Kata Pengantar
Menulis tentang Cina bukanlah hal mudah. Banyak buku sudah
dihasilkan tentang Cina modern. Namun penulisan yang hanya mendandalkan
pengataman dari jauh atau studi literatur, tentu berbeda dengan penulisan yang
melihat langsung obyeknya. Di sinilah penulis mungkin bisa menambahkan nuansa
dalam menulis tentang Cina modern, khususnya pasca kejayaan Deng Xiaoping dan
menguatkan pengaruh Deng Xiaoping.Dua kali mengunjungi Cina dan dua kali
melihat dari dekat Hongkong, termasuk penyerahan kedaulatan ke Inggris Juni
1997, tentu bukan pengalaman yang cukup, bahkan jauh dari cukup untuk
memberanikan menulis tentang Cina yang diramalkan jadi negara adidaya abad
ke-21.
Tulisan ini akan berusaha menangkap unsur-unsur penting dalam
perjalanan Cina berdasarkan pada even-even penting dan lembaga-lembaga penting
di Cina. Dengan demikian temanya lebih beraneka ragam dan sedikit menonjolkan
aspek daya tarik terhadap salah satu sudut pandang. Tema-tema itu diambil
terutama dari ketika penulis menguraikan perkembangan sebuah peristiwa di Cina.
Penulisan yang dilakukan bersamaan dengan rekan lain di Kompas, ditulis ulang
dengan sudut pandang sepenuhnya dari penulis. Sentuhan
penulis dengan peristiwa di Cina dimulai dengan tragedi Tiananmen. Saat itu
penulis baru saja bergabung dengan Kompas sehingga masih disebut sebagai
pengamat amatiran dalam mengikuti sebuah peristiwa besar, Tragedi Tiananmen 4
Juni 1989. Salah satu aspek yang ditulis adalah siapakah Tentara Pembebasan
Rakyat (TPR) yang berhadapan dengan para mahasiswa pro demokrasi. Setelah
melihat Tiananmen, termasuk di dalamnya aspek perkembangan TPR, penulis
kemudian menoleh kepada aspek kepemimpinan Cina. Siapa pemimpin Cina yang
melakukan langkah tegas itu.Di sini kepemimpinan Deng Xiaoping akan disorot,
beserta pemikirannya. Kemudian barulah akan menengok Jiang Zemin, pemimpin baru
Cina dalam memasuki abad ke-21.
Para pemimpin besar itulah yang membawa Cina kedalam ekonomi
yang berkembang di penghujung abad ke-20. Ekonomi akan jadi sorotan dalam bab
selanjutnya. Pengamatan langsung di lapangan mungkin bisa menambah suasana
tentang bagaimana ekonomi itu berjalan baik teori maupun praktek. Di sini akan
disajikan fokus pertumbuhan Cina di Shanghai termasuk kawasan Pudong yang terkenal
itu.
Ekonomi Cina bertambah meyakinkan setelah Hongkong, si anak
hilang, kembali ke pangkuan ibunya Juni 1997. Bagaikan bebek bertelur emas,
Hongkong telah menjadi pintu gerbang Cina ke luar dan sebaliknya ketika negeri
itu masih membangun ekonominya yang bercorak pasar.
Tidak lupa diplomasi dan perilaku Cina di kawasan Asia ,
termasuk dalam soal Laut Cina selatan, yang melibatkan enam negara yang
bersengketa. Amerika Serikat kemudian melakukan kemitraan strategis setelah
menyaksikan pertumbuhan ekonomi spektakuler selama satu
dekade. Sebagai penutup, penulis ingin memberikan
sejumlah ulasan tentang bagaimana Cina dalam waktu dekat, baik yang pro dan
kontra. Di atas segalanya, memang tidak bisa dilupakan begitu saja kehadiran
1,2 milyar jiwa yang ada di Asia dan Dunia.
BAB I
Tragedi Tiananmen
Tragedi Tiananmen telah melahirkan luka yang dalam
perjalanan Cina modern. Tidak hanya masyarakat Cina yang merasa insiden itu
merupakan lembaran hitam yang memakan korban para mahasiwa, masyarakat dan
politisi pro demokrasi, tetapi juga mendapat reaksi keras dari dunia
internasional. Setelah kejadian itu, Cina seperti diisolasi
dunia.
Rencana pembangunan
ekonominya yang menganut pasar mengalami batu sandungan. Sejak 1978, Cina sudah
melancarkan apa yang disebut sebagai empat modernisasi.
Salah satu pemicu peristiwa itu adalah saat keterbukaan ekonomi Dikembangkan
sehingga melahirkan sentuhan modal, informasi dan teknologi dengan Barat,
format politiknya tidak mengalami penyesuaian.Akibatnya, kelas terdidik seperti
para mahasiswa dan dosennya terobsesi dengan kebebasan di luar negeri dengan
bukti-bukti kemajuan ekonominya.Singkat kata, kemajuan peradaban Barat lahir
karena kebebasan politik yang dilaksanakannya.
Paham ini makin merebak di kalangan mahasiswa dan intelektual
karena terjadi diskusi intensif diantara mereka. Gelombang informasi dari luar
yang menyerbu masuk ke Cina akhirnya mengubah obsesi kebebasan itu menjadi
sebuah gerakan pro demokrasi.
Puncak aksi demokrasi itu berlangsung di Lapangan Tiananmen,
Beijing, yang jadi simbol kebesaran Cina saat ini. Di seputar tempat inilah
terdapat gedung-gedung penting pilar kenegaraan Cina.Setelah beberapa hari
pidato, aksi unjuk rasa dan perhatian para wartawan asing ke Tiananmen, pihak
penguasa Cina mengambil keputusan yang tak dapat diduga sebelumnya: Hancurkan
gerakan pro demokrasi mahasiswa.
Sejak kebijakan itu dikeluarkan, maka periode
kelam gerakan prodemokrasi sudah diambang pintu. Bermula dari pembubaran secara
kekerasan aksi pro demokrasi di Tiananmen yang memakan korban jiwa sangat
besar, maka pemerintah terus mengadakan perburuan terhadap kaum intelektual
yang mbalelo terhadap ajaran komunis. Muncullah tokoh-tokoh pembangkan yang
dicari dan kemudian melarikan diri ke Barat. Marak pula gerakan pro demokrasi
bawah tanah yang melahirkan kepahlawanan besar di kalangan intelektual.
Melihat Tiananmen dari dekat
Tahun 1995 ketika penulis mengunjungi Beijing 18 Mei,Pengawasan
dan penjagaan Lapangan Tiananmen di pusat Beijing semakin meningkat
dua pekan menjelang peringatan pecahnya
demonstrasi pro-demokrasi 3-4 Juni 1989. Jumlah
personel militer Cina tampak lebih banyak daripada
biasanya hilir mudik di seputar Tiananmen (Pintu Surga
Perdamaian).
Menurut sebuah sumber, peningkatan kegiatan patroli
mulai berlaku awal Mei ini. Mereka berkeliling Beijing naik mobil
khusus. Peningkatan penjagaan keamanan ini biasa berlangsung
menjelang awal Juni ketika pecah bentrokan antara
mahasiswa dengan tentara. Sedikitnya 1.000 orang tewas dalam
insiden yang dimulai dengan seruan mahasiswa untuk
melaksanakan reformasi politik di samping ekonomi.Mahasiswa dan
massa ini berdemonstrasi di Lapangan Tiananmen bahkan
mereka membuat patung Dewi Demokrasi sebagai simbol gerakan
demokrasi. Gerakan ini kemudian menyebar ke berbagai kota besar.
Namun pemerintah kemudian menumpas gerakan ini dengan mengerahkan militer
yang dilengkapi puluhan tank.
Gema gerakan pro-demokrasi ini masih terasa
saat ini. Menjelang peringatan pecahnya demonstrasi
ini, pemerintah menyiagakan berbagai perangkat keamanan untuk
mencegah munculnya demonstrasi sekecil apa pun. Situasi tampak
seperti biasa saja, tetapi jika diamati dengan saksama memang
terasa sekali penjagaannya diperketat. Namun demikian masyarakat
seolah-olah tidak merasakan hal ini. Mereka tetap tentang
mengunjungi Forbidden City (Kota Terlarang) atau antre untuk melihat
mouseleum Mao Zedong. Seperti tahun sebelumnya,
kestabilan dan keamanan Tiananmen sering dijadikan ukuran mengenai
kemantapan politik Cina. Tampaknya lapangan yang
luasnya 40 hektar di sebelah selatan
Forbidden City menjadi perhatian masyarakat internasional
mengenai misteri yang terjadi dalam persaingan politik
Cina.
Pengamatan penulis di Tiananmen
menunjukkan walaupun pengawasan ditingkatkan baik
oleh petugas berseragam maupun yang berpura-pura
sebagai tukang sapu, tidak ada tanda-tanda akan muncul
demonstrasi di atas lapangan yang dibuat dari
campuran batu berbentuk segi empat berukuran sekitar 40
cm. Letak Tiananmen memang strategis sekali. Di
bagian timur terletak Istana Kebudayaan Rakyat
Pekerja, Museum Sejarah Cina dan Museum Revolusi
Cina. Di bagian barat terletak Balai Agung Rakyat (Great Hall of the
People) yang dibangun 1959 sebagai tempat Kongres
Rakyat.
Sumber: KOMPAS, 19-05-1995.
PEMBANGKANG DITANGKAP
Pemerintah Cina menangkap tiga pembangkang menjelang peringatan
enam tahun tragedi berdarah Lapangan
Tiananmen. Penangkapan dilakukan untuk mencegah muncul kerusuhan
lagi bulan depannya
Menurut sejumlah sumber di Beijing seperti dikutip South
China Morning Post Mei 1995 di antara yang ditahan adalah
salah seorang dari 45 penandatangan petisi yang berani
ke Presiden Jiang Zemin. Petisi itu menuntut
pembebasan semua tahanan politik
yang terlibat demonstrasi prodemorkasi di Tiananmen
Juni 1989.
Huang Xiang (45) dan istrinya Zhang Ling diciduk
polisi Kamis pukul 04.30 dinihari dari rumahnya di sebelah
timur laut Beijing. Setelah pencidukan itu, mereka tak tampak lagi
di muka umum. Huang, penyair dan
veteran gerakan Tembok Demokrasi
1979 ikut menandatangani petisi. Petisi ini
merupakan yang pertama kali sejak pecahnya kerusuhan tahun 1989. Di antara
penandatangannya terdapat ilmuwan Wang Ganchang (88), Ketua Kehormatan Institut
Riset Nuklir Cina.
Setiap tahun, menjelang peringatan insiden
Tiananmen, polisi meningkatkan penjagaann di Beijing.
Mereka memperbaiki kamera pengawas di Tiananmen.
Tentara dan polisi juga dikerahkan untuk menjaga
Tiananmen siang malam, yang selalu ramai terutama di musim semi dan
panas.
Huang sendiri sudah pernah ditahan lima kali
sejak puisinya yang prodemokrasi dibacakan dalam pawai
gerakan Tembok Demokrasi tahun 1979. Namun gerakan itu
ditumpas atas perintah Deng Xiaoping (91) yang kini keadaannya sangat
dirahasiakan.
Menurut sebuah sumber di Beijing, bahkan para
pejabat Cina sendiri tidak semuanya mengetahui di mana Deng berada.
Diduga hanya pejabat tingggi setingkat presiden
dan menteri yang mengetahui betul-betul bagaimana keadaan
pemimpin senior itu.
Pembangkang lain yang lenyap adalah Wang Xizhe,
pendiri grup kecil Cina yang ikut dalam demonstrasi 1979. Dia pun
diciduk polisi Beijing hari Selasa lalu (16/5). Wang yang pernah ditahan
di penjara Guangdong setelah menjalani 12 dari 14 tahun penjara. Ia
dikabarkan tidak kembali ke hotelnya Jumat malam.
Sedangkan Liu Xiaobo yang dihukum karena aksi demonstrasi tahun
1989 juga diangkut polisi hari Rabu. Polisi dikabarkan
mengatakan akan membawa mereka untuk diinterogasi namun kemudian
tidak muncul sampai hari Sabtu. Liu ikut menandatangani
dua petisi pada bulan Maret yang ditujukan ke Kongres
Rakyat Nasional.
Sumber:
KOMPAS,22-05-1995
LAHIRKAN KELAS MENENGAH YANG KRITIS
BEBERAPA pekan menjelang peringatan ke-6 pembantaian berdarah
Lapangan Tiananmen tanggal 4 Juni 1989, tempat yang sehari-hari digunakan untuk
berbagai upacara penting serta arena bermain keluarga dan remaja ini tampak
sepertitegang. Sekilas memang kelihatan penduduk setempat tidakmempersoalkan
apa yang terjadi enam tahun silam di tempat ini.
Namun kehadiran tentara yang semakin banyak serta patroli
seputar Beijing sejak awal Mei, menandakan antisipasi terhadap sesuatu yang
tidak bisa diramalkan.
Hampir setiap 10 meter ada tentara dengan seragam hijau dan peci
bergaris merah berjalan-jalan memperhatikan pengunjung Lapangan Tiananmen. Bila
ada yang mencurigakan mereka tampak mendekati dan bertanya. Bahkan tidak jarang
memeriksa isi kantong orang yang dicurigai tersebut. Orang asing yang hilir
mudik apalagi membawa kamera tidak luput dari pengamatan tentara.
“Jangan dikira pengawasan Tiananmen itu sebatas petugas berseragam. Jika Anda
jeli mengawasi, petugas penyapu sampah pun diam-diam membawa radio penghubung.
Bahkan orang tua yang duduk-duduk santai pun kadang-kadang membawa HT
(handy-talkie),” ujar seorang staf perwakilan asing di
Beijing.
Suasana tegang memang mewarnai hari-hari menjelang peringatan
ini. Mungkin saja terkesan terjadi perang urat saraf antara pendukung gerakan
Tiananmen dengan pihak berwajib. Ketegangan ini tampak semakin memuncak
menjelang tanggal 4 Juni.
Petugas keamanan juga semakin banyak berkeliaran di seputar
Lapangan Tiananmen. Tidak jarang pula di seluruh Beijing, di kampus-kampus
Beijing, dan bahkan menyebar sampai ke berbagai kota pedalaman yang dianggap
potensial mengundang aksi baru.
Sejumlah tokoh yang dianggap menentang penguasa juga mendapat
pengawasan ketat. Pengintaian tak hanya terjadi pada tokoh mahasiswa di
rumahnya tetapi juga di setiap kegiatan yang
diikutinya.
Mantan Sekjen Partai Komunis Cina (PKC) Zhao Zhiyang yang
dicopot seminggu setelah pembantaian di Lapangan Tiananmen,mendapat pengawalan
sangat ketat. Demikian juga sejumlah tokoh saingan Presiden RRC yang juga
menjabat sebagai Sekjen PKC Jiang Zemin yang dianggap
pro-mahasiswa.
BAGI pendukung gerakan prodemokrasi, peringatan ini peluang
menyampaikan pesan anti-kemapanan, anti-regim sekarang yang menguasai 1,1
milyar penduduk. Mereka juga menggugat lagi keputusan pemerintah menahan
aktivis politik yang terlibat pembantaian di Lapangan Tiananmen oleh Tentara
Pembebasan Rakyat.
Kehadiran pers asing dan perhatian dunia internasional pada
momentum 4 Juni sangat ditunggu-tunggu pendukung gerakan prodemokrasi. Mereka
berusaha menggunakan pers asing untuk menyampaikan misinya, sesuatu hal yang
tidak mungkin jika disalurkan lewat media massa Cina.
Berbagai petisi dan ungkapan bernada protes bermunculan pada
bulan Mei. Salah satu yang menonjol adalah keterlibatan perintis bom atom di
Cina, Wang Ganchang (88).
Dalam petisi yang ditandatangani sejumlah tokoh intelektual
terhormat, mereka meminta pemerintah mengkaji ulang penahanan aktivis
Tiananmen. Mereka juga menuntut pembebasan mereka. Kalangan intelektual ini
menganggap orang tak harus ditahan karena pemikirannya yang bertentangan dengan
penguasa.
Rangkaian protes di dalam negeri
yang dialamatkan kepada Presiden Jiang Zemin dan
Kongres Rakyat Nasional (parlemen Cina) mencerminkan betapa ingatan
terhadap tragedi Tiananmen, khususnya di kalangan mahasiswa dan intelektual,
tak pernah padam.
Peringatan Tiananmen ke-6 ini mendapat perhatian serius karena
bersamaan dengan masa transisi kekuasaan. Jiang Zemin meskipun sudah dinobatkan
sebagai pengganti Deng Xiaoping (91) yang saat ini tak diketahui keberadaannya,
posisinya di mata para pengamat Cina masih belum mapan. Kalangan militer
ataupun tokoh tua PKC serta mereka yang masih loyal kepada Deng, menganggap
transisi ini belum selesai.
SECARA sadar Cina melangkah ke arah pembaruan ekonomi yang tidak
terbayangkan 10 tahun lalu. Kemakmuran di mana-mana.Kemiskinan juga masih tetap
merajalela. Namun karena jumlah penduduknya yang terbesar di dunia, kenaikan
kelas menengah versi Cina akan banyak mempengaruhi pola perilaku politik.
Kemapanan ekonomi lambat laun akan mengubah pola pikir mereka baik terhadap
perkembangan ekonomi maupun politik.
PM Singapura Goh Chok Tong dalam seminar tentang Cina di Beijing
Mei 1995, melukiskan adanya kelas menengah Cina yang semakin besar porsinya.
Mengutip studi yang dilakukan biro konsultan manajemen McKinsey di Hongkong,
Goh menjelaskan di Cina saat ini ada100 juta orang yang berpenghasilan lebih
dari 1.000 dollar AS per tahun. Pada tahun 2000 nanti jumlah itu akan mencapai
270 juta orang, lebih besar dari penduduk AS saat ini.
Bila diterjemahkan ke dalam proses demokratisasi yang diinginkan
pendukung gerakan Tiananmen, semakin besar porsi penduduk yang mapan secara
ekonomi akan semakin menghargai kebebasan berpendapat serta kebebasan
mengajukan kritik terutama ke penguasa.
Ini berarti, dalam waktu dekat akan terjadi proses perubahan
yang lebih mendukung aspirasi demokratisasi di Cina, apalagi ditambah pintu
informasi yang semakin terbuka lebar. Tahun 1995
terdapat kesan keran ekonomi dibuka lebar. Investasi asing mengalir deras.
Pertumbuhan ekonomi rata-rata 11 persen, bahkan di sejumlah zona bebas angka
itu lebih tinggi lagi.
Posisi Cina dalam perdagangan internasional juga semakin naik di
mana tahun 1994 sudah menduduki peringkat ke-11 dunia. Pada tahun 2000 nanti
akan menjadi nomor enam dunia. Namun di sisi lain keran
politik ditutup rapat-rapat, yang sangat bertentangan dengan laju ekonomi.
Inilah tampaknya yang akan menjadi pemicu krisis politik
berkepanjangan.
Tak mengherankan bila ada pendapat seperti diungkapkan Wakil PM
Thailand, Supachai Panitchpakdi, jika laju ekonomi yang tinggi tak diimbangi
perbaikan sosial politik, akan terjadilah konflik.
Asumsinya, semakin tebal lapisan kelas menengah Cina,
aspirasi politiknya kian banyak menuntut perhatian. Ini
berarti penguasa politik mendatang di Cina, tak hanya bisa
semata-mata mengandalkan mesin propaganda untuk melanggengkan
kekuasaannya.
Sumber: KOMPAS, 04-06-1995.
Strategi Politik Luar Negeri China dan Perkembangannya
Analisa Mengenai Transformasi Politik Luar Negeri China dan Penerapan
Politik Luar Negeri China dalam ASEAN+3
Menyoroti perkembangan politik luar negeri China memang
merupakan hal yang menarik, apalagi mengingat China kini
sedang menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan pertumbuhan ekonomi yang
sangat besar. Tidak hanya mencapai pertumbuhan ekonomi yang masif, pengaruh
politik China dalam berbagai bentuk institusi internasional pun mulai
meningkat. Berbagai perkembangan tersebut menjadikan China sebagai kekuatan
yang hadir sebagai lawan utama hegemon dunia, Amerika Serikat. Padahal jika mau
dirunut lebih lanjut, China merupakan pemain yang terbilang baru dalam dunia
internasional, terutama jika dibandingkan dengan AS yang memang telah menjadi
hegemon dunia sejak masa Perang Dunia II. Di saat AS sedang jaya-jayanya di
dunia internasional, China justru masih menerapkan sistem politik dan
perekonomian yang cenderung tertutup. Pada masa kepemimpinan Mao Zhidong, yaitu
sekitar taun 1949-1976, politik luar negeri China masih diarahkan sepenuhnya
untuk mengembalikan kekuatan China melalui pendekatan hubungan China dengan
negara-negara sosialis lain untuk melawan AS kala itu. China pada masa dominasi
Mao sangat curiga dengan kekuatan imperialis, sehingga politik luar negeri
China kala itu selalu diarahkan untuk melawan AS. China bahkan pernah
menerapkan politik isolasionisme pada masa dominasi Mao ini.
Transformasi China menjadi salah satu negara yang
mulai mendapat sorotan dalam sistem internasional terjadi pada masa
kepemimpinan Deng Xiaoping (tahun 1979-1989), di mana ketika itu China mulai
mengadopsi kebijakan yang pragmatis dengan menjadikan ekonomi domestik sebagai
fokus utama politik luar negerinya. China mulai menerapkan "Open Door Policy". Jika sebelumnya China selalu menjadi kekuatan
triangular dalam hubungan AS dengan Soviet, pada masa kini China mulai
melancarkan politik luar negerinya yang independen. Berbagai perubahan total
dilakukan pada masa ini, baik perubahan yang sifatnya domestik maupun perubahan
dengan melibatkan sistem internasional. Pada sisi domestik, peningkatan
pertumbuhan ekonomi domestik menjadi fokus utama politik luar negeri China kala
ini. Pada sisi internasional, China mulai menjalin hubungan baik dengan dunia
internasional, terutama dengan
negara-negara di Asia Tenggara untuk menjamin
terciptanya lingkungan yang indusif bagi pertumbuhan ekonomi China. Transformasi China dari yang tadinya sempat
menerapkan praktek isolasionisme menjadi memfokuskan politik luar negerinya
untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi sukses melahirkan China yang baru. China
pun mulai mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang masif. Keberadaan China
sebagai salah satu "great
power" mulai diperhitungkan. Selepas masa kepemimpinan Deng Xiaoping, China kemudian dipimpin oleh Jiang Zemin (tahun 1989-2002), di mana pada masa ini tidak terlalu nampak perubahan yang signifikan dalam
alur politik luar negeri China. China masih tetap fokus pada pertumbuhan
ekonomi, sambil terus aktif dalam berbagai institusi internasional. Pada era
ini, terjadi penafsiran sosialisme menjadi seusatu yang lebih liberal, di mana
fokus politik luar negeri China diarahkan pada penciptaan tatanan internasional
yang multipolar. Perekonomian China pun, seperti pada era Deng Xiaoping, lebih
bersifat liberal dengan AS sebagai porosnya. Revolusi yang dilakukan China
paska Mao melahirkan kesadaran pada China akan pentingnya elemen pasar, namun
kewenangan negara tetaplah unsur yang krusial dalam politik luar negeri China.
Era selanjutnya setelah kepemimpinan Jiang Zemin
adalah era kepemimpinan Hu Jintao (tahun 2002-sekarang). Pada era ini, China sudah
menjadi major power, terutama dalam hal perekonomian.
Pertumbuhan ekonomi terjadi sangat pesat. China pun semakin gencar
mempromosikan globalisasi ekonomi dan multipolarisme. Pada era ini, arah
politik luar negeri China pun semakin jelas: China ingin menciptakan situasi
internasional yang kondusif bagi pertumbuhan ekonominya dengan cara menghindari
konfrontasi yang ada. Partisipasi aktif China dalam institusi internasional pun
makin terasa, terutama melalui kebergabungan China dalam World Trade Organization (WTO) pada 2001. Tidak
hanya aktif secara global, China pun mulai aktif dan membangun berbagai kerja
sama kawasan, salah satunya adalah melalui kerja sama ekonomi China, Jepang dan
Korea Selatan dengan negara-negara ASEAN melalui ASEAN+3. Walaupun China
semakin aktif dalam berbagai bentuk kerja sama kawasan dan internasional, bukan
berarti China banyak memberikan komitmen yang bersifat mengikat pada
institusi-institusi ini. Jika mau dicermati lebih lanjut, dalam segala bentuk
partisipasinya melalui institusi regional dan global, China jarang sekali
memberikan komitmen yang dapat mengikat kebebasan China sebagai negara yang
non-konfrontatif. China cenderung mengambil posisi aman sambil tetap
memfokuskan diri pada usaha pembangunan ekonomi nasionalnya.
Berbagai penjelasan mengenai transformasi politik luar
negeri China sejak jaman kepemimpinan Mao hingga masa kepemimpinan Hu Jintao
membuktikan, telah terjadi perubahan signifikan dalam orientasi politik luar
negeri China. China kini lebih melihat pencapaian pertumbuhan ekonomi domestik
sebagai
tujuan utama politik luar negeri yang
diterapkannya. Adapun untuk mencapai pertumbuhan ekonominya, China terus
membangun hubungan baik dengan negara-negara dunia; China juga cenderung
menghindari konflik dengan negara-negara dunia, dan karenanya permasalahan
keamanan merupakan hal yang agak sensitif bagi China. China lebih suka
menyembunyikan cahayanya dengan menjalankan prinsip-prinsip non-intervensi dan non-konfrontasi.
Prinsip non-intervensi dan non-konfrontasi China ini diwujudkan melalui terminologi "peaceful
rise", yang kemudian
dijadikan salah satu bentuk politik luar negeri China.1 Bentuk
politik luar negeri China dengan mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan
cenderung menghindari konfrontasi tersebut menunjukkan upaya China dalam meraih
dua hal sekaligus, yaitu pemenuhan kepentingan
nasional melalui pertumbuhan ekonomi domestiknya, serta penciptaan status
sebagai "great power" yang cinta damai dan tidak hegemon di sistem
internasional.
Dalam penjelasan sebelumnya, penulis menyebutkan
mengenai keaktifan China dalam menjalin kerja sama kawasan terutama dengan
negara-negara ASEAN dalam bentuk ASEAN+3. Adapun hal ini sebenarnya merupakan
hal yang menarik untuk dianalisa, karena dibanding memilih untuk menjalin kerja
sama kawasan di kawasan Asia Timur (Northeast Asia) terlebih dahulu, China malah
cenderung lebih memprioritaskan kerja samanya dengan ASEAN. Jika mau ditilik
lebih lanjut, hingga kini belum pernah ada bentuk kerja sama yang benar-benar
hanya melibatkan tiga negara di kawasan Asia Timur, yaitu China, Jepang dan
Korea Selatan padahal ketiga negara tersebut sama-sama merupakan negara dengan
angka pertumbuhan ekonomi yang relatif besar jika dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN lainnya. ASEAN+3 sendiri merupakan bentuk kerja sama
ekonomi pertama yang berhasil mempertemukan tiga negara Asia Timur tersebut
dalam suatu forum. Sehubungan dengan analisa politik luar negeri China, China
tampak lebih bersahabat dengan negara-negara ASEAN ketimbang dengan Jepang dan
Korea Selatan yang lebih banyak memiliki kesamaan perekonomian.
Sikap dan perilaku politik luar negeri China yang
cenderung distant dengan Jepang dan Korea Selatan
sebenarnya merupakan hal yang wajar, mengingat hubungan antar ketiganya memang
tidak pernah akur sebelumnya. Berbagai perbedaan muncul dan menghambat
terciptanya hubungan harmonis dalam kawasan ini, seperti misalnya faktor latar
belakang sejarah yang berbeda, ikatan regional yang kurang kuat, ketakutan akan
hadirnya ancaman, serta berbagai perbedaan sistem politik yang ada. Dari sekian
banyak faktor yang menghambat terciptanya kerja sama di kawasan Asia Timur,
faktor yang disebut-sebut paling berpengaruh adalah adanya bad historical background yang lantas membuat hubungan dua
kekuatan besar di Asia Timur—Jepang dan China—menjadi
tidak akur. Hubungan tidak akur Jepang-China ini sebenarnya
dimulai pada masa Perang Dunia II,
ketika tentara Jepang dengan brutal menyerang dan menghabisi rakyat China.
Ketika itu, Kaisar Hirohito memerintahkan pasukan Jepang untuk menyerang dan
menduduki China. Bangsa Jepang
pun ketika itu menyebut China sebagai "Chancorro" (artinya ras yang lebih
rendah dari manusia). Karena pasukan Jepang menganggap rakyat China adalah
makhluk yang lebih rendah dari manusia, pasukan Jepang menjadi lebih tega dalam
menyiksa rakyat China. Penjarahan, perkosaan, pembunuhan, dan berbagai tindak
kejahatan lain terjadi di seluruh pelosok China. Semua tindakan itu mempunyai
tujuan yang sama : mendirikan Kekaisaran Jepang di China.2
Faktor penghambat lain yang juga mempersulit
terbentuknya regionalisme di Asia Timur adalah karena kurangnya kemauan dari
negara-negara Asia Timur itu sendiri untuk melakukan negosiasi dan kerja sama
di antara mereka3. Hal ini terbukti dari sedikitnya kerja sama yang
dihasilkan antar negara-negara Asia Timur tersebut tanpa bantuan organisasi
kawasan lain. Jika ada pun, perjanjian kerja sama tersebut seringkali terhenti
karena kurang digarap dengan baik. Sebagai contoh, perjanjian kerja sama antara
Jepang dan Korea Selatan yang dimulai dengan adanya kunjungan Presiden Korea
Kim Dae Jung ke Tokyo pada Oktober 19984. Kunjungan ini sebenarnya
merupakan langkah yang baik, akan tetapi kunjungan ini tidak lantas disikapi
dengan baik—baik oleh Pemerintah Jepang
maupun oleh Pemerintah Korea Selatan—sehingga negosiasi antara Jepang
dan Korea Selatan pun terhenti. China dan Jepang bahkan belum pernah
mengadakan suatu perjanjian kerja sama sendiri. Hal tersebut dikarenakan
kurangnya kemauan dari ketiga negara Asia Timur tersebut untuk bekerja sama
satu sama lain.
Adapun kemudian berbagai faktor penghambat tersebut
seakan berhasil dijembatani ketika China, Jepang dan Korea Selatan lantas
memutuskan untuk bergabung dalam suatu bentuk kerja sama regional, yaitu dalam
bentuk ASEAN+3. Ketika itu, baik China, Jepang maupun Korea Selatan bersedia
melupakan permusuhannya satu dengan yang lain, untuk bersama-sama mengatasi
dampak dari Krisis Asia yang memporak-porandakan wilayah tersebut. Adapun
kerjasama antara negara-negara ASEAN dengan Jepang, China, dan Korea Selatan itu sebenarnya telah dimulai sejak 1997 silam,
ketika diadakan pertemuan antara 10 pemimpin ASEAN dengan 3 pemimpin
negara tersebut. Pertemuan tahun 1997 itu kemudian mendasari
pertemuan-pertemuan lain yang diselenggarakan oleh 10 negara ASEAN dan 3 negara
Asia Timur itu. ASEAN+3 sendiri terbentuk sebagai jawaban terhadap krisis Asia
yang terjadi pada tahun 1997. Krisis keuangan yang kala itu
terjadi di Asia menyadarkan negara-negara Asia Timur bahwa mereka memerlukan
suatu pengaturan yang baik dalam hal perdagangan dan keuangan internasional
agar jika terjadi krisis serupa
negara Asia Timur tidak kembali
terpuruk. Karena itu tujuan utama dari dibentuknya ASEAN+3 adalah untuk
membangun mekanisme pengaturan sistem makroekonomi dan kerja sama keuangan yang
lebih baik agar krisis serupa dapat dicegah di masa depan.
Meluasnya dampak negatif dari Krisis
Asia ke seluruh negara Asia Timur menyadarkan pemimpin Jepang, China, dan Korea
Selatan bahwa sebenarnya negara-negara Asia Timur mempunyai saling
ketergantungan satu sama lain. Interdependensi antar negara Asia Timur itu
kemudian menuntut adanya suatu bentuk kerja sama regional yang menyatukan
mereka, bersama dengan wilayah Asia Tenggara yang ketika itu juga mengalami
kehancuran finansial akibat Krisis Asia tahun 1997-1998. Sehubungan dengan hal
ini, Stuart Harris mengatakan bahwa Krisis Asia menyadarkan negara-negara Asia
Timur bahwa mereka tidak bisa sepenuhnya bergantung pada organisasi yang telah
ada, negara Asia Timur harus membentuk organisasi
baru untuk mencegah agar krisis serupa tidak terjadi lagi5.
Krisis Asia yang terjadi kala itu juga menurunkan image Amerika Serikat sebagai negara
penjamin keuangan internasional, karena ternyata IMF sebagai organisasi yang
didominasi Amerika Serikat, tidak mampu menangani Krisis Asia, dan malah justru
memperparah kondisi keuangan Asia Timur kala itu. Anggapan bahwa Amerika
Serikat dan berbagai lembaga internasional yang ada kini tidak dapat lagi
melindungi keuangan internasional melahirkan keinginan dari negara-negara
non-Barat, salah satunya adalah Asia Timur, untuk melindungi sendiri
kepentingan negaranya. Negara-negara Asia Timur pun lantas mulai membangun
cadangan devisanya, dan mulai membangun kerja sama regional dengan ASEAN untuk
melahirkan suatu nilai tukar baru agar krisis keuangan serupa tidak terjadi
lagi6. Negara-negara ASEAN+3 juga sepakat untuk membentuk sebuah Asian Monetary Fund, sebuah lembaga untuk mengatur dan
mengawasi kondisi keuangan Asia karana IMF dirasa tidak lagi sesuai paska
Krisis Asia7. Kerja sama dalam bidang keuangan ini disebut-sebut
sebagai kemajuan terbesar dari terbentuknya ASEAN+38, yang lantas
mendorong terbentuknya kerja sama dalam berbagai bidang lain dalam kerangka
ASEAN+3.
Beberapa akademisi Asia Pasifik, seperti Drysdale,
Elek, dan Soesastro mengatakan kerja sama antar negara-negara ASEAN dengan tiga
negara Asia Timur dilaksanakan dengan berdasar pada tiga prinsip utama, yaitu
keterbukaan, persamaan, dan pembangunan 9 . Prinsip keterbukaan
menuntut adanya transparansi dan non-diskriminasi pada berbagai kebijakan
ekonomi dan perdagangan antar negara-negara
ASEAN+3. Prisip persamaan mengandung arti bahwa segala aktivitas harus
dilakukan demi keuntungan bersama/mutual
benefit bagi seluruh negara-negara
ASEAN+3, dengan mempertimbangkan struktur ekonomi dan politik masing-masing
negara. Sementara pada prinsip pembangunan, negara-negara ASEAN+3 akan
bersama-sama melaksanakan pembangunan secara gradual menuju terciptanya kerja
sama ekonomi dengan berdasar pada voluntary participation dan consensus building110 Kerja sama dalam ASEAN+3 ini melibatkan pertukaran
informasi, dialog kebijakan, pengaturan likuiditas regional seperti yang
dihasilkan dari Chiang Mai
Initiative, serta proses
pembuatan keputusan bersama untuk beberapa area tertentu seperti dalam
koordinasi nilai tukar uang.11
Dari penjelasan mengenai partisipasi China dalam
ASEAN+3 tersebut, dapat dilihat bahwa partisipasi China di kawasan Asia Tenggara
merupakan partisipasi yang cenderung bersifat akomodatif demi mencapai bentuk
kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan. Di sini, baik ASEAN maupun China,
Jepang dan Korea Selatan masing-masing memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk
menciptakan kawasan Asia Timur+Tenggara yang lebih siap dan stabil dalam
menghadapi kemungkinan krisis di masa depan. Adanya kepentingan yang sama
membuat China mengesampingkan perbedaan dan hubungan kurang akurnya dengan
Jepang dan Korea Selatan untuk kemudian duduk bersama dalam wadah ASEAN+3. Di
sisi lain, partisipasi China di kawasan Asia Timur, seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, memang cenderung kurang akomodatif karena masih diwarnai
oleh adanya bad historical background antar ketiganya. Hal tersebut
terbukti dari tidak adanya bentuk kerja sama regional yang benar-benar hanya
melibatkan China, Jepang dan Korea Selatan.
Adapun implikasi dari bentuk kerja sama ASEAN+3 yang
dijalin China dengan Jepang, Korea Selatan dan negara-negara ASEAN mendatangkan
keuntungan baik bagi China maupun bagi ASEAN. Bagi China sendiri, adanya kerja
sama ASEAN+3 semakin mempererat hubungannya dengan negara-negara ASEAN,
sekaligus merupakan batu loncatan dalam menggagas kerja sama lebih spesifik
dengan ASEAN, misalnya melalui ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang baru berlaku pada 1 Januari 2010 kemarin.
Sebelum adanya kerja sama ekonomi dengan China, ASEAN cenderung melihat China
sebagai aggresive
hegemon, akan
tetapi setelah berbagai kerja sama ekonomi ASEAN-China terjalin, salah satunya
melalui ASEAN+3, kehadiran China mulai dilihat sebagai good neighbour. Hal ini tentu saja memberikan
keuntungan bagi China berupa terciptanya lingkungan yang kondusif bagi
perkembangan China secara regional, juga memberikan berbagai keuntungan ekonomi
seperti misalnya perluasan pasar bagi
produk-produk China, peningkatan arus
investasi ke China, dan berbagai keuntungan ekonomi lainnya. Di sisi lain, negara-negara ASEAN+2 (Jepang dan Korea
Selatan) juga tentunya menikmati keuntungan yang tidak sedikit. Keuntungan yang
didapat oleh negara-negara ASEAN+2, selain berupa stabilitas ekonomi yang
dihasilkan melalui mekanisme koordinasi nilai tukar uang, juga berupa perluasan
pasar bagi ekspor produk-produk negara ASEAN+2, mengingat China merupakan negara yang berpenduduk terbesar di dunia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ASEAN+3 pada akhirnya akan melahirkan suatu
bentuk kerja sama yang bersifat mutual
benefit bagi seluruh negara anggotanya,
sekaligus mengubah status quo China di kawasan Asia Timur+Tenggara, yaitu dari negara
yang dikhawatirkan bersifat sebagai aggresive
hegemon menjadi sebuah good
neighbour. ASEAN+3 juga,
penulis rasa, merupakan bentuk kerja sama ekonomi regional yang turut membantu
pencitraan "peaceful
rise" sebagai bentuk
politik luar negeri China.
Dari berbagai penjelasan mengenai transformasi politik
luar negeri China sejak era Mao sampai era Hu Jintao sekarang, serta dari
penjelasan mengenai bentuk politik luar negeri China di kawasan Asia
Tenggara+Jepang dan Korea Selatan dalam bentuk ASEAN+3, penulis menemukan bahwa
terdapat kompleksitas dalam memahami strategi politik luar negeri China.
Adapun, strategi politik luar negeri China hanya dapat dipahami bila kita
menggunakan dua macam perspektif sekaligus, yaitu perspektif generalis (pendekatan
studi HI) dan perspektif spesialis (sinology), di mana penggunaan kedua perspektif tersebut tidak
dapat dipisah dan bersifat saling melengkapi dalam menganalisa politik luar
negeri China. Transformasi politik luar negeri China sejak era Mao hingga era
Hu Jintao, misalnya, tidak mungkin dapat dianalisa tanpa melihat dinamika
internal China seperti misalnya pergantian kepemimpinan yang menyebabkan adanya
pergantian target/sasaran dalam politik luar negeri China, serta kondisi
perekonomian dalam negeri China seperti besarnya disparitas kaya-miskin yang
memaksa China untuk memfokuskan politik luar negerinya pada usaha peningkatan
pertumbuhan ekonomi nasional. Di sisi lain, penting juga untuk menganalisa
transformasi politik luar negeri China dari kacamata seorang generalis, yaitu
bahwa transformasi tersebut terjadi karena adanya pergantian sistem
internasional. Pergantian sistem internasional yang terjadi, misalnya, berupa
hancurnya Soviet yang lantas menjadikan AS sebagai satu-satunya hegemon dunia,
ataupun berupa berkurangnya peran negara dalam dominasi studi Hubungan
Internasional. Bentuk kerja sama China dalam ASEAN+3 juga hanya dapat dianalisa
jika kita menggunakan kedua perspektif tersebut. Orientasi China untuk lebih
mengutamakan kerja sama dengan ASEAN ketimbang dengan Jepang dan Korea Selatan,
misalnya, dapat dijelaskan lewat kacamata seorang spesialis yaitu dari hubungan
sejarah yang buruk antara China dengan Jepang dan Korea Selatan yang lantas
menyebabkan hubungan antar ketiganya lebih bersifat distant. Sementara melalui kacamata
seorang generalis, kita dapat melihat bahwa
kerja sama ASEAN+3 tersebut terjalin
sebagai respon dari Krisis Asia yang melanda kawasan Asia Tenggara dan Asia
Timur pada 1997-1998, yang melahirkan sebuah urgensi akan pentingnya sebuah
kerja sama kawasan terutama untuk mencegah agar krisis serupa di masa depan
tidak akan menghancurkan kawasan ini lagi. Tuntutan dari sistem internasional
yang seakan lebih memihak Barat mendorong China dan negara-negara ASEAN+3 lain
untuk membentuk kerja sama ekonomi di kawasan Asia Timur tersebut. Sehingga
kesimpulannya, pemahaman akan kompleksitas politik luar negeri China hanya
dapat dilakukan dengan menggabungkan analisa komprehensif dari perspektif
generalis dan kedalaman dari perspektif seorang sinolog. Keberagaman isu yang
ada di China serta dinamika politik-ekonomi domestik di dalamnya, menjadikan strategi politik luar negeri China hanya dapat dipahami dengan menggabungkan perspektif yang
bersifat generalis dan spesialis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar