Sejarah panjang
pertikaian antara Israel
dan Palestina diketahui setiap orang. Semenjak awal abad kedua puluh, Timur
Tengah telah menjadi ajang bentrokan antara orang Islam pribumi dengan Arab
Kristen dan Yahudi, yang sebagian besarnya tidak dilahirkan di Palestina.
Setelah didirikannya Israel
pada 1948, bentrokan ini menjadi perang terbuka. Pada 1967, ada empat perang
utama dan satu bentuk perang antara Israel dan tetangga Arabnya.
Setelah 1967, organisasi yang bekerja untuk membebaskan Palestina juga membuat
kehadiran mereka terasa. Perlawanan Palestina menguat ketika Israel
menduduki semua tanah Palestina pada 1967. Organisasi Pembebasan Palestina
(PLO), sebuah gerakan perlawanan yang terbentuk dengan penyatuan beberapa kelompok,
meningkatkan kegiatannya khususnya dalam 1970an. Hingga 1980an, mereka
memainkan peran utama dalam perjuangan rakyat Palestina. Lahirnya gerakan Islam
selama 1980an memiliki dampak meluas atas organisasi ini, yang telah bertahan
terutama melalui dukungan golongan kiri, pemerintah Arab sosialis, dan Uni
Soviet.
Kelompok Islam,
khususnya yang mengorganisir dirinya di Jalur Gaza
dan Tepi Barat, menjadi bentuk baku
Intifadah pada 1987 dan memimpin pemberontakan ini. Pada 1990an, kekuatan
mereka bertentangan dengan PLO. Tak diragukan lagi, perkembangan ini membuat
Israel mengubah taktik, untuk memusatkan perhatian pada gerakan Islam baru yang
bersatu dibawah ciri yang sama ini, dan bukan dengan PLO, yang telah kehilangan
dukungan penting dari blok Soviet yang sekarang telah beku, yang menjadi
kekuatan terbesarnya.Israel lebih memilih membuat perubahan strategi, bukan
menghadapi dua ancaman ini sekaligus. Hal terpintar yang dilakukan adalah
mengakui PLO sebagai perwakilan resmi kepentingan Palestina dan lalu memainkan
kartu PLO melawan kekuatan Palestina lainnya. Tentu ini berarti bahwa Israel
harus sementara waktu menghentikan kebijakan penyerangan yang telah berlangsung
bertahun-tahun, jika itu penting untuk taktik ini. Inilah dasar bagi Israel
dan PLO memulai proses perdamaian selama awal 1990an.
Teori "Perdamaian untuk Perang"
Mundur untuk membuat
gerakan lebih kuat lagi di belakang hari adalah salah satu strategi politik
yang lebih dipertajam lagi. Israel
mengetahui bagaimana menerapkan “strategi penarikan diri” ini ketika
diperlukan. Salah satu contoh terjadi 3 tahun setelah mereka menandatangani
Kesepakatan Camp David dengan Mesir. Satuan-satuan tentara Israel menyerang Libanon pada musim
panas 1982, di bawah perintah penanda tangan Camp David Menachem Begin, yang
mengejutkan orang-orang yang yakin pada dongeng proses perdamaian Timur Tengah.
Pembantaian yang terjadi di kamp pengungsian Sabra dan Shatilla sekali lagi
menunjukkan apa yang sesungguhnya dimaksud Israel dengan perdamaian.
Kejadian-kejadian ini membuktikan bahwa Israel tidak menandatangani
Kesepakatan Camp David karena menginginkan perdamaian di Timur Tengah,
melainkan karena hanya ingin menghilangkan satu hambatan (Mesir) sehingga bisa
berkonsentrasi pada tujuan yang lebih penting. Jadi proses perdamaian 1992
hanyalah “strategi menarik diri” lainnya, sebuah taktik perang post-modern
yang direkayasa seperti bunglon. Taktik ini tidak dapat menghindar dari
pandangan para ahli dan cendekiawan yang mengikuti proses perdamaian itu lebih
dekat. Edward Said, salah satu ahli ini, memperingatkan PLO sebelum memulai
pembicaraan damai bahwa mereka telah lupa bahwa mereka berhadapan dengan
“negara orang Talmud.” (Orang Talmud terikat keras dengan Talmud, Kitab Suci
Yahudi.) Menurut Said, orang-orang Israel mempersiapkan jebakan di
belakang setiap kata dan setiap tanda koma dari pembicaraan damai ini
Dengan tawaran
perdamaian pertama mereka, yang menjanjikan orang-orang Palestina dengan Jalur Gaza dan Tepi Barat, pemerintah Israel berencana untuk meredam
perlawanan rakyat Palestina. Rencana ini sesungguhnya adalah jebakan. Demikian
pula, wilayah yang berada di bawah pengendalian Palestina berdasarkan
Kesepakatan Oslo
berjumlah sekitar 22% dari seluruh tanah Palestina. Bahkan, dengan menempatkan
Jalur Gaza, daerah kekuatan pergerakan Islam, di bawah kendali Palestina,
Israel telah membebaskan dirinya dari perlunya menghadapi kelompok perlawanan
ini. Dengan kesepakatan ini, kekuatan keamanan Palestina harus menghadapi
langsung kelompok perlawanan ini. Israel tidak rugi apa pun dalam
tawar menawar ini, sebaliknya, terbukti menjadi tawar menawar yang paling
menguntungkan. Dan memang, kesepakatan yang mengikuti Oslo
membantu Israel
“membersihkan” Yerusalem dari orang-orang Kristen dan Muslim. Pastilah bukan
kebetulan adanya pembangunan pemukiman di dekat Yerusalem yang dilakukan segera
setelah penandatanganan Kesepakatan Oslo. Pembangunan ini hanyalah sebuah hasil
dari strategi yang telah direncanakan dengan lihai, yang tiap tahapnya dengan
seksama dipikirkan sebelumnya.
Kesepakatan Oslo I
Pada Agustus
1993, Arafat duduk semeja dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Hasilnya
adalah Kesepakatan Oslo
I yang ditandatangani pada tanggal 13 September tahun 1993 di Norwegia . Rabin
bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memberi Arafat kesempatan
menjalankan sebuah lembaga semi otonom yang bisa “memerintah” di kedua wilayah
itu. Arafat “mengakui hak Negara Israel untuk eksis Secara aman dan
damai”. Pemimpin PLO Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin, di
hadapan Presiden AS Bill Clinton, berfoto di depan para wartawan, berjabat
tangan, dan membawa perundingan Israel-Palestina pada hasil kesepakatan yang
sebenarnya melalui Declaration of Principles dengan penarikan mundur tentara Israel dari Gaza
dan Jericho
namun dampaknya sangat kontradiksi
dengan perdamaian tersebut. Dampaknya bagi Palestina yaitu pencaplokan Israel
atas wilayah Palestina dari tahun 1948 – 1967 dianggap Syah dan benar – benar
dianggap hak Israel selaian itu tanggal 13 September 1993 pembangunan pemukiman
Yahudi terus dilanjutkan di wilayah – wilayah yang tidak syah. Meskipun pada
tanggal 4 Mei 1994 keamanan eksternal tetap di pegang Israel sementara itu
pemerintah Palestina dimanfaatkan untuk menekan bangsanya sendiri karena
perundingan ini tidak melibatkan semua
negara- negara Arab. PLO sendiri sebenarnya telah menyimpang dari tujuan awal
dalam membela Palestina.
Kesepakatan Oslo II
Perjanjian ini
terjadi pada tanggal 28 September 1995. Dalam
perjanjian ini disepakati pengakuan atas pemerintahan otoritas interim ( PM
Israel Yitzak Rabbin , Menteri Luar Negeri dan
Yaser Arafat ( PLO ) Palestina
serta pembentukan Dewan Palestina. Namun hingga kini, Perjanjian Oslo tidak
efektif berlaku karena Israel
sering melanggar perjanjian dengan mencoba meluaskan wilayah kekuasaannya di
tanah penempatan rakyat Palestina. Inilah tipu muslihat Israel terhadap
perdamaian yang dilakukan . Kenyataannya,
Israel menyuap
Palestina agar tidak menghalangi jalannya. Pertama, dan terpenting, tanah yang
disepakati Israel diberikan sebagai tanah Palestina yang jumlahnya kurang dari
22% dari wilayah Palestina sebenarnya, dikepung oleh tentara Israel, dan
dipisahkan satu sama lain dengan jalan-jalan yang hanya dapat digunakan oleh
orang-orang Yahudi. Perincian lain yang tak boleh dilupakan adalah bahwa tanah
ini adalah tanah gurun yang tandus. Bahkan, perbatasan, udara, dan air tanah
“negara merdeka Palestina” berada di bawah kendali Israel.
Sementara kalangan
menganggap pembagian oleh Israel
atas wilayah Palestina dalam tiga wilayah (yakni A, B, dan C) sebagai
kesepakatan yang penting. Padahal, berdasarkan contoh ini, ketika satu jalan
Yerusalem berada di bawah kendali polisi Palestina, maka jalan berikutnya akan
dikendalikan oleh tentara Israel.
Akibatnya, orang Israel bisa
menyeberang ke jalan ini, sehingga membawa militer Israel
ke wilayah Palestina, seperti yang mereka lakukan saat ini di Jalur Gaza dan Tepi Barat kapan
pun mereka mau. Kita tidak bisa membicarakan negara Palestina yang berdaulat
dengan keadaan seperti ini. Usulan Israel untuk memberikan sebagian
Yerusalem di bawah kendali Palestina tak berarti apa pun selain tipuan. Seperti
banyak persoalan lainnya, Israel
hanya tertarik memanipulasi orang-orang Palestina untuk keuntungannya sendiri.
Robert Fisk menyebutkan kenyataan ini dalam salah satu artikelnya: “ Dan Otoritas Palestina mengetahui semuanya
dengan terlalu baik, apa arti “kendali” di Yerusalem. Ketika orang-orang Arafat
mengumpulkan sampah, dengan mengerahkan polisi jalanan dan tetap mengatur
rakyatnya sendiri, Israel
terus memegang kedaulatan di seluruh Yerusalem. “
Selain ini,
Kesepakatan Oslo tidak memberi orang Palestina, yang dipaksa terusir dari rumah
dan tanahnya karena teror Israel
pada 1948, hak untuk pulang. Mustahil memecahkan masalah Palestina tanpa
mengizinkan para pengungsi kembali. Kesimpulannya, “Israel yang Damai” yang tampak di
kulitnya dan mengungkapkan kepalsuannya pada tahun 2000 jelas tidak
mencerminkan kebenaran sesungguhnya. Sepanjang Israel memandang Yerusalem dan
seluruh tanah Palestina sebagai hak miliknya, menganggap orang-orang Palestina
sebagai “binatang berkaki dua,” dan melihat dunia dari kaca mata kabur
Darwinisme Sosial, mereka tidak akan bisa membawa perdamaian ke Timur Tengah
Kesepakatan Hebron
Kesepakatan ini
terjadi tanggal 18 Januari tahun1997 Israel
bersedia menarik pasukannya dari Hebron,
Tepi Barat. Kesepakatan ini adalah bukti
alotnya perundingan Israel-
Palestina pada era PM Benjamin Netanyahu. Kesepakatan Hebron bahkan hampir
gagal, seandainya tidak ada campur tangan langsung utusan khusus Amerika
Serikat saat itu, Dennis Ross. Palestina pun akhirnya harus menerima kota
Hebron dibagi menjadi duabagian, yakni 10 persen tetap dikuasai Israel dengan
kedok menjaga keamanan pemukim Yahudi di tengah kota tesebut, dan 80 persen di
bawah kontrol Palestina.
Memorandum
Wye
Perjanjian Wye
River tanggal 23 Oktober 1998 berisi
penarikan Israel dari 13 % wilayah tepi
Barat dan dilepaskannya tahanan politik serta
kesediaan Palestina untuk menerapkan butir-butir perjanjian Oslo,
termasuk soal penjualan senjata ilegal. Sementara itu Israel masih menunda – nunda
perjanjian dengan tetap membangun pemukiman
Kesepakatan
Sharm Al – Syaikh
Pemilu Israel bulan
Mei 1999 yang dimenangkan pimpinan Partai Buruh Ehud Barak, semula memberi
harapan lagi atas masa depan perdamaian. PM Israel Ehud Barak dan Pemimpin
Palestina Yasser Arafat menandatangani Kesepakatan Sharm el-Sheikh di Mesir
pada tanggal 4 September 1999 yang isinya
tetap melakukan penarikan pasukan Israel dari Palestina . PM barak
lebih memilih kesepakatan final langsung daripada kesepakatan bertahap.
Perundingan
Status Final di Camp David
Awalnya adalah faktor
kesepakatan Sharm Al - Syaikh yang mendorong pemerintah AS Bill Clinton dengan persetujuan
PM Ehud Barak menggelar Perundingan Camp Dvid II pada tanggal 26 Juli 2000 yang
akhirnya mengalami kegagalan karena Israel tetap ingin menguasai Haram Asy-
Syarif dan menawarkan wilayah yang tidak penting di tepi barat kepada
Palestina. Perundingan Camp David itu telah membawa krisis politik di Israel,
lantaran sebagian besar partai politik yang tergabung dalam pemerintahan
koalisi pimpinan PM Barak, menentang konsesi terlalu besar yang diberikan Ehud
Barak pada Palestina dalam perundingan tersebut. Kegagalan perundingan Camp David tersebut, merupakan awal menuju kejatuhan
pemerintah PM Ehud Barak. Pasca-perundingan Camp David itu, Israel dililit
krisis politik luar biasa yang memaksa PM Barak mengundurkan diri dan menggelar
pemilu lebih cepat. Bersamaan dengan itu, Palestina menggerakkan Intifadah Al
Aqsa sebagai reaksi kekecewaan mereka atas gagalnya perundingan Camp David itu. Kegagalan perundingan Camp David
tersebut, juga menjadi bukti bahwa rakyat Israel belum siap menciptakan
perdamaian yang adil di Timur Tengah. Mereka masih menolak resolusi PBB No. 194
tentang hak kembali bagi pengungsi Palestina dan mengakui kedaulatan Palestina
atas Masjid Al Aqsa. Isu resolusi PBB no. 194 dan kedaulatan Masjid Al Aqsa
tersebut, merupakan penyebab utama gagalnya perundingan Camp
David
Situasi keamanan yang
memburuk di Israel akibat meletusnya Intifadah Al Aqsa serta krisis politik
dalam negeri pasca-perundingan Camp David tersebut, merupakan faktor yang
mengantarkan Pemimpin Partai Likud Ariel Sharon memenangkan cukup telak atas
Ehud Barak pada pemilu Israel bulan Februari 2001. Kebijakan garis keras yang
dianut PM Ariel Sharon sejak menjabat secara resmi perdana menteri Israel
pada bulan Maret 2001, membuat proses perdamaian belum juga bergerak pada era PM
Ariel Sharon.Maret-April 2002 Israel
membangun Tembok Pertahanan di Tepi Barat dan diiringi rangkaian serangan bunuh
diri Palestina. Pada tanggal 26 Juni 2002 Israel mengesahakan pendirian tembok ini yakni tembok rasialis
membelah Palestina. Rakyat Palestina dibuat menderita dari
akses ekonomi dan hubungan dari negara lain. Juli 2004 Mahkamah
Internasional menetapkan pembangunan batas pertahanan menyalahi hukum
internasional dan Israel
harus merobohkannya namun tetap saja Israel bungkam seribu bahasa. Pada
tanggal 9 Januari 2005 Mahmud Abbas, dari Fatah, terpilih sebagai Presiden
Otoritas Palestina. Ia menggantikan Yasser Arafat yang wafat pada 11 November
2004 menuju perdamaian semu.
Pada tahun 2007, di
masa-masa akhir pemerintahan George W. Bush, Quartet on
Middle East ditambah dengan partisipasi dari Mesir, mengadakan konferensi untuk
kembali membicarakan perdamaian antara Palestina dan Israel di Annapolis. Untuk pertama kalinya dalam kronik sejarah proses perdamaian Palestina dan Israel, solusi dua negara disebutkan secara eksplisit dalam proses konferensi. Dengan diterimanya solusi dua negara dalam Annapolis Conference, maka telah terjadi perubahan dalam platform politik yang telah lama dianut oleh Palestina dan Israel. Meski demikian, hasil dari
Annapolis Conference masih belum bisa diimplementasikan karena semakin rumitnya
konflik yang terjadi di wilayah Palestina-Israel
Middle East ditambah dengan partisipasi dari Mesir, mengadakan konferensi untuk
kembali membicarakan perdamaian antara Palestina dan Israel di Annapolis. Untuk pertama kalinya dalam kronik sejarah proses perdamaian Palestina dan Israel, solusi dua negara disebutkan secara eksplisit dalam proses konferensi. Dengan diterimanya solusi dua negara dalam Annapolis Conference, maka telah terjadi perubahan dalam platform politik yang telah lama dianut oleh Palestina dan Israel. Meski demikian, hasil dari
Annapolis Conference masih belum bisa diimplementasikan karena semakin rumitnya
konflik yang terjadi di wilayah Palestina-Israel
Referensi :
http://seriusdd.blogspot.com/2010/05/konflik-palestina-dan-israel.html ( diakses tanggal 19/12/2010 )
http://seriusdd.blogspot.com/2010/05/konflik-palestina-dan-israel.html ( diakses tanggal 19/12/2010 )
http://www.tragedipalestina.com/muslihatdamai.html
( diakses tanggal 19/12/2010 )
http://news.okezone.com/read/extend/2010/06/08/343/340740/angka-13-kegagalan-perjanjian-israel-palestina
( diakses tanggal 19/12/2010 )
http://raihanalfarisi.blogspot.com/2010/10/sejarah-berdirinya-negara-palestine.html
( diakses tanggal 19/12/2010 )
Al Banna , Shofwan . 2006. Palestine Emang Gue Pikirin . Pro U media : Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar