Senin, 06 Mei 2013

Cina, tahun 1989-2009



Kata Pengantar 
Menulis tentang Cina bukanlah hal mudah. Banyak buku sudah dihasilkan tentang Cina modern. Namun penulisan yang hanya mendandalkan pengataman dari jauh atau studi literatur, tentu berbeda dengan penulisan yang melihat langsung obyeknya. Di sinilah penulis mungkin bisa menambahkan nuansa dalam menulis tentang Cina modern, khususnya pasca kejayaan Deng Xiaoping dan menguatkan pengaruh Deng Xiaoping.Dua kali mengunjungi Cina dan dua kali melihat dari dekat Hongkong, termasuk penyerahan kedaulatan ke Inggris Juni 1997, tentu bukan pengalaman yang cukup, bahkan jauh dari cukup untuk memberanikan menulis tentang Cina yang diramalkan jadi negara adidaya abad ke-21.    
Tulisan ini akan berusaha menangkap unsur-unsur penting dalam perjalanan Cina berdasarkan pada even-even penting dan lembaga-lembaga penting di Cina. Dengan demikian temanya lebih beraneka ragam dan sedikit menonjolkan aspek daya tarik terhadap salah satu sudut pandang. Tema-tema itu diambil  terutama dari ketika penulis menguraikan perkembangan sebuah peristiwa di Cina. Penulisan yang dilakukan bersamaan dengan rekan lain di Kompas, ditulis ulang dengan sudut pandang sepenuhnya dari penulis.     Sentuhan penulis dengan peristiwa di Cina dimulai dengan tragedi Tiananmen. Saat itu penulis baru saja bergabung dengan Kompas sehingga masih disebut sebagai pengamat amatiran dalam mengikuti sebuah peristiwa besar, Tragedi Tiananmen 4 Juni 1989. Salah satu aspek yang ditulis adalah siapakah Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) yang berhadapan dengan para mahasiswa pro demokrasi. Setelah melihat Tiananmen, termasuk di dalamnya aspek perkembangan TPR, penulis kemudian menoleh kepada aspek kepemimpinan Cina. Siapa pemimpin Cina yang melakukan langkah tegas itu.Di sini kepemimpinan Deng Xiaoping akan disorot, beserta pemikirannya. Kemudian barulah akan menengok Jiang Zemin, pemimpin baru Cina dalam memasuki abad ke-21.    
Para pemimpin besar itulah yang membawa Cina kedalam ekonomi yang berkembang di penghujung abad ke-20. Ekonomi akan jadi sorotan dalam bab selanjutnya. Pengamatan langsung di lapangan mungkin bisa menambah suasana tentang bagaimana ekonomi itu berjalan baik teori maupun praktek. Di sini akan disajikan fokus pertumbuhan Cina di Shanghai termasuk kawasan Pudong yang terkenal itu.    
Ekonomi Cina bertambah meyakinkan setelah Hongkong, si anak hilang, kembali ke pangkuan ibunya Juni 1997. Bagaikan bebek bertelur emas, Hongkong telah menjadi pintu gerbang Cina ke luar dan sebaliknya ketika negeri itu masih membangun ekonominya yang bercorak pasar.    
Tidak lupa diplomasi dan perilaku Cina di kawasan Asia , termasuk dalam soal Laut Cina selatan, yang melibatkan enam negara yang  bersengketa. Amerika Serikat kemudian melakukan kemitraan strategis setelah menyaksikan pertumbuhan ekonomi spektakuler selama satu dekade.     Sebagai penutup, penulis ingin memberikan sejumlah ulasan tentang bagaimana Cina dalam waktu dekat, baik yang pro dan kontra. Di atas segalanya, memang tidak bisa dilupakan begitu saja kehadiran 1,2 milyar jiwa yang ada di Asia dan Dunia.     
BAB I
Tragedi Tiananmen        
Tragedi Tiananmen telah melahirkan luka yang dalam  perjalanan Cina modern. Tidak hanya masyarakat Cina yang merasa insiden itu merupakan lembaran hitam yang memakan korban para mahasiwa, masyarakat dan politisi pro demokrasi, tetapi juga mendapat reaksi keras dari dunia internasional. Setelah kejadian itu, Cina seperti diisolasi dunia.    
Rencana pembangunan ekonominya yang menganut pasar mengalami batu sandungan. Sejak 1978, Cina sudah melancarkan apa yang disebut sebagai empat modernisasi. 
     Salah satu pemicu peristiwa itu adalah saat keterbukaan ekonomi Dikembangkan sehingga melahirkan sentuhan modal, informasi dan teknologi dengan Barat, format politiknya tidak mengalami penyesuaian.Akibatnya, kelas terdidik seperti para mahasiswa dan dosennya terobsesi dengan kebebasan di luar negeri dengan bukti-bukti kemajuan ekonominya.Singkat kata, kemajuan peradaban Barat lahir karena kebebasan politik yang dilaksanakannya.    
Paham ini makin merebak di kalangan mahasiswa dan intelektual karena terjadi diskusi intensif diantara mereka. Gelombang informasi dari luar yang menyerbu masuk ke Cina akhirnya mengubah obsesi kebebasan itu menjadi sebuah gerakan pro demokrasi.    
Puncak aksi demokrasi itu berlangsung di Lapangan Tiananmen, Beijing, yang jadi simbol kebesaran Cina saat ini. Di seputar tempat inilah terdapat gedung-gedung penting pilar kenegaraan Cina.Setelah beberapa hari pidato, aksi unjuk rasa dan perhatian para wartawan asing ke Tiananmen, pihak penguasa Cina mengambil keputusan yang tak dapat diduga sebelumnya: Hancurkan gerakan pro demokrasi mahasiswa.    
Sejak kebijakan itu dikeluarkan, maka periode kelam gerakan prodemokrasi sudah diambang pintu. Bermula dari pembubaran secara kekerasan aksi pro demokrasi di Tiananmen yang memakan korban jiwa sangat besar, maka pemerintah terus mengadakan perburuan terhadap kaum intelektual yang mbalelo terhadap ajaran komunis. Muncullah tokoh-tokoh pembangkan yang dicari dan kemudian melarikan diri ke Barat. Marak pula gerakan pro demokrasi bawah tanah yang melahirkan kepahlawanan besar di kalangan intelektual. 

Melihat Tiananmen dari dekat 
Tahun 1995 ketika penulis mengunjungi Beijing 18 Mei,Pengawasan dan penjagaan Lapangan Tiananmen di pusat Beijing semakin meningkat  dua  pekan  menjelang peringatan  pecahnya  demonstrasi  pro-demokrasi  3-4  Juni  1989. Jumlah personel militer  Cina  tampak  lebih banyak  daripada biasanya hilir mudik di seputar Tiananmen (Pintu  Surga Perdamaian).   
Menurut  sebuah sumber, peningkatan kegiatan patroli  mulai  berlaku awal Mei ini. Mereka berkeliling Beijing naik mobil khusus.  Peningkatan penjagaan  keamanan  ini biasa berlangsung menjelang  awal  Juni  ketika pecah  bentrokan  antara mahasiswa dengan tentara. Sedikitnya  1.000  orang  tewas dalam insiden  yang  dimulai  dengan seruan mahasiswa untuk melaksanakan reformasi politik di samping ekonomi.Mahasiswa  dan  massa ini berdemonstrasi di  Lapangan  Tiananmen  bahkan mereka  membuat patung Dewi Demokrasi sebagai simbol gerakan  demokrasi. Gerakan  ini kemudian menyebar ke berbagai kota besar. Namun  pemerintah kemudian menumpas gerakan ini dengan mengerahkan militer yang dilengkapi puluhan tank.   
Gema  gerakan  pro-demokrasi ini masih terasa  saat  ini.  Menjelang peringatan  pecahnya  demonstrasi ini, pemerintah  menyiagakan  berbagai perangkat keamanan untuk mencegah munculnya demonstrasi sekecil  apa pun. Situasi  tampak seperti biasa saja, tetapi jika diamati  dengan  saksama memang terasa sekali penjagaannya diperketat. Namun demikian  masyarakat seolah-olah  tidak merasakan hal ini. Mereka tetap  tentang  mengunjungi Forbidden  City (Kota Terlarang) atau antre untuk melihat mouseleum  Mao Zedong.    Seperti  tahun sebelumnya, kestabilan dan keamanan Tiananmen  sering dijadikan  ukuran mengenai kemantapan politik Cina.  Tampaknya  lapangan yang  luasnya  40  hektar  di sebelah  selatan  Forbidden  City  menjadi perhatian  masyarakat internasional mengenai misteri yang terjadi  dalam persaingan politik Cina.   
Pengamatan penulis  di  Tiananmen  menunjukkan  walaupun  pengawasan ditingkatkan  baik  oleh  petugas berseragam  maupun  yang  berpura-pura sebagai  tukang sapu, tidak ada tanda-tanda akan muncul  demonstrasi  di atas  lapangan  yang  dibuat dari campuran  batu  berbentuk  segi  empat berukuran sekitar 40 cm.    Letak  Tiananmen memang strategis sekali. Di bagian  timur  terletak Istana  Kebudayaan  Rakyat  Pekerja,  Museum  Sejarah  Cina  dan  Museum Revolusi Cina. Di bagian barat terletak Balai Agung Rakyat (Great Hall of the  People)  yang  dibangun 1959 sebagai tempat  Kongres  Rakyat.    
Sumber: KOMPAS, 19-05-1995.

PEMBANGKANG DITANGKAP   

Pemerintah Cina menangkap tiga pembangkang menjelang peringatan enam   tahun  tragedi  berdarah  Lapangan   Tiananmen.   Penangkapan dilakukan untuk mencegah muncul kerusuhan lagi bulan depannya    
Menurut sejumlah sumber di Beijing seperti dikutip South  China Morning Post Mei 1995  di antara  yang  ditahan adalah salah seorang dari  45  penandatangan petisi  yang  berani ke Presiden Jiang Zemin.  Petisi  itu  menuntut pembebasan   semua   tahanan  politik  yang   terlibat   demonstrasi prodemorkasi di Tiananmen Juni 1989.    
Huang  Xiang (45) dan istrinya Zhang Ling diciduk polisi  Kamis pukul  04.30 dinihari dari rumahnya di sebelah timur  laut  Beijing. Setelah pencidukan itu, mereka tak tampak lagi di muka umum.  Huang, penyair   dan   veteran   gerakan   Tembok   Demokrasi   1979   ikut menandatangani petisi.     Petisi ini merupakan yang pertama kali sejak pecahnya kerusuhan tahun 1989. Di antara penandatangannya terdapat ilmuwan Wang Ganchang (88), Ketua Kehormatan Institut Riset Nuklir Cina.    
Setiap  tahun, menjelang peringatan insiden  Tiananmen,  polisi meningkatkan  penjagaann  di   Beijing.  Mereka  memperbaiki   kamera pengawas  di  Tiananmen. Tentara dan polisi  juga  dikerahkan  untuk menjaga  Tiananmen siang malam, yang selalu ramai terutama di  musim semi dan panas.    
Huang  sendiri  sudah pernah ditahan lima kali  sejak  puisinya yang  prodemokrasi  dibacakan dalam pawai gerakan  Tembok  Demokrasi tahun  1979. Namun gerakan itu ditumpas atas perintah Deng  Xiaoping (91) yang kini keadaannya sangat dirahasiakan.     
Menurut  sebuah sumber di Beijing, bahkan  para  pejabat  Cina sendiri  tidak semuanya mengetahui di mana Deng berada. Diduga  hanya pejabat  tingggi  setingkat  presiden dan  menteri  yang  mengetahui betul-betul bagaimana keadaan pemimpin senior itu.    
Pembangkang  lain yang lenyap adalah Wang Xizhe,  pendiri  grup kecil  Cina yang ikut dalam demonstrasi 1979. Dia pun diciduk  polisi Beijing hari Selasa lalu (16/5). Wang yang pernah ditahan di penjara Guangdong setelah menjalani 12 dari 14 tahun penjara. Ia  dikabarkan tidak kembali ke hotelnya Jumat malam.    
Sedangkan Liu Xiaobo yang dihukum karena aksi demonstrasi tahun 1989  juga diangkut polisi hari Rabu. Polisi  dikabarkan  mengatakan akan  membawa mereka untuk diinterogasi namun kemudian tidak  muncul sampai hari Sabtu. Liu  ikut  menandatangani  dua petisi  pada  bulan  Maret  yang ditujukan ke Kongres Rakyat Nasional.  
Sumber: KOMPAS,22-05-1995
 LAHIRKAN KELAS MENENGAH YANG KRITIS    

BEBERAPA pekan menjelang peringatan ke-6 pembantaian berdarah Lapangan Tiananmen tanggal 4 Juni 1989, tempat yang sehari-hari digunakan untuk berbagai upacara penting serta arena bermain keluarga dan remaja ini tampak sepertitegang. Sekilas memang kelihatan penduduk setempat tidakmempersoalkan apa yang terjadi enam tahun silam di tempat ini.    
Namun kehadiran tentara yang semakin banyak serta patroli seputar Beijing sejak awal Mei, menandakan antisipasi terhadap sesuatu yang tidak bisa diramalkan.    
Hampir setiap 10 meter ada tentara dengan seragam hijau dan peci bergaris merah berjalan-jalan memperhatikan pengunjung Lapangan Tiananmen. Bila ada yang mencurigakan mereka tampak mendekati dan bertanya. Bahkan tidak jarang memeriksa isi kantong orang yang dicurigai tersebut. Orang asing yang hilir mudik apalagi membawa kamera tidak luput dari pengamatan tentara.     “Jangan dikira pengawasan Tiananmen itu sebatas petugas berseragam. Jika Anda jeli mengawasi, petugas penyapu sampah pun diam-diam membawa radio penghubung. Bahkan orang tua yang duduk-duduk santai pun kadang-kadang membawa HT (handy-talkie),” ujar seorang staf perwakilan asing di Beijing.    
Suasana tegang memang mewarnai hari-hari menjelang peringatan ini. Mungkin saja terkesan terjadi perang urat saraf antara pendukung gerakan Tiananmen dengan pihak berwajib. Ketegangan ini tampak semakin memuncak menjelang tanggal 4 Juni.     
Petugas keamanan juga semakin banyak berkeliaran di seputar Lapangan Tiananmen. Tidak jarang pula di seluruh Beijing, di kampus-kampus Beijing, dan bahkan menyebar sampai ke berbagai kota pedalaman yang dianggap potensial mengundang aksi baru.    
Sejumlah tokoh yang dianggap menentang penguasa juga mendapat pengawasan ketat. Pengintaian tak hanya terjadi pada tokoh mahasiswa di rumahnya tetapi juga di setiap kegiatan yang diikutinya.    
Mantan Sekjen Partai Komunis Cina (PKC) Zhao Zhiyang yang dicopot seminggu setelah pembantaian di Lapangan Tiananmen,mendapat pengawalan sangat ketat. Demikian juga sejumlah tokoh saingan Presiden RRC yang juga menjabat sebagai Sekjen PKC Jiang Zemin yang dianggap pro-mahasiswa.                            
BAGI pendukung gerakan prodemokrasi, peringatan ini peluang menyampaikan pesan anti-kemapanan, anti-regim sekarang yang menguasai 1,1 milyar penduduk. Mereka juga  menggugat lagi keputusan pemerintah menahan aktivis politik yang terlibat pembantaian di Lapangan Tiananmen oleh Tentara Pembebasan Rakyat.    
Kehadiran pers asing dan perhatian dunia internasional pada momentum 4 Juni sangat ditunggu-tunggu pendukung gerakan prodemokrasi. Mereka berusaha menggunakan pers asing untuk menyampaikan misinya, sesuatu hal yang tidak mungkin jika disalurkan lewat media massa Cina.     
Berbagai petisi dan ungkapan bernada protes bermunculan pada bulan Mei. Salah satu yang menonjol adalah keterlibatan perintis bom atom di Cina, Wang Ganchang (88).    
Dalam petisi yang ditandatangani sejumlah tokoh intelektual terhormat, mereka meminta pemerintah mengkaji ulang penahanan aktivis Tiananmen. Mereka juga menuntut pembebasan mereka. Kalangan intelektual ini menganggap orang tak harus ditahan karena pemikirannya yang bertentangan dengan penguasa.    
Rangkaian  protes  di  dalam  negeri  yang  dialamatkan  kepada Presiden  Jiang  Zemin dan Kongres Rakyat Nasional  (parlemen  Cina) mencerminkan betapa ingatan terhadap tragedi Tiananmen, khususnya di kalangan mahasiswa dan intelektual, tak pernah padam.     
Peringatan Tiananmen ke-6 ini mendapat perhatian serius karena bersamaan dengan masa transisi kekuasaan. Jiang Zemin meskipun sudah dinobatkan sebagai pengganti Deng Xiaoping (91) yang saat ini tak diketahui keberadaannya, posisinya di mata para pengamat Cina masih belum mapan. Kalangan militer ataupun tokoh tua PKC serta mereka yang masih loyal kepada Deng, menganggap transisi ini belum selesai.
SECARA sadar Cina melangkah ke arah pembaruan ekonomi yang tidak terbayangkan 10 tahun lalu. Kemakmuran di mana-mana.Kemiskinan juga masih tetap merajalela. Namun karena jumlah penduduknya yang terbesar di dunia, kenaikan kelas menengah versi Cina akan banyak mempengaruhi pola perilaku politik. Kemapanan ekonomi lambat laun akan mengubah pola pikir mereka baik terhadap perkembangan ekonomi maupun politik.    
PM Singapura Goh Chok Tong dalam seminar tentang Cina di Beijing Mei 1995, melukiskan adanya kelas menengah Cina yang semakin besar porsinya. Mengutip studi yang dilakukan biro konsultan manajemen McKinsey di Hongkong, Goh menjelaskan di Cina saat ini ada100 juta orang yang berpenghasilan lebih dari 1.000 dollar AS per tahun. Pada tahun 2000 nanti jumlah itu akan mencapai 270 juta orang, lebih besar dari penduduk AS saat ini.    
Bila diterjemahkan ke dalam proses demokratisasi yang diinginkan pendukung gerakan Tiananmen, semakin besar porsi penduduk yang mapan secara ekonomi akan semakin menghargai kebebasan berpendapat serta kebebasan mengajukan kritik terutama ke penguasa.    
Ini berarti, dalam waktu dekat akan terjadi proses perubahan yang lebih mendukung aspirasi demokratisasi di Cina, apalagi ditambah pintu informasi yang semakin terbuka lebar.     Tahun 1995 terdapat kesan keran ekonomi dibuka lebar. Investasi asing mengalir deras. Pertumbuhan ekonomi rata-rata 11 persen, bahkan di sejumlah zona bebas angka itu lebih tinggi lagi.    
Posisi Cina dalam perdagangan internasional juga semakin naik di mana tahun 1994 sudah menduduki peringkat ke-11 dunia. Pada tahun 2000 nanti akan menjadi nomor enam dunia.     Namun di sisi lain keran politik ditutup rapat-rapat, yang sangat bertentangan dengan laju ekonomi. Inilah tampaknya yang akan menjadi pemicu krisis politik berkepanjangan.    
Tak mengherankan bila ada pendapat seperti diungkapkan Wakil PM Thailand, Supachai Panitchpakdi, jika laju ekonomi yang tinggi tak diimbangi perbaikan sosial politik, akan terjadilah konflik.     
Asumsinya, semakin tebal lapisan kelas menengah Cina,  aspirasi politiknya  kian  banyak menuntut perhatian.  Ini  berarti  penguasa politik  mendatang di Cina, tak hanya bisa semata-mata  mengandalkan mesin propaganda untuk melanggengkan kekuasaannya. 
Sumber: KOMPAS, 04-06-1995.
Strategi Politik Luar Negeri China dan Perkembangannya
Analisa Mengenai Transformasi Politik Luar Negeri China dan Penerapan Politik Luar Negeri China dalam ASEAN+3
Menyoroti perkembangan politik luar negeri China memang merupakan hal yang menarik, apalagi mengingat China kini sedang menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat besar. Tidak hanya mencapai pertumbuhan ekonomi yang masif, pengaruh politik China dalam berbagai bentuk institusi internasional pun mulai meningkat. Berbagai perkembangan tersebut menjadikan China sebagai kekuatan yang hadir sebagai lawan utama hegemon dunia, Amerika Serikat. Padahal jika mau dirunut lebih lanjut, China merupakan pemain yang terbilang baru dalam dunia internasional, terutama jika dibandingkan dengan AS yang memang telah menjadi hegemon dunia sejak masa Perang Dunia II. Di saat AS sedang jaya-jayanya di dunia internasional, China justru masih menerapkan sistem politik dan perekonomian yang cenderung tertutup. Pada masa kepemimpinan Mao Zhidong, yaitu sekitar taun 1949-1976, politik luar negeri China masih diarahkan sepenuhnya untuk mengembalikan kekuatan China melalui pendekatan hubungan China dengan negara-negara sosialis lain untuk melawan AS kala itu. China pada masa dominasi Mao sangat curiga dengan kekuatan imperialis, sehingga politik luar negeri China kala itu selalu diarahkan untuk melawan AS. China bahkan pernah menerapkan politik isolasionisme pada masa dominasi Mao ini.
Transformasi China menjadi salah satu negara yang mulai mendapat sorotan dalam sistem internasional terjadi pada masa kepemimpinan Deng Xiaoping (tahun 1979-1989), di mana ketika itu China mulai mengadopsi kebijakan yang pragmatis dengan menjadikan ekonomi domestik sebagai fokus utama politik luar negerinya. China mulai menerapkan "Open Door Policy". Jika sebelumnya China selalu menjadi kekuatan triangular dalam hubungan AS dengan Soviet, pada masa kini China mulai melancarkan politik luar negerinya yang independen. Berbagai perubahan total dilakukan pada masa ini, baik perubahan yang sifatnya domestik maupun perubahan dengan melibatkan sistem internasional. Pada sisi domestik, peningkatan pertumbuhan ekonomi domestik menjadi fokus utama politik luar negeri China kala ini. Pada sisi internasional, China mulai menjalin hubungan baik dengan dunia internasional, terutama dengan
negara-negara di Asia Tenggara untuk menjamin terciptanya lingkungan yang indusif bagi pertumbuhan ekonomi China. Transformasi China dari yang tadinya sempat menerapkan praktek isolasionisme menjadi memfokuskan politik luar negerinya untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi sukses melahirkan China yang baru. China pun mulai mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang masif. Keberadaan China sebagai salah satu "great power" mulai diperhitungkan. Selepas masa kepemimpinan Deng Xiaoping, China kemudian dipimpin oleh Jiang Zemin (tahun 1989-2002), di mana pada masa ini tidak terlalu nampak perubahan yang signifikan dalam alur politik luar negeri China. China masih tetap fokus pada pertumbuhan ekonomi, sambil terus aktif dalam berbagai institusi internasional. Pada era ini, terjadi penafsiran sosialisme menjadi seusatu yang lebih liberal, di mana fokus politik luar negeri China diarahkan pada penciptaan tatanan internasional yang multipolar. Perekonomian China pun, seperti pada era Deng Xiaoping, lebih bersifat liberal dengan AS sebagai porosnya. Revolusi yang dilakukan China paska Mao melahirkan kesadaran pada China akan pentingnya elemen pasar, namun kewenangan negara tetaplah unsur yang krusial dalam politik luar negeri China.
Era selanjutnya setelah kepemimpinan Jiang Zemin adalah era kepemimpinan Hu Jintao (tahun 2002-sekarang). Pada era ini, China sudah menjadi major power, terutama dalam hal perekonomian. Pertumbuhan ekonomi terjadi sangat pesat. China pun semakin gencar mempromosikan globalisasi ekonomi dan multipolarisme. Pada era ini, arah politik luar negeri China pun semakin jelas: China ingin menciptakan situasi internasional yang kondusif bagi pertumbuhan ekonominya dengan cara menghindari konfrontasi yang ada. Partisipasi aktif China dalam institusi internasional pun makin terasa, terutama melalui kebergabungan China dalam World Trade Organization (WTO) pada 2001. Tidak hanya aktif secara global, China pun mulai aktif dan membangun berbagai kerja sama kawasan, salah satunya adalah melalui kerja sama ekonomi China, Jepang dan Korea Selatan dengan negara-negara ASEAN melalui ASEAN+3. Walaupun China semakin aktif dalam berbagai bentuk kerja sama kawasan dan internasional, bukan berarti China banyak memberikan komitmen yang bersifat mengikat pada institusi-institusi ini. Jika mau dicermati lebih lanjut, dalam segala bentuk partisipasinya melalui institusi regional dan global, China jarang sekali memberikan komitmen yang dapat mengikat kebebasan China sebagai negara yang non-konfrontatif. China cenderung mengambil posisi aman sambil tetap memfokuskan diri pada usaha pembangunan ekonomi nasionalnya.
Berbagai penjelasan mengenai transformasi politik luar negeri China sejak jaman kepemimpinan Mao hingga masa kepemimpinan Hu Jintao membuktikan, telah terjadi perubahan signifikan dalam orientasi politik luar negeri China. China kini lebih melihat pencapaian pertumbuhan ekonomi domestik sebagai
tujuan utama politik luar negeri yang diterapkannya. Adapun untuk mencapai pertumbuhan ekonominya, China terus membangun hubungan baik dengan negara-negara dunia; China juga cenderung menghindari konflik dengan negara-negara dunia, dan karenanya permasalahan keamanan merupakan hal yang agak sensitif bagi China. China lebih suka menyembunyikan cahayanya dengan menjalankan prinsip-prinsip non-intervensi dan non-konfrontasi. Prinsip non-intervensi dan non-konfrontasi China ini diwujudkan melalui terminologi "peaceful rise", yang kemudian dijadikan salah satu bentuk politik luar negeri China.1 Bentuk politik luar negeri China dengan mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan cenderung menghindari konfrontasi tersebut menunjukkan upaya China dalam meraih dua hal sekaligus, yaitu pemenuhan kepentingan nasional melalui pertumbuhan ekonomi domestiknya, serta penciptaan status sebagai "great power" yang cinta damai dan tidak hegemon di sistem internasional.
Dalam penjelasan sebelumnya, penulis menyebutkan mengenai keaktifan China dalam menjalin kerja sama kawasan terutama dengan negara-negara ASEAN dalam bentuk ASEAN+3. Adapun hal ini sebenarnya merupakan hal yang menarik untuk dianalisa, karena dibanding memilih untuk menjalin kerja sama kawasan di kawasan Asia Timur (Northeast Asia) terlebih dahulu, China malah cenderung lebih memprioritaskan kerja samanya dengan ASEAN. Jika mau ditilik lebih lanjut, hingga kini belum pernah ada bentuk kerja sama yang benar-benar hanya melibatkan tiga negara di kawasan Asia Timur, yaitu China, Jepang dan Korea Selatan padahal ketiga negara tersebut sama-sama merupakan negara dengan angka pertumbuhan ekonomi yang relatif besar jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. ASEAN+3 sendiri merupakan bentuk kerja sama ekonomi pertama yang berhasil mempertemukan tiga negara Asia Timur tersebut dalam suatu forum. Sehubungan dengan analisa politik luar negeri China, China tampak lebih bersahabat dengan negara-negara ASEAN ketimbang dengan Jepang dan Korea Selatan yang lebih banyak memiliki kesamaan perekonomian.
Sikap dan perilaku politik luar negeri China yang cenderung distant dengan Jepang dan Korea Selatan sebenarnya merupakan hal yang wajar, mengingat hubungan antar ketiganya memang tidak pernah akur sebelumnya. Berbagai perbedaan muncul dan menghambat terciptanya hubungan harmonis dalam kawasan ini, seperti misalnya faktor latar belakang sejarah yang berbeda, ikatan regional yang kurang kuat, ketakutan akan hadirnya ancaman, serta berbagai perbedaan sistem politik yang ada. Dari sekian banyak faktor yang menghambat terciptanya kerja sama di kawasan Asia Timur, faktor yang disebut-sebut paling berpengaruh adalah adanya bad historical background yang lantas membuat hubungan dua kekuatan besar di Asia TimurJepang dan China—menjadi tidak akur. Hubungan tidak akur Jepang-China ini sebenarnya
dimulai pada masa Perang Dunia II, ketika tentara Jepang dengan brutal menyerang dan menghabisi rakyat China. Ketika itu, Kaisar Hirohito memerintahkan pasukan Jepang untuk menyerang dan menduduki China. Bangsa Jepang pun ketika itu menyebut China sebagai "Chancorro" (artinya ras yang lebih rendah dari manusia). Karena pasukan Jepang menganggap rakyat China adalah makhluk yang lebih rendah dari manusia, pasukan Jepang menjadi lebih tega dalam menyiksa rakyat China. Penjarahan, perkosaan, pembunuhan, dan berbagai tindak kejahatan lain terjadi di seluruh pelosok China. Semua tindakan itu mempunyai tujuan yang sama : mendirikan Kekaisaran Jepang di China.2
Faktor penghambat lain yang juga mempersulit terbentuknya regionalisme di Asia Timur adalah karena kurangnya kemauan dari negara-negara Asia Timur itu sendiri untuk melakukan negosiasi dan kerja sama di antara mereka3. Hal ini terbukti dari sedikitnya kerja sama yang dihasilkan antar negara-negara Asia Timur tersebut tanpa bantuan organisasi kawasan lain. Jika ada pun, perjanjian kerja sama tersebut seringkali terhenti karena kurang digarap dengan baik. Sebagai contoh, perjanjian kerja sama antara Jepang dan Korea Selatan yang dimulai dengan adanya kunjungan Presiden Korea Kim Dae Jung ke Tokyo pada Oktober 19984. Kunjungan ini sebenarnya merupakan langkah yang baik, akan tetapi kunjungan ini tidak lantas disikapi dengan baikbaik oleh Pemerintah Jepang maupun oleh Pemerintah Korea Selatansehingga negosiasi antara Jepang dan Korea Selatan pun terhenti. China dan Jepang bahkan belum pernah mengadakan suatu perjanjian kerja sama sendiri. Hal tersebut dikarenakan kurangnya kemauan dari ketiga negara Asia Timur tersebut untuk bekerja sama satu sama lain.
Adapun kemudian berbagai faktor penghambat tersebut seakan berhasil dijembatani ketika China, Jepang dan Korea Selatan lantas memutuskan untuk bergabung dalam suatu bentuk kerja sama regional, yaitu dalam bentuk ASEAN+3. Ketika itu, baik China, Jepang maupun Korea Selatan bersedia melupakan permusuhannya satu dengan yang lain, untuk bersama-sama mengatasi dampak dari Krisis Asia yang memporak-porandakan wilayah tersebut. Adapun kerjasama antara negara-negara ASEAN dengan Jepang, China, dan Korea Selatan itu sebenarnya telah dimulai sejak 1997 silam, ketika diadakan pertemuan antara 10 pemimpin ASEAN dengan 3 pemimpin negara tersebut. Pertemuan tahun 1997 itu kemudian mendasari pertemuan-pertemuan lain yang diselenggarakan oleh 10 negara ASEAN dan 3 negara Asia Timur itu. ASEAN+3 sendiri terbentuk sebagai jawaban terhadap krisis Asia yang terjadi pada tahun 1997. Krisis keuangan yang kala itu terjadi di Asia menyadarkan negara-negara Asia Timur bahwa mereka memerlukan suatu pengaturan yang baik dalam hal perdagangan dan keuangan internasional agar jika terjadi krisis serupa
negara Asia Timur tidak kembali terpuruk. Karena itu tujuan utama dari dibentuknya ASEAN+3 adalah untuk membangun mekanisme pengaturan sistem makroekonomi dan kerja sama keuangan yang lebih baik agar krisis serupa dapat dicegah di masa depan.
Meluasnya dampak negatif dari Krisis Asia ke seluruh negara Asia Timur menyadarkan pemimpin Jepang, China, dan Korea Selatan bahwa sebenarnya negara-negara Asia Timur mempunyai saling ketergantungan satu sama lain. Interdependensi antar negara Asia Timur itu kemudian menuntut adanya suatu bentuk kerja sama regional yang menyatukan mereka, bersama dengan wilayah Asia Tenggara yang ketika itu juga mengalami kehancuran finansial akibat Krisis Asia tahun 1997-1998. Sehubungan dengan hal ini, Stuart Harris mengatakan bahwa Krisis Asia menyadarkan negara-negara Asia Timur bahwa mereka tidak bisa sepenuhnya bergantung pada organisasi yang telah ada, negara Asia Timur harus membentuk organisasi baru untuk mencegah agar krisis serupa tidak terjadi lagi5.
Krisis Asia yang terjadi kala itu juga menurunkan image Amerika Serikat sebagai negara penjamin keuangan internasional, karena ternyata IMF sebagai organisasi yang didominasi Amerika Serikat, tidak mampu menangani Krisis Asia, dan malah justru memperparah kondisi keuangan Asia Timur kala itu. Anggapan bahwa Amerika Serikat dan berbagai lembaga internasional yang ada kini tidak dapat lagi melindungi keuangan internasional melahirkan keinginan dari negara-negara non-Barat, salah satunya adalah Asia Timur, untuk melindungi sendiri kepentingan negaranya. Negara-negara Asia Timur pun lantas mulai membangun cadangan devisanya, dan mulai membangun kerja sama regional dengan ASEAN untuk melahirkan suatu nilai tukar baru agar krisis keuangan serupa tidak terjadi lagi6. Negara-negara ASEAN+3 juga sepakat untuk membentuk sebuah Asian Monetary Fund, sebuah lembaga untuk mengatur dan mengawasi kondisi keuangan Asia karana IMF dirasa tidak lagi sesuai paska Krisis Asia7. Kerja sama dalam bidang keuangan ini disebut-sebut sebagai kemajuan terbesar dari terbentuknya ASEAN+38, yang lantas mendorong terbentuknya kerja sama dalam berbagai bidang lain dalam kerangka ASEAN+3.
Beberapa akademisi Asia Pasifik, seperti Drysdale, Elek, dan Soesastro mengatakan kerja sama antar negara-negara ASEAN dengan tiga negara Asia Timur dilaksanakan dengan berdasar pada tiga prinsip utama, yaitu keterbukaan, persamaan, dan pembangunan 9 . Prinsip keterbukaan menuntut adanya transparansi dan non-diskriminasi pada berbagai kebijakan ekonomi dan perdagangan antar negara-negara
ASEAN+3. Prisip persamaan mengandung arti bahwa segala aktivitas harus dilakukan demi keuntungan bersama/mutual benefit bagi seluruh negara-negara ASEAN+3, dengan mempertimbangkan struktur ekonomi dan politik masing-masing negara. Sementara pada prinsip pembangunan, negara-negara ASEAN+3 akan bersama-sama melaksanakan pembangunan secara gradual menuju terciptanya kerja sama ekonomi dengan berdasar pada voluntary participation dan consensus building110 Kerja sama dalam ASEAN+3 ini melibatkan pertukaran informasi, dialog kebijakan, pengaturan likuiditas regional seperti yang dihasilkan dari Chiang Mai Initiative, serta proses pembuatan keputusan bersama untuk beberapa area tertentu seperti dalam koordinasi nilai tukar uang.11
Dari penjelasan mengenai partisipasi China dalam ASEAN+3 tersebut, dapat dilihat bahwa partisipasi China di kawasan Asia Tenggara merupakan partisipasi yang cenderung bersifat akomodatif demi mencapai bentuk kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan. Di sini, baik ASEAN maupun China, Jepang dan Korea Selatan masing-masing memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menciptakan kawasan Asia Timur+Tenggara yang lebih siap dan stabil dalam menghadapi kemungkinan krisis di masa depan. Adanya kepentingan yang sama membuat China mengesampingkan perbedaan dan hubungan kurang akurnya dengan Jepang dan Korea Selatan untuk kemudian duduk bersama dalam wadah ASEAN+3. Di sisi lain, partisipasi China di kawasan Asia Timur, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, memang cenderung kurang akomodatif karena masih diwarnai oleh adanya bad historical background antar ketiganya. Hal tersebut terbukti dari tidak adanya bentuk kerja sama regional yang benar-benar hanya melibatkan China, Jepang dan Korea Selatan.
Adapun implikasi dari bentuk kerja sama ASEAN+3 yang dijalin China dengan Jepang, Korea Selatan dan negara-negara ASEAN mendatangkan keuntungan baik bagi China maupun bagi ASEAN. Bagi China sendiri, adanya kerja sama ASEAN+3 semakin mempererat hubungannya dengan negara-negara ASEAN, sekaligus merupakan batu loncatan dalam menggagas kerja sama lebih spesifik dengan ASEAN, misalnya melalui ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang baru berlaku pada 1 Januari 2010 kemarin. Sebelum adanya kerja sama ekonomi dengan China, ASEAN cenderung melihat China sebagai aggresive hegemon, akan tetapi setelah berbagai kerja sama ekonomi ASEAN-China terjalin, salah satunya melalui ASEAN+3, kehadiran China mulai dilihat sebagai good neighbour. Hal ini tentu saja memberikan keuntungan bagi China berupa terciptanya lingkungan yang kondusif bagi perkembangan China secara regional, juga memberikan berbagai keuntungan ekonomi seperti misalnya perluasan pasar bagi
produk-produk China, peningkatan arus investasi ke China, dan berbagai keuntungan ekonomi lainnya. Di sisi lain, negara-negara ASEAN+2 (Jepang dan Korea Selatan) juga tentunya menikmati keuntungan yang tidak sedikit. Keuntungan yang didapat oleh negara-negara ASEAN+2, selain berupa stabilitas ekonomi yang dihasilkan melalui mekanisme koordinasi nilai tukar uang, juga berupa perluasan pasar bagi ekspor produk-produk negara ASEAN+2, mengingat China merupakan negara yang berpenduduk terbesar di dunia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ASEAN+3 pada akhirnya akan melahirkan suatu bentuk kerja sama yang bersifat mutual benefit bagi seluruh negara anggotanya, sekaligus mengubah status quo China di kawasan Asia Timur+Tenggara, yaitu dari negara yang dikhawatirkan bersifat sebagai aggresive hegemon menjadi sebuah good neighbour. ASEAN+3 juga, penulis rasa, merupakan bentuk kerja sama ekonomi regional yang turut membantu pencitraan "peaceful rise" sebagai bentuk politik luar negeri China.
Dari berbagai penjelasan mengenai transformasi politik luar negeri China sejak era Mao sampai era Hu Jintao sekarang, serta dari penjelasan mengenai bentuk politik luar negeri China di kawasan Asia Tenggara+Jepang dan Korea Selatan dalam bentuk ASEAN+3, penulis menemukan bahwa terdapat kompleksitas dalam memahami strategi politik luar negeri China. Adapun, strategi politik luar negeri China hanya dapat dipahami bila kita menggunakan dua macam perspektif sekaligus, yaitu perspektif generalis (pendekatan studi HI) dan perspektif spesialis (sinology), di mana penggunaan kedua perspektif tersebut tidak dapat dipisah dan bersifat saling melengkapi dalam menganalisa politik luar negeri China. Transformasi politik luar negeri China sejak era Mao hingga era Hu Jintao, misalnya, tidak mungkin dapat dianalisa tanpa melihat dinamika internal China seperti misalnya pergantian kepemimpinan yang menyebabkan adanya pergantian target/sasaran dalam politik luar negeri China, serta kondisi perekonomian dalam negeri China seperti besarnya disparitas kaya-miskin yang memaksa China untuk memfokuskan politik luar negerinya pada usaha peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Di sisi lain, penting juga untuk menganalisa transformasi politik luar negeri China dari kacamata seorang generalis, yaitu bahwa transformasi tersebut terjadi karena adanya pergantian sistem internasional. Pergantian sistem internasional yang terjadi, misalnya, berupa hancurnya Soviet yang lantas menjadikan AS sebagai satu-satunya hegemon dunia, ataupun berupa berkurangnya peran negara dalam dominasi studi Hubungan Internasional. Bentuk kerja sama China dalam ASEAN+3 juga hanya dapat dianalisa jika kita menggunakan kedua perspektif tersebut. Orientasi China untuk lebih mengutamakan kerja sama dengan ASEAN ketimbang dengan Jepang dan Korea Selatan, misalnya, dapat dijelaskan lewat kacamata seorang spesialis yaitu dari hubungan sejarah yang buruk antara China dengan Jepang dan Korea Selatan yang lantas menyebabkan hubungan antar ketiganya lebih bersifat distant. Sementara melalui kacamata seorang generalis, kita dapat melihat bahwa
kerja sama ASEAN+3 tersebut terjalin sebagai respon dari Krisis Asia yang melanda kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur pada 1997-1998, yang melahirkan sebuah urgensi akan pentingnya sebuah kerja sama kawasan terutama untuk mencegah agar krisis serupa di masa depan tidak akan menghancurkan kawasan ini lagi. Tuntutan dari sistem internasional yang seakan lebih memihak Barat mendorong China dan negara-negara ASEAN+3 lain untuk membentuk kerja sama ekonomi di kawasan Asia Timur tersebut. Sehingga kesimpulannya, pemahaman akan kompleksitas politik luar negeri China hanya dapat dilakukan dengan menggabungkan analisa komprehensif dari perspektif generalis dan kedalaman dari perspektif seorang sinolog. Keberagaman isu yang ada di China serta dinamika politik-ekonomi domestik di dalamnya, menjadikan strategi politik luar negeri China hanya dapat dipahami dengan menggabungkan perspektif yang bersifat generalis dan spesialis.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar