghindari
repatrisasi massal. Kerugian besar yang pertama yang dilakukan pada
negara-negara kebangsaan sebagai akibat kedatangan ratusan ribu orang tuna
negara ialah bahwa hak (suaka politik), satu-satunya hak yang pernah menjadi
simbol Hak-hak Manusia di bidang hubungan internasional dihapuskan. Di antara
kaum minoritas, orang Yahudi dan Armenia menghadapi risiko paling besar dan
dengan cepat menunjukkan proporsi tuna negara paling tinggi, tetapi juga
membuktikan bahwa Perjanjiaan Minoritas tidak dengan sendirinya member
perlindungan tetapi juga dipergunakan untuk memilih kelompok tertentu untuk pengusiran
yang sesungguhnya. Hak-hak manusia telah ditentukan “tak dapat dicabut” karena
Hak-hak tersebut diandaikan tidak tergantung dari semua pemerintah tetapi pada
saat manusia tidak memiliki minimalnya, ternyata tidak ada otoritas lain yang
siap melindungi dan tidak ada satu lembaga pun bersedia menjamin Hak-hak
Manusia.
Para pengungsi Rusia adalah kelompok pertama yang
menekankan kebangsaan mereka dan gigih membela terhadap usaha menyatukan mereka
dengan kelompok tuna negara lainnya. Hak-hak Manusia yang diandaikan tidak
dapat dicabut dan tidak dapat ditegakkan di negara yang konstitusinya
berdasarkan Hak-hak tersebut. Kehilangan yang diderita kaum tuna hukum ialah
kehilangan perlindungan pemerintahan, tidak berarti hanya status hukum di
negara sendiri tetapi disemua negara. Sesuatu yang lebih mendasar daripada
kebebasan dan keadilan yang merupakan hak-hak warga negara yang dipertaruhkan
bila termasuk dalam komunitas di mana orang dilahirkan tidak lagi merupakan
masalah dan bukan pula soal pilihan, bila orang dihadapkan pada suatu situasi
di mana bila ia tidak melakukan
kejahatan perlakuan oleh orang lain tidak tergantung apa yang dia lakukan atau
tidak ia lakukan. Kita jadi sadar akan adanya hak untuk memiliki hak-hak dan
suatu hak yang termasuk dalam komunitas yang terorganisir, hanya ketika
berjuta-juta orang muncul yang telah kehilangan dan tidak mendapatkan kembali
hak-hak tersebut karena situasi politik global baru.
Hak-hak asasi manusia sebetulnya adalah suatu ciri umum
keadaan manusia yang tidak dapat diambil oleh seorang tiran sekalipun.
Kehilangan “hak-hak asasi manusia” membawa kehilangan makna berbicara dan
kehilangan semua hubungan manusia. Dengan kata lain, kehilangan sifat paling
hakiki dari hidup manusia. Faktor yang menentukan ialah bahwa hak-hak ini dan
martabat manusia yang diturunkan dari situ seharusnya tetap berlaku dan nyata
sekalipun bila hanya ada seseorang manusia yang hidup di atas bumi, hak-hak itu
tergantung dari banyak sedikitnya jumlah manusia dan harus tetap berlaku bahkan
bila seorang manusia diusir dari masyarakat manusia.
lengkap sekali infonya kak makasih
BalasHapusapa itu agency