Minggu, 26 Mei 2013

Asal Mula Perdamaian Israel-PLO



Sejarah panjang pertikaian antara Israel dan Palestina diketahui setiap orang. Semenjak awal abad kedua puluh, Timur Tengah telah menjadi ajang bentrokan antara orang Islam pribumi dengan Arab Kristen dan Yahudi, yang sebagian besarnya tidak dilahirkan di Palestina. Setelah didirikannya Israel pada 1948, bentrokan ini menjadi perang terbuka. Pada 1967, ada empat perang utama dan satu bentuk perang antara Israel dan tetangga Arabnya. Setelah 1967, organisasi yang bekerja untuk membebaskan Palestina juga membuat kehadiran mereka terasa. Perlawanan Palestina menguat ketika Israel menduduki semua tanah Palestina pada 1967. Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), sebuah gerakan perlawanan yang terbentuk dengan penyatuan beberapa kelompok, meningkatkan kegiatannya khususnya dalam 1970an. Hingga 1980an, mereka memainkan peran utama dalam perjuangan rakyat Palestina. Lahirnya gerakan Islam selama 1980an memiliki dampak meluas atas organisasi ini, yang telah bertahan terutama melalui dukungan golongan kiri, pemerintah Arab sosialis, dan Uni Soviet.
Kelompok Islam, khususnya yang mengorganisir dirinya di Jalur Gaza dan Tepi Barat, menjadi bentuk baku Intifadah pada 1987 dan memimpin pemberontakan ini. Pada 1990an, kekuatan mereka bertentangan dengan PLO. Tak diragukan lagi, perkembangan ini membuat Israel mengubah taktik, untuk memusatkan perhatian pada gerakan Islam baru yang bersatu dibawah ciri yang sama ini, dan bukan dengan PLO, yang telah kehilangan dukungan penting dari blok Soviet yang sekarang telah beku, yang menjadi kekuatan terbesarnya.Israel lebih memilih membuat perubahan strategi, bukan menghadapi dua ancaman ini sekaligus. Hal terpintar yang dilakukan adalah mengakui PLO sebagai perwakilan resmi kepentingan Palestina dan lalu memainkan kartu PLO melawan kekuatan Palestina lainnya. Tentu ini berarti bahwa Israel harus sementara waktu menghentikan kebijakan penyerangan yang telah berlangsung bertahun-tahun, jika itu penting untuk taktik ini. Inilah dasar bagi Israel dan PLO memulai proses perdamaian selama awal 1990an.
Teori "Perdamaian untuk Perang"
Mundur untuk membuat gerakan lebih kuat lagi di belakang hari adalah salah satu strategi politik yang lebih dipertajam lagi. Israel mengetahui bagaimana menerapkan “strategi penarikan diri” ini ketika diperlukan. Salah satu contoh terjadi 3 tahun setelah mereka menandatangani Kesepakatan Camp David dengan Mesir. Satuan-satuan tentara Israel menyerang Libanon pada musim panas 1982, di bawah perintah penanda tangan Camp David Menachem Begin, yang mengejutkan orang-orang yang yakin pada dongeng proses perdamaian Timur Tengah. Pembantaian yang terjadi di kamp pengungsian Sabra dan Shatilla sekali lagi menunjukkan apa yang sesungguhnya dimaksud Israel dengan perdamaian. Kejadian-kejadian ini membuktikan bahwa Israel tidak menandatangani Kesepakatan Camp David karena menginginkan perdamaian di Timur Tengah, melainkan karena hanya ingin menghilangkan satu hambatan (Mesir) sehingga bisa berkonsentrasi pada tujuan yang lebih penting. Jadi proses perdamaian 1992 hanyalah “strategi menarik diri” lainnya, sebuah taktik perang post-modern yang direkayasa seperti bunglon. Taktik ini tidak dapat menghindar dari pandangan para ahli dan cendekiawan yang mengikuti proses perdamaian itu lebih dekat. Edward Said, salah satu ahli ini, memperingatkan PLO sebelum memulai pembicaraan damai bahwa mereka telah lupa bahwa mereka berhadapan dengan “negara orang Talmud.” (Orang Talmud terikat keras dengan Talmud, Kitab Suci Yahudi.) Menurut Said, orang-orang Israel mempersiapkan jebakan di belakang setiap kata dan setiap tanda koma dari pembicaraan damai ini
Dengan tawaran perdamaian pertama mereka, yang menjanjikan orang-orang Palestina dengan Jalur Gaza dan Tepi Barat, pemerintah Israel berencana untuk meredam perlawanan rakyat Palestina. Rencana ini sesungguhnya adalah jebakan. Demikian pula, wilayah yang berada di bawah pengendalian Palestina berdasarkan Kesepakatan Oslo berjumlah sekitar 22% dari seluruh tanah Palestina. Bahkan, dengan menempatkan Jalur Gaza, daerah kekuatan pergerakan Islam, di bawah kendali Palestina, Israel telah membebaskan dirinya dari perlunya menghadapi kelompok perlawanan ini. Dengan kesepakatan ini, kekuatan keamanan Palestina harus menghadapi langsung kelompok perlawanan ini. Israel tidak rugi apa pun dalam tawar menawar ini, sebaliknya, terbukti menjadi tawar menawar yang paling menguntungkan. Dan memang, kesepakatan yang mengikuti Oslo membantu Israel “membersihkan” Yerusalem dari orang-orang Kristen dan Muslim. Pastilah bukan kebetulan adanya pembangunan pemukiman di dekat Yerusalem yang dilakukan segera setelah penandatanganan Kesepakatan Oslo. Pembangunan ini hanyalah sebuah hasil dari strategi yang telah direncanakan dengan lihai, yang tiap tahapnya dengan seksama dipikirkan sebelumnya.
Kesepakatan Oslo I

Pada Agustus 1993, Arafat duduk semeja dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Hasilnya adalah Kesepakatan Oslo I yang ditandatangani pada tanggal 13 September tahun 1993 di Norwegia . Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah lembaga semi otonom yang bisa “memerintah” di kedua wilayah itu. Arafat “mengakui hak Negara Israel untuk eksis Secara aman dan damai”. Pemimpin PLO Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin, di hadapan Presiden AS Bill Clinton, berfoto di depan para wartawan, berjabat tangan, dan membawa perundingan Israel-Palestina pada hasil kesepakatan yang sebenarnya melalui Declaration of Principles dengan penarikan mundur tentara Israel dari Gaza dan Jericho namun dampaknya  sangat kontradiksi dengan perdamaian tersebut. Dampaknya bagi Palestina yaitu pencaplokan Israel atas wilayah Palestina dari tahun 1948 – 1967 dianggap Syah dan benar – benar dianggap hak Israel selaian itu tanggal 13 September 1993 pembangunan pemukiman Yahudi terus dilanjutkan di wilayah – wilayah yang tidak syah. Meskipun pada tanggal 4 Mei 1994 keamanan eksternal tetap di pegang Israel sementara itu pemerintah Palestina dimanfaatkan untuk menekan bangsanya sendiri karena perundingan ini tidak melibatkan  semua negara- negara Arab. PLO sendiri sebenarnya telah menyimpang dari tujuan awal dalam membela Palestina.




Kesepakatan Oslo II

Perjanjian ini terjadi  pada tanggal 28 September 1995. Dalam perjanjian ini disepakati pengakuan atas pemerintahan otoritas interim ( PM Israel Yitzak Rabbin , Menteri Luar Negeri dan  Yaser Arafat  ( PLO ) Palestina serta pembentukan Dewan Palestina. Namun hingga kini, Perjanjian Oslo tidak efektif berlaku karena Israel sering melanggar perjanjian dengan mencoba meluaskan wilayah kekuasaannya di tanah penempatan rakyat Palestina. Inilah tipu muslihat Israel terhadap perdamaian yang dilakukan . Kenyataannya, Israel menyuap Palestina agar tidak menghalangi jalannya. Pertama, dan terpenting, tanah yang disepakati Israel diberikan sebagai tanah Palestina yang jumlahnya kurang dari 22% dari wilayah Palestina sebenarnya, dikepung oleh tentara Israel, dan dipisahkan satu sama lain dengan jalan-jalan yang hanya dapat digunakan oleh orang-orang Yahudi. Perincian lain yang tak boleh dilupakan adalah bahwa tanah ini adalah tanah gurun yang tandus. Bahkan, perbatasan, udara, dan air tanah “negara merdeka Palestina” berada di bawah kendali Israel.
Sementara kalangan menganggap pembagian oleh Israel atas wilayah Palestina dalam tiga wilayah (yakni A, B, dan C) sebagai kesepakatan yang penting. Padahal, berdasarkan contoh ini, ketika satu jalan Yerusalem berada di bawah kendali polisi Palestina, maka jalan berikutnya akan dikendalikan oleh tentara Israel. Akibatnya, orang Israel bisa menyeberang ke jalan ini, sehingga membawa militer Israel ke wilayah Palestina, seperti yang mereka lakukan saat ini di Jalur Gaza dan Tepi Barat kapan pun mereka mau. Kita tidak bisa membicarakan negara Palestina yang berdaulat dengan keadaan seperti ini. Usulan Israel untuk memberikan sebagian Yerusalem di bawah kendali Palestina tak berarti apa pun selain tipuan. Seperti banyak persoalan lainnya, Israel hanya tertarik memanipulasi orang-orang Palestina untuk keuntungannya sendiri. Robert Fisk menyebutkan kenyataan ini dalam salah satu artikelnya:  “ Dan Otoritas Palestina mengetahui semuanya dengan terlalu baik, apa arti “kendali” di Yerusalem. Ketika orang-orang Arafat mengumpulkan sampah, dengan mengerahkan polisi jalanan dan tetap mengatur rakyatnya sendiri, Israel terus memegang kedaulatan di seluruh Yerusalem. “
Selain ini, Kesepakatan Oslo tidak memberi orang Palestina, yang dipaksa terusir dari rumah dan tanahnya karena teror Israel pada 1948, hak untuk pulang. Mustahil memecahkan masalah Palestina tanpa mengizinkan para pengungsi kembali. Kesimpulannya, “Israel yang Damai” yang tampak di kulitnya dan mengungkapkan kepalsuannya pada tahun 2000 jelas tidak mencerminkan kebenaran sesungguhnya. Sepanjang Israel memandang Yerusalem dan seluruh tanah Palestina sebagai hak miliknya, menganggap orang-orang Palestina sebagai “binatang berkaki dua,” dan melihat dunia dari kaca mata kabur Darwinisme Sosial, mereka tidak akan bisa membawa perdamaian ke Timur Tengah
Kesepakatan Hebron

Kesepakatan ini terjadi tanggal 18 Januari tahun1997 Israel bersedia menarik pasukannya dari Hebron, Tepi Barat. Kesepakatan  ini adalah bukti alotnya perundingan Israel- Palestina pada era PM Benjamin Netanyahu. Kesepakatan Hebron bahkan hampir gagal, seandainya tidak ada campur tangan langsung utusan khusus Amerika Serikat saat itu, Dennis Ross. Palestina pun akhirnya harus menerima kota Hebron dibagi menjadi duabagian, yakni 10 persen tetap dikuasai Israel dengan kedok menjaga keamanan pemukim Yahudi di tengah kota tesebut, dan 80 persen di bawah kontrol Palestina.
Memorandum Wye
Perjanjian Wye River  tanggal 23 Oktober 1998 berisi penarikan Israel  dari 13 % wilayah tepi Barat dan dilepaskannya tahanan politik serta  kesediaan Palestina untuk menerapkan butir-butir perjanjian Oslo, termasuk soal penjualan senjata ilegal. Sementara itu Israel masih menunda – nunda perjanjian dengan tetap membangun pemukiman
Kesepakatan Sharm Al – Syaikh
Pemilu Israel bulan Mei 1999 yang dimenangkan pimpinan Partai Buruh Ehud Barak, semula memberi harapan lagi atas masa depan perdamaian. PM Israel Ehud Barak dan Pemimpin Palestina Yasser Arafat menandatangani Kesepakatan Sharm el-Sheikh di Mesir pada tanggal 4 September 1999 yang isinya  tetap melakukan penarikan pasukan Israel dari Palestina . PM barak lebih memilih kesepakatan final langsung daripada kesepakatan bertahap.
Perundingan Status Final di Camp David
Awalnya adalah faktor kesepakatan Sharm Al - Syaikh yang mendorong pemerintah AS Bill Clinton dengan persetujuan PM Ehud Barak menggelar Perundingan Camp Dvid II pada tanggal 26 Juli 2000 yang akhirnya mengalami kegagalan karena Israel tetap ingin menguasai Haram Asy- Syarif dan menawarkan wilayah yang tidak penting di tepi barat kepada Palestina. Perundingan Camp David itu telah membawa krisis politik di Israel, lantaran sebagian besar partai politik yang tergabung dalam pemerintahan koalisi pimpinan PM Barak, menentang konsesi terlalu besar yang diberikan Ehud Barak pada Palestina dalam perundingan tersebut. Kegagalan perundingan Camp David tersebut, merupakan awal menuju kejatuhan pemerintah PM Ehud Barak. Pasca-perundingan Camp David itu, Israel dililit krisis politik luar biasa yang memaksa PM Barak mengundurkan diri dan menggelar pemilu lebih cepat. Bersamaan dengan itu, Palestina menggerakkan Intifadah Al Aqsa sebagai reaksi kekecewaan mereka atas gagalnya perundingan Camp David itu. Kegagalan perundingan Camp David tersebut, juga menjadi bukti bahwa rakyat Israel belum siap menciptakan perdamaian yang adil di Timur Tengah. Mereka masih menolak resolusi PBB No. 194 tentang hak kembali bagi pengungsi Palestina dan mengakui kedaulatan Palestina atas Masjid Al Aqsa. Isu resolusi PBB no. 194 dan kedaulatan Masjid Al Aqsa tersebut, merupakan penyebab utama gagalnya perundingan Camp David
Situasi keamanan yang memburuk di Israel akibat meletusnya Intifadah Al Aqsa serta krisis politik dalam negeri pasca-perundingan Camp David tersebut, merupakan faktor yang mengantarkan Pemimpin Partai Likud Ariel Sharon memenangkan cukup telak atas Ehud Barak pada pemilu Israel bulan Februari 2001. Kebijakan garis keras yang dianut PM Ariel Sharon sejak menjabat secara resmi perdana menteri Israel pada bulan Maret 2001, membuat proses perdamaian belum juga bergerak pada era PM Ariel Sharon.Maret-April 2002 Israel membangun Tembok Pertahanan di Tepi Barat dan diiringi rangkaian serangan bunuh diri Palestina. Pada tanggal 26 Juni 2002 Israel mengesahakan  pendirian tembok ini yakni tembok rasialis membelah Palestina. Rakyat Palestina dibuat menderita  dari  akses ekonomi dan hubungan dari negara lain. Juli 2004 Mahkamah Internasional menetapkan pembangunan batas pertahanan menyalahi hukum internasional dan Israel harus merobohkannya namun tetap saja Israel bungkam seribu bahasa. Pada tanggal 9 Januari 2005 Mahmud Abbas, dari Fatah, terpilih sebagai Presiden Otoritas Palestina. Ia menggantikan Yasser Arafat yang wafat pada 11 November 2004 menuju perdamaian semu.
Pada tahun 2007, di masa-masa akhir pemerintahan George W. Bush, Quartet on
Middle East ditambah dengan partisipasi dari Mesir, mengadakan konferensi untuk
kembali membicarakan perdamaian antara Palestina dan Israel di Annapolis. Untuk pertama kalinya dalam kronik sejarah proses perdamaian Palestina dan Israel, solusi dua negara disebutkan secara eksplisit dalam proses konferensi. Dengan diterimanya solusi dua negara dalam Annapolis Conference, maka telah terjadi perubahan dalam platform politik yang telah lama dianut oleh Palestina dan Israel. Meski demikian, hasil dari
Annapolis Conference masih belum bisa diimplementasikan karena semakin rumitnya
konflik yang terjadi di wilayah Palestina-Israel

Al Banna , Shofwan . 2006. Palestine Emang Gue Pikirin . Pro U media : Yogyakarta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar