- Palestina Pada Masa Dinasti Ustmaniyah
Jika diajukan kepada kita persoalan konflik Israel-Palestina,
maka yang terbayangkan dalam benak kita adalah begitu rumitnya konflik
tersebut. Tak terhitung sudah berapa banyak proses damai dan resolusi PBB yang
diupayakan untuk menyelesaikannya. Namun, semuanya berakhir dengan kegagalan,
dalam pengertian masih berlanjutnya konflik tersebut.
Palestina
adalah nama dari sebuah wilayah yang batas-batas geografisnya selama tiga
milenium tampil dalam definisi-definisi yang berbeda. Setidaknya sejak
awal-awal abad ke-20 hingga kini.
Palestina
memiliki tiga definisi :
Pertama, “British Mandate of Palestine” yang
diotorisasi oleh Kovenan Liga Bangsa- Bangsa pada 1920 menetapkan Palestina
sebagai wilayah di antara Laut Mediterania, Lebanon, Suriah, Irak, Arab Saudi,
serta Mesir. Mudahnya, ia meliputi wilayah yang kini dikenal sebagai Kerajaan
Yordania, Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.
Kedua, pada 1947, melalui Resolusi 181,
Majelis Umum PBB membagi wilayah Palestina di atas (minus Yordania yang pada
1946 diberikan Inggris kepada Dinasti Hasyimiah) menjadi dua bagian: “Israel”
yang dicanangkan sebagai negara Yahudi dan “Palestina” sebagai negara Arab.
Yang pertama kini hampir berusia 60 tahun sementara yang kedua tak kunjung
berdiri hingga detik ini. Dalam pengertian Resolusi 181, Palestina
didefinisikan sebagai Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza. Definisi ini
diterima mayoritas negara di dunia—meskipun pada awalnya negara-negara Arab menolak—
yang mengakui Israel dalam hubungan diplomatik mereka.
Ketiga, meskipun seringkali mengaitkan
keberadaannya dengan Resolusi 181, Israel, setidaknya secara politik dan hingga
saat ini, hanya mengakui “Palestina” sebagai Tepi Barat dan Jalur Gaza, minus
Yerusalem Timur yang mereka aneksasi pasca Perang 1967 serta minus 10,2%
wilayah di Tepi Barat yang sekarang berubah menjadi pemukiman- pemukiman
Yahudi. Hal ini dibuktikan dengan keputusan parlemen Israel, Knesset, bahwa
Yerusalem tidak untuk dibagi dengan Palestina. Dengan demikian, yang disebut
‘Palestina sekarang ini hanyalah 22% (versi PBB) atau 12% (versi Israel) dari
tanah historis Palestina.
Hal tersebut merupakan keadaan Palestina yang kita ketahui
sekarang, namun bagaimana sebenarnya sejarah Palestina? Palestina mempunyai
sejarah yang sangat panjang yang dimana sebelumnya Palestina berada dibawah
kekuasaan Islam dan silih berganti antara Islam dan Nasrani pada masa Perang
Salib.
a.
Sejarah Tanah Palestina
Palestina merupakan Tanah yang dianggap suci oleh tiga agama
besar di dunia yaitu: Yahudi, Kristen, dan Islam. Bagi umat Yahudi Tanah Suci
adalah Tanah yang dijanjikan. Bagi umat Kristen adalah tempat Yesus dilahirkan,
berkarya, wafat, bangkit dan naik ke surga. Bagi umat Islam merupakan tempat di
mana Nabi Muhammad melakukan perjalanan naik ke surga dan menjadi kiblat
sembahyang sebelum diganti dengan Mekkah.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad umat Muslim memilih seorang
penerus Nabi yang bernama Abu Bakar (632-634 M). Penerus Nabi Muhammad yang kedua
yang bernama Umar bin Alkhatab (634-644 M) yang memperluas Islam ke luar
Semenanjung Arabia dengan mengalahkan orang Persia dan merebut wilayah
Palestina tahun 634 M melalui pertempuran di Yarmuk. Dua tahun kemudian
pasukannya mengepung kota Yerusalem sehingga Sophorne, saat itu menjadi Batrik
Yerusalem, menyerahkan kunci kota kepada Umar untuk menghindarkan terjadinya
pertumpahan darah. Umar tidak memaksakan Islam kepada penduduk beragama Islam
dan Yahudi karena ia menganggap mereka sebagai “Orang-orang Alkitab” dan
mengeluarkan sebuah keputusan yang menghormati tempat-tempat suci orang Kristen
dan Yahudi. Hampir semua raja Arab Islam mengikuti keputusan Umar tersebut.
Setelah Umar wafat Utsman terpilih sebagai penerus yang
ketiga. Pada masa kepemimpinannya Qur’an, kitab Suci umat Islam, berhasil
disusun namun Utsman terbunuh, dan Ali saudara sepupu Nabi, terpilih sebagai
khalifah ke empat tetapi masa kepemimpinannya yang sebentar ditandai dengan
pemberontakan dan peperangan. Setelah terbunuhnya penerus keempat Ali, penguasa
kota Damaskus merebut kekuasaan dan mendirikan sebuah dinasti raja-raja yang
disebut Dinasti Umayah. Raja-raja Arab Muslim dari dinasti ini menghormati
tempat-tempat suci umat Kristen dan Yahudi, dengan kekecualian Bukit Bait Allah
yang tinggal reruntuhan. Umat Islam percaya bahwa dari sinilah Nabi Muhammad
melakukan perjalanan naik ke surga. Dua mesjid dibangun pada lokasi yang sama,
Kubah Batu pada taun 688 M oleh raja Abed Almalik bin Marwan dan pada tahun 712
M mesjid Alaqsa didirikan oleh putranya Walid bin Abed Almalik bin Marwan.
Selama pemerintahan Islam di Palestina, pemeluk Yahudi dan Kristen dibolehkan
menjalankan agama mereka dengan tenang. Tetapi pada tahun 1065 pimpinan
Islam beralih ke tangan dinasti Seljuk yang berbahasa
Turki, yang kemudian dituduh menindas pemeluk Kristen karena membebani mereka dengan
pajak tinggi yang disebut jiziyah. Raja-raja Eropa mengirim ekspedisi
yang mengobarkan serangkaian perang dalam kurun
waktu 200 tahun yang disebut Perang Salib (The Crusade).
Selama dua abad Palestina dan kota Yerusalem berganti-tangan
silih berganti antara pasukan Kristen dan Muslim. Perang Salib berakhir tahun 1270,
dengan kemenangan pihak Islam dengan pimpinannya yang terkenal Salahuddin ,
yang sepenuhnya menguasai wilayah tersebut.[1]
b.
Palestina Pada Masa Dinasti Utsmaniyah
Dinasti Ottoman atau sering disebut dinasti Turki Utsmani
berkuasa pada abad 13 sampai abad 19.[2] Pada masa kesultanan Utsmani keadaan
Palestina menjadi damai, orang-oarang dengan keyakinan yang berbeda diizinkan
hidup menurut keyakinannya sendiri, menjadikan umat Nasrani dan Yahudi
menemukan toleransi, keamanan dan kebebasan di tanah Utsmani. Walaupun Utsmani
merupakan negara yang diatur oleh orang-orang Islam, namun mereka tidak
memaksakan rakyatnya untuk memeluk Islam, sehingga membuat orang-orang
non-Islam menjadi nyaman dalam pemerintahan Islam. Namun hal tersebut berbeda
dengan yang terjadi di negara lain, salah satu contohnya yaitu di sebagaian
negara Eropa, orang-orang Yahudi di tindas hanya karena mereka orang Yahudi,
mereka di paksa untuk hidup disebuah kampung khusus minoritas Yahudi ( Ghetto),
dan kadang menjadi korban pembantaian masal. Berbeda dengan kesultanan Utsmani
mereka memebangun pemerintahan dengan adil dan bijaksana.
Tanah Palestina adalah sebuah bukti pemerintahan Islam yang adil dan
toleran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya pemerintahan Nabi Muhammad,
Umar, Salahuddin dan sultan-sultan Utsmani dan bahkan orang non muslim pun
sepakat akan hal itu. Mas pemerintahan yang adil ini berlanjut hingga abad ke
20. Dengan berakhirnya pemerintahan muslim pada tahun 1917, daerah tersebut
jatuh dalam kekacauan, teror, pertumpahan darah dan perang.[3] Ketika berada di bawah Dinasti Turki Utsmani, dalam sejarahnya yang panjang
selama 688 tahun (1299 – 1922), umat Islam dapat memimpin dunia, bahkan bangsa
Yahudi musuh Islam paling keras, mereka dilindungi oleh umat Islam. Selama
lebih dari 500 tahun, Dinasti Utsmani menjadi surga bagi pengungsian Yahudi
yang diusir dan dibantai oleh kaum Kristen Eropa. Namun keharmonisan itu
berakhir menyusul kemunculan gerakan Zionis Yahudi pada abad ke-19 yang
memaksakan kehendak untuk mendirikan negara Yahudi di bumi Palestina.
Melalui lobi Yahudi, gerakan Zionis di bawah pimpinan Theodore Hertzl
dengan berbagai cara, mereka meminta kepada Sultan Hamid II untuk menyetujui
pendirian negara bagi Yahudi di Palestina. Namun Sultan menjawab dengan tegas,
”Saya tidak dapat menjual, walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), yang bukan
milikku, tetapi milik rakyatku. Rakyatku telah memenangkan kesultanan ini
dengan bertempur untuknya, dengan mengucurkan darah mereka dan menyuburkan
tanah ini dengan darah mereka. Kami akan melindungi tanah ini dengan darah kami
sebelum kami mengizinkannya dirampas dari kami. Turki Utsmani bukanlah milikku
tetapi untuk rakyat Turki. Saya tidak dapat memberikan bagian manapun dari
tanah ini. Silakan Yahudi menabung milyaran (uang) mereka.[4]
Namun harapan Sultan Abdul Hamid II untuk tetap mempertahankan al-Quds itu
pupus bersamaan dengan diruntuhkannya Dinasti Turki Utsmani. Theodore Hertzel
mengatakan pada Konferensi Zionis Internasional I di Basel (1897):
"Pembebasan Palestina oleh bangsa Yahudi sangat tergantung dengan
hancurnya Khilafah Utsmaniyah." Dengan runtuhnya Dinasti Turki Utsmani,
tidak ada kekuatan yang dapat mempersatukan dan melindungi umat Islam secara
menyeluruh. Akhirnya satu per satu wilayah Islam dikuasai oleh musuh-musuhnya
termasuk al-Quds dapat dikuasai oleh Zionis Israel.
- Zionisme Sebagai Gerakan Dunia
- Zionisme
Berbicara tentang Zionisme, berarti kita sedang membahas
tentang Yahudi sebagai sebuah gerakan politik. Seperti yang telah di ketahuai
umat Yahudi atau Bani Israel merupakan kaum yang telah lama eksis sejak zaman
para Nabi, namun Yahudi sebagai gerakan politik adalah fenomena baru yang lahir
pada masa imperialisme dan kolonialisme Barat. Dengan kata lain, Zionisme
adalah pemikiran baru, bukan bagian dari sejarah kaum Yahudi itu sendiri.
Zionisme adalah gerakan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi untuk mendirikan
negara khusus bagi komunitas Yahudi (di Palestina). Negara ini merupakan
institusi yang mengumpulkan kembali orang-orang Yahudi yang sudah bertebaran di
seluruh dunia (diaspora).
Istilah Zionisme berasal dari bahasa Ibrani “Zion” yang
artinya adalah batu karang. Hal tersebut merujuk pada batu bangunan Haykal
Sulaiman yang didirikan diatas bukit karang bernama Zion terletak di Jerusalem.
Hal ini merupakan pandangan Zionisme dalam arti lama yaitu untuk kembali ke
zion, namun konsep Zionisme kini telah berubah bukan sekedar makna keagamaan
namun telah beralih pada makna politik, yaitu suatu gerakan untuk mengumpulkan
bangsa Yahudi yang telah lama terpencar di seluruh belahan dunia, dengan
Palestina sebagai tanah airnya dan Jerusalem sebagai ibu kotanya.[5]
Zionisme dibawa ke
dalam agenda dunia di akhir-akhir abad ke 19 oleh Theodor Herzl (1860-1904),
seorang wartawan Yahudi asal Austria. Baik Herzl maupun rekan-rekannya adalah
orang-orang yang memiliki keyakinan agama yang sangat lemah, bahkan mungkin
tidak ada sama sekali. Mereka melihat "Keyahudian" sebagai sebuah
nama ras, bukan sebuah masyarakat beriman. Mereka mengusulkan agar orang-orang
Yahudi menjadi sebuah ras terpisah dari bangsa Eropa, yang mustahil bagi mereka
untuk hidup bersama, dan bahwa penting artinya bagi mereka untuk membangun
tanah air mereka sendiri.[6] Zionisme tidak semestinya dipersamakan dengan
Yudaisme. Perilaku kejam yang diperlihatkan pemerintah Israel terhadap rakyat
Palestina memang didukung oleh sebagian besar Yahudi Israel tetapi jelas bukan
semua Yahudi.
Kebanggaan akan
keyakinan bahwa bangsa Yahudi adalah ras pilihan muncul ketika melihat bahwa
nabi-nabi yang diturunkan sang pencipta berasal dari Bani Israil. Tetapi,
apabila melihat sisi lainnya adalah, ketika nabi-nabi diturunkan oleh sang
pencipta, keadaan masyarakatnya memang benar-benar dalam keadaan menjauh dari
ajaran untuk menyembah yang maha kuasa, melenceng dari apa yang disampaikan
oleh nabi sebelumnya. Maka sebenarnya disini terlihat bahwa memang manusia dan
tempat turunnya Nabi selalu dalam keadaan yang jauh dari apa yang dinamakan
Iman kepada Tuhan sang pencipta.
Masyarakat Yahudi
sesungguhnya telah diberi kelebihan dalam bidang akal, namun dalam hal
keyakinan mereka selalu menyimpang dari ajarannya. Masyarakat Yahudi secara
umum dapat dikatakan ulet, rajin, cerdas, pantang menyerah, itulah yang
menyebabkan mereka mampu menjadi penguasa atau pengendali dalam hal kepentingan
umum suatu negara dimana mereka tinggal. Berbagai bidang dikuasai dan
dimonopoli oleh kalangan Yahudi seperti ekonomi, politik, teknologi dan pers.
Pada dasarnya, keberhasilan bangsa Yahudi tidaklah datang secara tiba-tiba
tetapi lebih merupakan perjuangan panjang dan kerja keras, setelah melaui
perencanaan yang matang bahkan dalam keadaan tertekan sekalipun.
b.
Zionisme yang Mendunia
Zionisme yang sudah
mulai menemukan konsepnya yang jelas dengan dibawa oleh tokoh bernama Herzl,
seuatu pijakan yang paling nyata yang dilakukan oleh anggota Zionis adalah
dengan melakukan kongres Zionisme
Internasional ke-1 di Basel ( 1897), kaum Yahudi Zionis menerapkan politik
dua arah yaitu :
1.
Diam-diam menguasai dan
menghanncurkan negara-negara non Yahudi di seluruh dunia . Proyek pertama mampu
dilakukan oleh kaum Yahudi dengan kemampuan mereka sendiri dimana mereka
seperti bagi orang Yahudi dimana pun ia berada, ia akan mendirikan suatu
masyarakat aristokrasi atau sejenisnya Demokrasi oleh orang Yahudi digunakan
hanyalah sebagai alat, sekedar sebuah kata, yang digunakan oleh para
juru-bicara Yahudi sekedar sebagai suatu mekanisme perlindungan kelompok (‘group
defence mechanism’) di tempat-tempat dimana mereka ditindas, serta untuk
mendapatkan status persamaan; begitu telah mencapai kedudukan dan status yang
sama, mereka segera berusaha mendapatkan privilese, hak-hak istimewa,
yang seolah-olah telah menjadi hak mereka.
Politik yang pertama ini pada dasarnya adalah
akibat dari apa yang dinamakan dengan politik diaspora ( penyebaran )
bangsa Yahudi ke berbagai negara. Penyebaran tersebut dilakukan bukan hanya ada
masalah penyebaran – dalam hal ini karena terpaksa – tetapi juga karena
keinginan bangsa Yahudi sendiri untuk eksis dan menjadi manusia yang mempunyai
kemampuan untuk menunjukan diri mereka. Tujuan penyebaran bangsa Yahudi menuju
ke berbagai wilayah di Eropa, dan Amerika .
Hal tersebut memang benar - benar terjadi, di
negeri- negeri baru bangsa Yahudi, mereka mampu berkembang dan menguasai
beberapa aspek kehidupan seperti ekonomi, politik dan ilmu pengetahuan. Bahkan
nantinya menimbulkan kecemburuan dari bangsa penghuni sebelumnya ( penduduk
asli ). Ada beberapa hal yang menjadikan kecemburuan yang timbul antara
penduduk asli dan penduduk pendatang Yahudi diantaranya :
Pertama, prasangka keagamaan, walaupun kecil kemungkinan, masalahnya
apakah kaum Yahudi itu menyadari atau tidak, bahwa bagi orang non- Yahudi,
Yudaisme itu dipandang sebagai salah satu “agama wahyu” bersama-sama dengan
agama Kristen dan Islam. Prasangka yang ada lebih banyak bersumber justeru dari
sebab-sebab non-keagamaan.
Apabila melihat di tanah suci Palestiena ketiga agama tersebut selalu hidup
berdampingan namun karena pengaruh kecemburuan ekonomi dan sebagainya prasangka
agamapun terpengaruh akan hal tersebut.
Kedua, prasangka ekonomi; Soal kecemburuan ekonomi barangkali
memang ada. Sudah bukan rahasia lagi keuangan dunia itu ada dalam genggaman
para bankir Yahudi; keputusan dan kebijaksanaan mereka menjadi hukum ekonomi
keuangan bagi dunia Barat. Kecemburuan ekonomi mungkin dapat menjelaskan
sebagai salah satu sebab dari timbulnya sikap anti-Yahudi; tetapi bisa juga
kecemburuan ekonomi yang menimbulkan “masalah Yahudi” tersebut.
Fakta-fakta yang dapat diambil tentang dominasi ekonomi dunia oleh Yahudi:
Dinasti Rothschilds menguasai hampir semua perekonomian Eropa hingga Amerika.
Di Eropa doninasi Dinasti Rothschilds diwariskan secara turun-temurun dan
mendirikan cabang-cabang seperti di Inggris, Wina, Berli, Paris dan Napoli yang
dipegang oleh anak laki-laki Dinasti Rothschilds.[7]
Keluarga Rothschild menguasai Bank Sentral Inggris sementara Bank Sentral AS
dengan menguasai Bank Sentral Inggris dan AS, mereka menguasai uang dunia.
Ketiga, antipati sosial, soal antipati-sosial
di masyarakat Barat yang berkulit putih dan Kristen – beban antipati itu
di Barat bukan hanya dipikul oleh orang Yahudi, tetapi juga oleh orang kulit
hitam, orang Cina, orang muslim, serta komunitas lain di dunia ini, yang jumlah
mereka justeru lebih banyak daripada orang Yahudi. Disini terlihat minoritas
Yahudi menjadi dalam keadaan yang tersudut karena masalah- masalah sebelumnya.
Ada hal yang menarik disini dimana orang Yahudi
sama sekali tidak pernah menyebut-nyebut masalah politik sebagai penyebabnya,
atau jika mereka nyaris kesleo lidah yang bernada sugestif ke arah itu,
mereka segera membatasinya, atau melokalisasinya. Unsur politik yang
sangat melekat pada masyarakat Yahudi, ialah dimana saja mereka itu berada
mereka senantiasa akan membentuk semacam “negara” sendiri di dalam negara
tuan-rumah. Ketertutupan sikap masyarakat Yahudi yang lebih mengutamakan
hubungan internal di antara mereka sendiri, menjadi salah satu penyebab utama
yang menimbulkan sikap anti-Yahudi. Mungkin sebenarnya itulah yang menjadi
penyebab kecemburuan antara penduduk asli dan penduduk pendatang Yahudi. Dalam
segi politik dominasi Yahudi dapat terlihat dalam pengaruhnya terhadap
badan-badan dunia.
Salah satu yang paling berpengaruh dalam dunia
yaitu PBB. Pembentukan PBB tahun 1945 adalah salah satu cara yang digunakan
oleh Yahudi (Israel) dan Nasrani untuk menguasai dunia internasional. PBB (dibentuk
tahun 1945) sidang pertamanya tahun 1946 memilih New York sebagai markas
besarnya. Dulu markas besarnya di San Fransisco, tetapi orang-orang Yahudi
berusaha keras memindahkannya ke New York, hal ini karena New York dianggap
sebagai kota Yahudi tempat mereka berkumpul di AS. PBB adalah sebuah wadah
dunia yang dikuasai Yahudi, mulai dari Majelis Umum hingga divisi-divisi
kecilnya. Menurut data dari sekretariat jendral PBB, dalam MU tercatat
orang-orang Yahudi sebagai berikut : H.S. Bluck (kepala urusan persenjataan),
Anthony Colack (kepala urusan ekonomi), Annez Kar Rosenberg (Perundingan khusus
urusan ekonomi), Dr. Shekweil (Kepala bidang HAM), H.S. Weilkof (kepala bagian
pengawasan negara jajahan) dan Dr. I sanger (kepala bagian evakuasi) Dewan
Keamanan (DK). Badan ini beranggotakan 15 negara dan 5 negara diantaranya
negara-negara anggota tetap. Dalam penyelesaian konflik DK cenderung
menggunakan cara-cara zionis sehingga penyelesaian sering berakhir melalui cara
militeristik (contohnya cara penyelesaian masalah senjata pemusnah massal
Irak). Hak Veto yang dimiliki beberapa anggota DK hanya digunakan untuk
kepentingan zionis. Melaui hak veto inilah mereka leluasa menolak resolusi yang
akan merugikan Yahudi dan Israel.[8]
Peristiwa Nazi Jerman atas prakarsa Hitler
mengadakan propaganda besar-besaran untuk mengusir kaum Yahudi, akibatnya media
masa yang didominasi Yahudi segera mengekspos beberapa versi pembantaian masal
atas kaum Yahudi. Dengan mengangkat hal ini kaun Yahudi meminta keadilan. dalam
hal ini PBB mengeluarkan resolusi 181 pada 29 November 1947 dan memberikan 55%
tanah Palestina untuk Israel. Mengapa atas hal yang dilakukan oleh Nazi bangsa
Palestina yang harus menanggung deritanya.
Ketertutupan Yahudi akan masalah politik mungkin bisa
dikatakan bahwa dalam hal inilah Yahudi benar-benar fokus untuk mencapai
tujuannya. Hal ini dapat dilihat bahwa Zionisme mempunyai peranan yang
senantiasa penting dalam berbagai jabatan-jabatan penting dalam struktur
negara, organisasi, masyarakat yang sangat menetukan pola perubahan masyarakat
dan dunia.
Mengutip tentang
moto “Freemasonry” ialah membangun “Satu Pemerintahan Dunia” (“E
Pluribus Unum”), dan “Tata Dunia Baru” (“Novus Ordo Seclorum”).
Dari sebuah makna tersebut terlihat bahwa memang tujuan dari Zionisme adalah
membentuk sebuah tatanan baru dunia dimana bangsa Yahudi adalah sebagai ras
yang dianggap paling unggul didalamnya dan menguasai semua aspek kehidupan.
Melalui dominasi atas ekonomi, politik dan
organisasi-organisasi dunia, Yahudi berhasil mengeruk keuntungan. Pada
perkembangannya sepak terjang Yahudi tidak senantiasa mulus, karena ternyata
ada juga pemimpin-pemimpin besar dunia yang anti dengan Yahudi dan menolak
eksistensi Yahudi, walau karir politiknya atau bahkan nyawa taruhannya.
diAmeriak muncul nama-nama seperti “ Benjamin Franklin “ dalam pidatonya
mengatakan : “ Dulu orang Yahudi masuk ke negara ini sebagai imigran dekil.
Kemudian mereka menguasai potensi-potensi alam kita, sekarang mereka begitu
sombong kepada kita dengan memonopoli kekayaan alam kita. Mereka adalah
iblis-iblis jahanam dan kelelawar penghisap darah rakyat Amerika. Tuan-tuan
usir gembel-gembel laknat itu dari negeri ini sebelum terlambat, demi
melindungi kepentingan rakyat kita dan generasi mendatang”.[9]
2.
Membentuk negara Yahudi di
Palestina, Berbeda dengan proyek yang pertama, proyek yang kedua dilakukan
dengan meminta perhatian dan melibatkan dukungan dari seluruh dunia. Untuk
kepentingan itu kaum Zionis dengan cerdik hanya meributkan soal Palestina, dan
persoalan itu tidak ditengarai sebagai rencana kolonialisasi yang ambisius yang
tidak biasa. Gagasan tentang “Tanah Air” bagi orang Yahudi begitu cerdiknya
disemai, sehingga menjadi tabir-asap yang efektif untuk merampas tanah milik
bangsa Arab- Palestina. Agenda mengenai Palestina digunakan juga untuk menipu
publik menutupi berbagai kegiatan rahasia yang mereka jalankan.
Politik yang kedua ini sebenarnya tidak identik
dengan keinginan bangsa Yahudi seutuhnya karena kenyataannya tidak semua bangsa
Yahudi setuju untuk pindah ke Palestina. Hal tersebut dikarenakan masyarakat
Yahudi tidak setuju dengan Zionisme walaupun sebenarnya Zionisme adalah
penyebab eksodusnya masyarakat Yahudi dunia.
Untuk memperbaiki citra buruk yang telah
tersemat dalam Bangsa Yahudi mereka mengatakan hanya ada satu jalan dan itu
dengan mendominasi media massa internasional. Citra buruk yang sulit untuk
merubahnya, tetapi setalah terjadinya tragedi Holocaust, hal tersebut
dimanfaatkan dengan sedemikian rupa oleh bangsa Yahudi terutama dalam hal media
massa untukm mengubah opini dunia tentang mereka. Hal tersebut berhasil menarik
simpati masyarakat dunia terutama Eropa dan Amerika sehingga timbul rasa
bersalah, iba, kasihan dan nantinya berubah menjadi bentuk dukungan.
C.
Upaya Mewujudkan Negara
Yahudi (Israel) Di Palestina
a.
Anggapan Zionisme, “Palestina sebagai tanah air
bangsa Yahudi”
Theodorl Herzl seorang bapak Zionisme dunia, di Vienna
pernah mengatakan, “Yahudi harus mempunyai Negara sendiri”. Pandangan zionisme
herzl memang suatu harapan yang sangat diyakini betul akan menjadi kenyataan.
Perjuangan zionisme untuk mewujudkan tanah air untuk bangsa Yahudi dilakukan
dengan gigih, terorganisir dan penuh kewaspadaan. Herzl, sang pendiri Zionisme, suatu kali memikirkan
Uganda, dan ini lalu dikenal sebagai "Uganda Plan." Sang Zionis
kemudian memutuskan Palestina. Alasannya adalah Palestina dianggap sebagai
"tanah air bersejarah bagi orang-orang Yahudi", dibandingkan segala
kepentingan keagamaan apa pun yang dimilikinya untuk mereka.
Para punggawa Zionisme selalu mencari celah dan terus berusaha agar
keinginannya untuk mendapatkan Palestina dapat terwujud. Mengingat bahwa
Palestina masih berada di bawah kekuatan Islam Turki Ustmaniyah bahkan sampai
konferensi Zionisme Internasional di Basel tahun 1897. Sebelum konferensi di
Basel, Herzl pernah menawarkan sejumlah uang yang mencapai ratusan juta
poundsterling kepada sultan Turki, Abdul Hamid II yang mengalami kesulitan
financial Karena keadaan politik yang kacau. Akan tetapi Herzl menginginkan
balasannya yaitu tanah Palestina untu bangsa Yahudi, Sultan tentu menolak
tawaran tersebut, karena merugikan rakyat Palestina yang bukan Yahudi.
Pergerakan Zionisme tidak berhenti sampai disitu, Theodorl Herzl bersama
Zionis lainnya terus mempropagandakan keinginannya kepada penguasa-penguasa di
Negara lain, seperti kepada Inggris yang juga memiliki kepentingan untuk
mendapatkan bantuan biaya PD I dari kelompok Zionis.
Pengusiran
penduduk Arab-Palestina merupakan keharusan dari pemikiran Zionisme,
sebagaimana telah dijelaskan Herzl pada tahun 1895. Kaum pendahulu Zionis menempuh
beberapa strategi untuk mencapai tujuan mereka. Pertama, melalui
imigrasi orang Yahudi; pada saat awalitu banyak kaum Zionis dan para
pendukungnya yang sungguh-sungguh percaya bahwa imigrasi orang Yahudi dalam
jumlah besar akan dapat dalam waktu singkat memecahkan “masalah Palestina”
dengan membangun masyarakat Yahudi sebagai mayoritas. Kedua, yang lain
meyakini, bilamana sejumlah petani dan buruh Arab-Palestina ditutup kesempatan
kerjanya, maka hasilnya akan memaksa orang Arab-Palestina bermigrasi
meninggalkan Palestina. Ketiga, dalam kenyataannya, kedua rencana di
atas itu kurang begitu diketahui, karena rencana ini lebih banyak
diperbincangkan di koridor-koridor kekuasaan di Berlin, London, dan Washington,
dalam rangka mendapatkan dukungan (‘sponsorship’) dunia internasional,
sekaligus untuk mendapatkan legitimasi terhadap klaim kaum Yahudi sebagai
imbangan terhadap hak-hak kaum mayoritas penduduk Arab-Palestina.
Sejak
awal impian kaum Zionis mendirikan negara Yahudi mengacu kepada dua sasaran
yang bersifat komplementer dan sekaligus mutlak, yaitu: (1) mendapatkan sebuah
tanah air, dan (2) menggantikan penduduk mayoritas Arab-Palestina baik dengan
cara tidak mengakui hak-hak mereka, mengatasi jumlah mereka, atau mengusir
merekadengan cara apa pun. Meskipun Theodore Herzl dan kaum Zionis lainnya
menjanjikan bahwa orang Yahudi dan Arab-Palestina akan hidup berdampingan
secara damai dan bahagia, namun tidak ada jalan lain yang terbuka untuk mendirikan
negara Yahudi di Palestina sebagaimana yang didambakan oleh kaum Zionis kecuali
dengan cara-cara tersebut di atas.
b.
Palestina di Bawah Mandat
Inggris
Wilayah Palestina sebelum Perang
Dunia I berada dalam kekuasaan Turki Utsmani. Akan tetapi, setelah kekalahan
Turki Utsmani pada Perang Dunia I berdampak terhadap lepasnya wilayah Palestina
yang kemudian dimandatkan kepada Inggris, salah satu pihak sekutu.
Pasca Perang Dunia I usaha pendekatan
kepada pemerintahan Inggris semakin gencar dilakukan oleh kelompok Zionis.
Lobbi Zionis Yahudi terhadap Inggris menghasilkan Deklarasi Balfour pada
tanggal 12 November 1917 yang ditandatangani menteri luar Negeri Inggris Arthur
James Balfour, dimana Inggris mengakui hak-hak Yahudi bersejarah atas
Palestina, selanjutnya bersedia menyediakan fasilitas untuk terbentuknya satu
tempat tinggal bersifat nasional bagi umat Yahudi.
c.
Deklarasi Balfour
Kaum Zionis dengan salah satu tokohnya Chaim Weizmann mampu meyakinkan
menteri luar negeri Inggris bernama Arthur James Balfour dengan sejumlah
iming-iming. Salah satu diantaranya adalah teknologi peralatan perang. Weizmann
adalah seorang ahli kimia yang terkenal karena keberhasilannya mensintesiskan
aseton melalui fermentasi. Aseton diperlukan untuk menghasilkan cordite, bahan
pembakar dalam senjata api untuk melesatkan peluru. Ketika itu, Jerman
memonopoli ramuan aseton tersebut sedangkan Inggris tidak bisa menciptakan
aseton tersebut. Tanpa aseton takkan ada cordite, jadi tanpa cordite Inggris
saat itu mungkin akan kalah perang besar. Dengan iming-iming transfer teknologi
itulah Balfour menyetujui permintaan kaum Zionis untuk melakukan migrasi
besar-besaran di bumi Palestina.
Memanfaatkan
situasi yang ada Chaim Weizmann pada tahun 1917 menulis surat kepada Parlemen
Inggris untuk meminta dukungan dan persetujuan Inggris untuk membentuk sebuah
negara Yahudi di Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1917 menteri luar-negeri
Inggeris Lord Balfour mengirimkan nota kepada Parlemen Inggris dengan isi,
antara lain, “Menurut pendapat pemerintah Inggeris, mempertahankan
Terusan Suez akan mencapai hasil maksimal dengan mendirikan suatu negara
Palestina yang terikat dengan kita. Dan mengembalikan orang Yahudi ke Palestina
di bawah pengawasan Inggeris akan menjamin rencana ini.” Parlemen
Inggris memberikan persetujuannya, dan dengan dasar dukungan itu Lord Balfour
kemudian mengirim surat pada hari yang tidak jauh berselang kepada Baron
Rothschilds yang intinya berbunyi, “Pemerintahan Sri Baginda dengan
segala senanghati merestui pembentukan Tanah Air bagi kaum Yahudi di Palestina,
dan akan menggunakan segala upaya untuk memfasilitasi tercapainya tujuan ini”.
Pada tahun 1917 terdapat 56.000 orang Yahudi di Palestina, dan 644.000
orang Arab Palestina. Pada 1922 terdapat
83.797 orang Yahudi dan 633.000 orang Arab. Pada 1931 terdapat 174.616 orang
Yahudi dan 750.000 orang Arab.[10]
Dengan membentuk aliansi dengan Inggris, Zionis memperoleh dukungan kuat untuk
menaklukan negeri tersebut. Tahun 1931, 20.000 keluarga petani diusir oleh
orang-orang Zionis. Selain itu bukan hanya kehilangan tanah pedesaan saja,
masyarakat Palestina juga tengah dihancurkan oleh proses kolinialisasi.
Dukungan
Inggris kepada terbentuknya negara Yahudi itu terkait erat dengan kepentingan
imperialisme global Inggris sebagaimana ditegaskan oleh Winston Churchill pada
tahun 1921, menteri luar-negeri Inggris pada waktu itu, bahwa “Kalau
Palestina tidak pernah ada, maka menurut keyakinan saya, demi
kepentingan Imperium, ia harus diciptakan”.
d.
Keterlibatan
Internasional dalam pendirian Negara Israel
Upaya mendirikan Negara Yahudi yang
benar-benar dilandasi dan diakui hukum Internasional seperti apa yang diidamkan
oleh bapak Zionisme Yahudi Internasional, semakin mendekati kenyataan pada
tahun 1940-an. Suasana penyelesaian Perang Dunia II yang diakhiri oleh
kenyataan pahit bangsa Yahudi yang menjadi korban kekejaman dan Pembantaian
Nazi Jerman semakin ter”ekspos” oleh
media massa Internasional yang banyak dikuasai pula oleh orang-orang Yahudi
Zionis. Kecerdikan mengubah opini publik ini semakin memantapkan pergerakan
Zionisme kepada sebuah perwujudan keinginan yang telah dinantikan sejak
konferensi Zionisme Internasional di Bazel, yaitu membentuk negara Yahudi di
tanah suci Palestina.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
sebagai kelanjutan dari Liga Bangsa-Bangsa (LBB), mengambil alih menangani
masalah di Palestina tahun 1947 yang sebelumnya telah lama berada dalam kendali
Inggris. Resolusi 181 yang ditetapkan pada 29 November 1947 menjadi landasan
utama Israel mendeklarasikan Negara Israel sebagai Negara yang berdaulat penuh
pada tanggal 14 Mei 1948. Resolusi 181 keluar atas tekanan pemerintahan Truman
terhadap sejumlah Negara anggota PBB. Pemungutan suara di Majelis Umum PBB
menghasilkan suara setuju sebanyak 33 suara, 13 suara menolak, dan 10 absten.
Tetapi Inggris yang kala itu memegang mandat atas Palestina tidak mendukung
pemisahan Palestina, disebabkan tekanan dari Negara-negara Arab.
Langkah kemudian setelah berdirinya Negara Israel tahun 1948, para
Zionis Israel terus mengupayakan perluasan wilayah di Palestina. Gerakan teror
terus dilancarkan guna mengusir bahkan sampai memusnahkan masyarakat Palestina
di tanahnya sendiri. David Ben-Gurion,
perdana menteri Israel yang pertama menyatakan
“Perang Kemerdekaan” , dan bertekad untuk merebut kembali Tanah Israel yang ditetapkan oleh Konferensi
Perdamaian Versailles
1919. “Kita harus menyerang di semua lini. Tidak hanya sebatas wilayah Palestina, atau
wilayah Israel semata”.
Konsep agama
ini oleh Kaum Zionis sekuler tetap dipertahankan, tetapi lebih dikembangkan, disesuaikan dengan ambisi gerakan Zionisme. Ketika ditanya tentang batas-batas
negara Israel, Chaim Weizmann, presiden
pertama negara Israel, menegaskan, “Luas
negara Israel tidak
ditentukan. Luasnya akan disesuaikan
dengan kebutuhan dan jumlah
penduduknya”. Perdana
menteri Israel Golda Meir bahkan
dengan congkak menyatakan,
luas negara Israel adalah “sejauh
yang dapat dicapai oleh
militer Israel”.
- Terorisme-Zionisme
- Teror Zionisme
Zionis Israel
menjadikan terorisme sebagai strategi andalan untuk mewujudkan cita-citanya.
Bagi Zionis Israel, cara-cara teroristik dianggap legal dan lazim jika
ditujukan kepada Palestina dan para penentang terbentuknya negara Yahudi. Sejak
Israel melakukan agresi ke Lebanon dan Palestina, lebih dari 750 warga sipil
Lebanon dan 150 warga Gaza, Palestina gugur. Bagi Israel, tidak ada perbedaan
antara warga sipil dan militer, dewasa dan anak-anak, laki-laki dan perempuan,
semuanya bisa menjadi sasaran serangan militer jika hal itu diyakini dapat
melemahkan musuhnya. Meski sebagian besar masyarakat internasional, kecuali AS
dan Inggris, mengutuk tindakan biadab itu dan menyeru gencatan senjata, Zionis
mengabaikannya. Dalam pandangan Israel, hukum internasional, tata krama
pergaulan dunia dan bahkan resolusi PBB sekalipun tidak ada artinya kalau tidak
sejalan dengan kepentingan nasionalnya.
Sebelum
pemerintahan Israel didirikan, kelompok Haganah, Irgun, dan Stern bertanggung
jawab atas pengusiran orang-orang Palestina dari tanah mereka. Organisasi
teroris sebelum 1948 dan tentara Israel setelah 1948 ini melakukan kampanye
teroris atas penduduk sipil Arab. Kelompok itu menerapkan cara-cara teror
seperti penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan untuk mengusir orang-orang
Palestina dari tanah mereka. Hampir tidak ada hari tanpa darah tertumpah dari
orang yang tak bersalah di Palestina. Teror itu berlangsung secara massif dan
keji sehingga terjadi pengungsian bangsa Palestina secara besar-besaran guna
menyelamatkan diri. Tanah dan rumah-rumah yang telah ditinggalkan bangsa
Palestina kemudian diduduki dan dijadikan permukiman Yahudi. Tidak ada
pembantaian yang ditujukan kepada kelompok-kelompok bersenjata tetapi kepada
orang-orang sipil.
Beberapa contoh setengah abad
pemerintahan terror Israel :
1.
Pembantaian King
David, 1946 :92 tewas
Serangan
ini dilakukan oleh organisasi teroris Irgun dan dengan sepegetahuan David Ben
Gurion, penjabat teras Zionis pada masa itu. Sejumlah 92 orang terdiri dari
orang Inggris, Palestina dan Yahudi terbunuh dan 45 terluka parah.
2.
Pembantaian Baldat
Al-Shaikh, 1947 : 60 tewas
60
orang tewas yang diantaranya wanita, anak-anak dan orang tua kehilangan
nyawanya karena serangan yang dilakukan oleh 150-200 teroris zionis. Serangan
pada pukul 2 pagi dan berlangsung selama 4 jam.
3.
Pembantaian Yehida,
1947 : 13 tewas
Yehida
pemukiman pertama Zionis, para penyerang memakai pakaian tentara Inggris
menembaki orang-orang Islam.
4.
Pembantaian Khisas,
1947 : 10 tewas
Dua
mobil anggota Haganah memasuki desa Khisas di perbatasan Libanon dan melakukan
penembakan pada seseorang yang melintasi jalan mereka.
5.
Pembantaian Qazaza,
1947 : 5 anak tewas
5
anak tewas ketika teroris zionis menembaki sebuah rumah dengan membabi buta.
6.
Pembantaian Hotel
Semirami, 1948 : 19 tewas
Dalam
upaya membuat warga Palestina merasa tidak aman dan memaksa mereka keluar dari
Yerusalem. Sekelompok Zionis yang dipimpin oleh persiden pertama Israel David
Ben Gurion meledakan hotel Semirami dan 19 orang tewas.
7.
Pembantaian Naseral
al-Din, 1948
Sekelompok
teroris Zionis berpakaian tentara Arab menembaki penduduk kota yang
meninggalkan rumahnya. Hanya 40 orang yang lolos dari pembunuhan ini. Kemudian,
desa tersebut terhapus dalam peta.
8.
Pembantaian
Tantura, 1948 : 200 tewas
Tantura,
sekarang rumah dari sekitar 1500 pemukim Yahudi, adalah sebuah tempat pembantaian
besar-besaran atas orang-orang Islam pada tahun 1948.
9.
Pembantaian Masjid
Dahmash 1948 : 100 tewas
Pembantaian
100 orang Islam bermaksud mencari tempat perlindungan justru dibantai di masjid
ini. Para penduduk yang ketakutan di Laydda dan Ramla meninggalkan tanahnya.
Sekitar 60.000 orang Palestina keluar dari negerinya dan 350 orang lebih tewas
dalam perjalanan karena kesehatan yang parah.
10. Pembantaian
Dawayma, 1948 : 100 tewas
Sebagaian
besar terbunuh tengah berada di Masjid untuk melakukan solat Jumat.
Wanita-wanita di Palestina diperkosa selama serangan ini, sementara
rumah-rumahnya yang masih ada penghuni di dalamnya diledakan dengan dinamit.
11. Pembantaian
Houla, 1948 : 85 tewas
Tentara
Isreal memaksa 85 orang untuk masuk ke dalam sebuah rumah, kemudian rumah itu
dibakar, penduduk yang ketakuatan melarikan diri ke Beirut. Dari 12.000
penduduk asli Houla, hanya 1200 orang yang tersisa.
12. Pembantaian
Salha, 1948 : 105 tewas
Penduduk
disuatu desa dipaksa masuk ke masjid lalu mereka dibakar hingga tidak ada
seorangpun yang tersisa hidup-hidup.
13. Pembantaian
Deir Yasin, 1948 : 254 tewas
Pembantaian
di Deir Yassin pada 1948 yang dilakukan
oleh organisasi teroris Irgun dan Stem, yang dipimpin Menachem Begin yang
kemudian menjadi PM Israel. Pada malam 9 April 1948, rumah-rumah penduduk di
Deir Yassin dibakar dan semua orang yang mencoba melarikan diri dari api
ditembak mati. Selama serangan ini, wanita-wanita hamil dicabik perutnya dengan
bayonet, anggota tubuhnya dipotong-potong, dan lainnya diperkosa. Sekitar 52
orang anak-anak disayat-sayat tubuhnya di depan mata ibunya, lalu mereka
dibunuh secara keji. Para Zionis menjadikan serangan seperti itu untuk meneror
orang-orang Palestina dan mengusir mereka dari tanah mereka sehingga imigran
Yahudi punya tempat untuk hidup.
14. Pembantaian
di Qibya, 1953 : 96 tewas
Pembantaian Qibya, yang terjadi pada
13 Oktober 1953, meliputi penghancuran 40 rumah dan pembunuhan 96 orang sipil,
sebagian besar di antara mereka wanita dan anak-anak. Unit “101” ini dipimpin
oleh Ariel Sharon, yang nantinya juga menjadi salah satu perdana menteri
Israel. Sekitar 600 tentaranya mengepung desa itu dan memutuskan hubungannya
dengan seluruh desa Arab lainnya. Begitu memasukinya pada pukul 4 pagi, para
teroris Zionis mulai secara terencana memusnahkan rumah-rumah dan membunuh
penduduk-penduduknya.
15. Pembantaian
Kafr Qasem, 1956 : 49 tewas
Serangan di Kafr Qasem, ketika 49
orang tak bersalah, tanpa memandang wanita atau anak-anak, tua atau muda,
dibunuh dengan brutal, terjadi pada 29 Oktober 1956. Pada hari itu juga, Israel
melancarkan serangannya atas Mesir. Tentara garda depan Israel melakukan
pembersihan sekitar pukul 4 sore, dan menyatakan bahwa mereka telah mengamankan
perbatasan. Mereka berkata pada pejabat setempat di kota-kota perbatasan bahwa
jam malam untuk kota tersebut mulai hari itu akan dimulai pukul 5 sore, bukan 6
sore seperti biasanya. Salah satu kota tersebut adalah Kafr Qasem, di dekat
pemukiman Yahudi di Betah Tekfa. Para penduduk kota baru diberitahu tentang jam
malam tersebut pada pukul 4.45 sore. Pejabat setempat memberi tahu tentara
Israel bahwa sebagian besar penduduk kota bekerja di luar kota, dan begitu
mereka kembali dari kerjanya, mereka tidak mungkin mengetahui tentang perubahan
tersebut. Pada saat yang sama, tentara Israel mulai mendirikan barikade di
jalan masuk kota. Sementara itu, orang-orang yang bekerja di luar kota pun
mulai kembali ke rumahnya. Tentara Israel menghentikan setiap
kendaraan yang mencoba memasuki kota itu dan menembak mati orang-orang di
dalamnya. Di antara mereka ada anak laki-laki berusia 15 dan 16 tahun, remaja
putri, dan wanita hamil. Orang-orang yang mendengarkan keributan dan keluar
melihat apa yang terjadi ditembak karena melanggar jam malam begitu mereka
melangkah ke luar. Tentara Israel diperintahkan bukan untuk menahan, melainkan
menembak mati semua yang melanggar jam malam.
16. Pembantaian
Khan Yunis, 1956 : 275 tewas
Tentara Israel yang menyerang
kamp-kamp pengungsian di Khan Yunis membunuh 275 orang.
17. Pembantaian
di Kota Gaza, 1956 : 60 tewas
Dalam serangan ini, para Zionis
membunuh 60 orang, termasuk wanita dan anak-anak.
18. Pembantaian
Fakhsni, 1981 : 150 tewas
Akibat serangan udara Israel atas
daerah Libanon, 150 orang tewas dan 600 luka-luka.
- Pembantaian di Mesjid Ibrahimi, 1994: 50 tewas
Pada
hari Jum’at, 25 Februari 1994, suatu pembantaian mengerikan terjadi di
Palestina. Dalam sebuah serangan yang dilakukan oleh seorang Yahudi Zionis atas
umat Islam yang tengah sholat Jum’at di Mesjid Ibrahimi, lebih dari 50 orang
Islam tewas dan hampir 300 orang luka-luka. Beberapa orang yang terluka
kemudian tewas karena luka yang dideritanya. Pembantaian ini dilakukan oleh
seorang Yahudi yang tinggal di pemukiman Yahudi Kiryat Arba di Hebron. Sang
teroris juga menjadi anggota cadangan di angkatan bersenjata Israel dan anggota
sebuah organisasi teroris Zionis. Sumber-sumber di Israel melaporkan bahwa ia
mengenakan seragam militer selama serangan tersebut. Penyerang menyusup ke
dalam mesjid dan bersembunyi di belakang sebuah tiang sewaktu orang Islam
melaksanakan sholat Subuh. Ketika mereka tengah rukuk bersama, ia memberondong
mereka dengan sebuah senapan mesin. Menurut laporan saksi mata, ia tidak
melakukannya sendiri, ia hanya menarik picunya saja. Begitu senjatanya kosong,
temannya mengganti dengan yang baru. Setelah kejadian ini,
tentara Israel mengepung mesjid itu dan mencegah wartawan mendekatinya. Begitu
banyak orang yang tewas ketika para tentara ini menembaki orang-orang Islam
Palestina yang berdemonstrasi di sekitar mesjid untuk memprotes serangan tersebut.
- Pembantaian Qana, 1996: 109 tewas
Lebih
dari 100 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, kehilangan jiwanya di kamp
pengungsi Qana ketika mereka dibom oleh angkatan udara Israel. Pemandangan
mengerikan karena pembantaian ini, termasuk anak-anak yang dipenggal kepalanya,
tidak akan pernah terlupakan. Suatu tim pemeriksa dari PBB memastikan bahwa
pembantaian ini disengaja.
- Pembantaian Sabra dan Shatilla
serangan
Israel atas kamp pengungsi Sabra dan Shatilla selama penyerangan Libanon 1982
akan tercatat dalam sejarah sebagai salah satu tindakan pembantaian etnis
terburuk yang pernah dilakukan oleh Zionis. Selama serangan oleh kelompok
Phalangis Kristen Libanon, dengan dukungan dan arahan tentara-tentara Israel,
lebih dari 3000 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, terbunuh.
Penelitian dan penyelidikan setelah itu memperlihatkan bahwa Ariel Sharon, yang
saat itu menteri pertahanan Israel dan sekarang perdana menteri, bertanggung
jawab atas operasi tersebut. Karena serangan berdarah ini, sekarang pun ia
masih dikenal sebagai “Tukang Jagal dari Libanon." Bagi setiap orang yang
berada di kamp pengungsian Sabra dan Shatilla di Beirut pada 18 September 1982,
namanya (Ariel Sharon) sama artinya dengan penjagalan, dengan mayat-mayat yang
membengkak, dengan wanita-wanita yang terburai isi perutnya, dengan mayat-mayat
bayi, dengan pemerkosaan, penjarahan dan pembunuhan.
- Berdirinya Palestina
Palestina
berdiri sebagai sebuah negara secara resmi diumumkan Ketua Organisasi
Pembebasan Palestina (PLO), Yaser Arafat yang kemudian menjadi presiden
Palestina di pusat pemerintahan di Pengasingan, Aljazair. Tapi PBB tidak
mengakuinya. Sebaliknya lembaga internasional turut memberi dukungan kepada
Palestina. Sekretaris Jenderal PBB mengundang Yasser Arafat untuk menyampaikan
pidato dalam sidang di New York pada Desember 1988. Namun pemerintah Amerika
Serikat menolak memberi visa masuk pada Arafat, sidang dipindahkan ke Jenewa. [11]
[1] http://www.mail-archive.com/islamkristen@yahoogroups.com/msg13388.html,
diakses pada 4 Maret 2010, pukul 13.00.
[2] http://fahmirusydi.multiply.com/journal/item/11,
diakses pada 4 Maret 2010, pukul 15.00 wib.
[3] Harun Yahya, Palestina 1:
Zionisme dan Terorisme Israel,
( Bandung : Dzikra,2003), h. 41.
[4]http://aqsaworkinggroup.com/berita/kegiatan/kesatuan-umat-sebagai-kunci-membebaskan-al-aqsha.html,
diakses pada 5 Maret 2010, pukul 11.00 wib
[5] Z.A. Maulani,
Zionisme : Gerakan menaklukan
Dunia, ( Jakarta:Daseta, 2002), h.7
[6] Harun Yahya, Op.Cit , h. 45
[7] Z.A. Maulani, Op.Cit, h. 209
[8] http://ainuamri.blogsome.com/2009/09/30/p606/,
diakses pada 6 Maret 2010, pikul 15.00
[9] Faud Bin Sayyid Abdurrahman
Arrifa’i, Yahudi dalam Informasi dan Organisasi, ( Jakarta:Gema Insani
Press. 2002 ), h. 69.
[11] Anwar M. Aris. Israel Is Not Real, (Jakarta : Rajut Publishing House,
2009), hal. 38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar