Sabtu, 03 Desember 2011

Makalah Filsafat

BAB  I
PENDAHULUAN


1.1   Latar Belakang
        Pada abad ke-17 pemikiran Renaissance mencapai penyempurnaannya pada diri beberapa masing-masing tokoh besar. Pada abad ini tercapailah kedewasaan pemikiran. Sekarang terdapat kesatuan memberi semangat yang diperlukan bagi abad-abad berikutnya.
          Oleh karena itu pada masa abad ini yang dipandang sebagai sumber pengetahuan yang secara ilmiah dapat dipakai manusia, yaitu akal manusia (rasio), dan pengalaman (empiri), padahal orang-orang sangat cenderung memberi tekanan kepada salah satu dari keduanya itu, maka pada abad ini timbul 2 aliran yang saling bertentangan, yaitu rasionalisme dan empirisme.
          Aliran Rasionalisme berpendapat, bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang lebih perlu lagi adalah mutlak, yaitu syarat yang di tuntut oleh semua pengetahuan ilmiah.
          Aliran Empirisme berpendapat, bahwa empiris atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman yang batiniah maupun yang lahiriah. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan yang diperoleh dari pengalaman seseorang itu sendiri. Serta metode keilmuan, kombinasi antara Rasionalisme dan Empirisme. Semua aliran ini, seperti yang tampak pada Bacon, yang masih menganut semacam realisme yang naif, yang menganggap bahwa pengenalan yang diperoleh melalui pengalaman, tanpa penyelidikan lebih lanjut, telah mempunyai nilai yang objektif.





1.2   Rumusan Masalah
        Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan beberapa masalah yaitu:
-          Penjelasan mengenai Rasionalisme dan tokoh-tokoh yang berpendapat.
-          Kritik terhadap Rasionalisme.
-          Penjelasan mengenai Empirisme pada abad ke-17 serta tokoh-tokoh yang meneruskannya.
-          Kritikan terhadap Empirisme.
-          Filsafat di Jerman.
-          Metode keilmuan: Kombinasi antara rasionalisme dan Empirisme.


1.3   Tujan Penulisan
         Adapun tujuan penulisan mmengenai filsafat dalam abad ke-17 yaitu:
  1. Mengetahui segala sesuatu secara menyeluruh dan sistematis pada filsafat ilmu.
  2. Mengetahui tokoh-tokoh yang berbeda pendapatnya pada filsafat abad ke-17.


1.4   Metode Penulisan
          Metode yang saya gunakan dalam makalah ini adalah studi pustaka dengan referensi sumber-sumber yang ada di dalam buku Filsafat Ilmu.











BAB   II
PEMBAHASAN



2.1   Rasionalisme
          Rasionalisme adalah sumber pengetahuan yang dapat diterima atau dipercaya secara masuk akal (rasio). Kaum rasionalisme mulai dengan suatu pernyataan yang sudah pasti atau jelas. Yang memberi alasan kepada aliran ini adalah RENE DESCARTES atau CARTESIUS (1596-1650), biasa disebut ”Bapa Filsafat modern”. Semula ia belajar ilmu hukum, ilmu kedokteran dan ilmu alam. Pada tahun 1619 ia memperoleh jurusan yang pasti dalam studinya. Menurut pendapatnya wahyu ilahi, yang isinya ilmu pengetahuan haruslah satu, tanpa bandingannya, serta harus disusun oleh satu orang sebagai suatu bangunan menyeluruh yang dapat berdiri sendiri menurut satu metode yang umum.
          Ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu yang pasti. Ilmu pasti akan pasti menjadi suatu contoh bagi cara mengenal atau mengetahui yang maju. Ilmu pasti bukanlah metode yang sebenarnya bagi ilmu pengetahuan. Misalnya: pengetahuan yang telah kita dapatkan melalui penginderaan, pengetahuan tentang adanya benda-benda dan adanya tubuh kita, dan pengetahuan tentang Allah.
          Sebenarnya Descartes menganggap bahwa pengetahuan memang dihasikan oleh indera, tetapi karena dia mengakui bahwa indera itu bisa menyesatkan (seperti yang ada dalam mimpi atau khayalan), maka dia terpaksa mengambil kesimpulan bahwa data dari keinderaan tidak dapat diandalkan. Kemudian dia menguji kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, tetapi dia tidak dapat menemukannya, bahwa dia dapat membayangkan Tuhan yang mungkin bisa menipu kita sebagai manusia. Dalam kesungguhannya mencari dasar yang mempunyai kepastian yang mutlak ini, Descartes meragukan adanya surga dan dunia, pikiran dan badani. Satu-satunya hal yang tidak dapat dia ragukan lagi adalah eksistensi dirinya sendiri, dia tidak meragukan lagi bahwa dia sedang ragu-ragu.
          Hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan lagi. Mengenai suatu hal lain, tidak ada seorang pun yang dapat menipu kita, juga iblis tidak dapat, yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan segla sesuatu). Ini bukan khayalan melainkan kenyataan.
          Di sini yang dipakai sebagai teladan adalah pemikiran di dalam ilmu pasti, yang senantiasa bekerja dengan titik-titik keberangkatan yang dirumuskan dengan jelas dan dalam pengertian-pengertian yang jelas dan terpilah-pilah.
           Bagi manusia pertama-tama yang jelas dan terpilah-pilah adalah pengertian ”Allah” sebagai tokoh yang secara sempurna tidak terbatas atau berada di mana-mana. Di dalam roh kita ada suatu pengertian atau suatu idea tentang sesuatu yang secara sempurna dan tiada batasannya. Pengertian-pengertian atau idea-idea itu semula dikenal dalam realitasnya sendiri. Pikiran menemukan dalam dirinya sendiri idea-idea itu sebagai gagasan-gagasan, yang menampakkan diri sebagai mencerminkan obyek-obyek atau sasaran-sasaran di luar kita. Pikiran bukan mentaati hal-hal yang di luar, melainkan mentaati hukuman-hukumanya sendiri yang ada padanya. Pikiran tidak tergantung kepada dunia luar, melainkan kepada dirinya sendiri. Kejelasannya adalah suatu hal yang bersifat subyektif.
          Supaya hakekat segala sesuatu dapat ditentukan dipergunakan pengertian-pengertian tertentu, yaitu: subtansi, atribut atau sifat dasar dan modus.
          Yang disebut subtansi adalah apa yang berada sedemikaian rupa, sehingga tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada. Subtansi yang dipikirkan seperti itu sebenarnya hanya ada satu saja, yaitu Allah.
           Atributif adalah sifat asasi. Tiap subtansi memiliki sifat asasinya sendiri, yang menentukan hakekat subtansi itu. Sifat asasi ini mutlak dan tidak dapat ditiadakan. Sifat asasi ini diandalkan oleh segala sifat yang lain.
           Yang disebut modus (jamak modi) adalah segala sifat subtansi yang tidak mutlak dan dapat berubah.
           Orang kedua yang akan kita bicarakan adalah BLAISE PASCAL (1623-1662), dia adalah seorang ahli ilmu pasti, ahli ilmu alam dan seorang filsuf. Dia berusaha untuk membela agama Kristen, yang mendapat serangan-serangan hebat karena dia merupakan pemikiran yang modern ini. Di satu pihak dia mendapatkan kesamaan dengan Descartes, mencintai ilmu pasti dan ilmu alam. Akan tetapi di lain pihak ia tampak berbeda dengan Descartes. Perbedaannya adalah terletak di sini, bahwa dia jauh melebihi Descartes dalam pengertian tentang sifat ilmu alam.
            Filsafat  Pascal mewujudkan suatu dialog di antara manusia yang konkrit itu dengan Allah. Di dalam jagat raya ini manusia bukanlah apa-apa, akan tetapi di tengah-tengah jagat raya ini manusia adalah satu-satunya makhluk berpikir. Oleh karena itu hanya manusialah yang dapat berkomunikasi dengan Allah.
            Orang ketiga yang akan kita bicarakan pada filsafat abad ke-17 adalah BARUCH SPINOZA (1632-1677). Seorang Yahudi, karena pandangannya yang terlalu liberal akhirnya ia dikucilkan dari sinagoge (1656).
            Rasionalismenya lebih luas dan lebih konsekuen dibanding dengan rasionalisme Descartes. Baginya di dalam dunia ini tidak ada hal yang bersifat rahasia, karena akal atau rasio manusia telah mencakup segala sesuatu. Bahkan Allah menjadi sasaran yang paling terpenting.
            Idea-idea yang jelas dan terpilah-pilah yang terdapat dalam jiwa manusia adalah idea-idea Allah. Idea-idea itu pasti akan sempurna dan pada dirinya menjadi jaminan kepastian. Idea-idea itu adalah sama dengan realitas di luar, karena sifatnya yang jelas dan terpilah-pilah. Jikalau terdapat hal-hal yang tidak benar dan yang menyesatkan, hal itu disebabkan karena ideanya yang telah ”dikudungkan”, yang tidak lagi mengandung pengetahuan yang benar.
           Latar belakang pemikiran Spinoza ini adalah pengertian tentang aktivitas. Allah yang tiada batasannya itu adalah aktivitas yang tak terhingga. Ajaran Spinoza di bidang metafisika menunjukkan kepada suatu ajaran monitis yang logis, yang mengajarkan bahwa dunia sebagai keseluruhan mewujudkan suatu subtansi tunggal.



2.2     Kritik Terhadap Rasionalisme
         1.   Pengetahuan rasional dibentuk oleh idea yang tidak dapat dilihat maupun
           diraba. Eksistensi tentang idea yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu
           sendiri belum dapat dikuatkan oleh semua manusia dengan kekuatan dan
           keyakinan yang sama.
           2.    Banyak di antara manusiayang berpikiran jauh merasa bahwa mereka
           menemukan kesukaran yang besar dalam menerapkan konsep rasional kepada
           masalah kehidupan yang praktis.
            3.    Teori rasional gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan
           pengetahuan manusia selama ini.



2.3     Empirisme
           Empiris adalah usaha manusia untuk mencari pengetahuan yang bersifat mutlak dan pasti telah berlangsung dengan penuh semangat dan terus-menerus. Para pemikir di Inggris bergerak ke arah yang berbeda dengan tema yang telah dirintis Descartes. Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalaman dia sendiri. Jika kita mengatakan kepada dia bahwa ada seekor ular di kamarnya sendiri, pertama dia minta kepada kita untuk menceritakan bagaimana kita sampai pada kesimpulan itu. Jika kemudian kita menjelaskan bahwa kita melihat ular itu di dalam kamar, baru kaum empiris mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita itu, namun dia hanya menerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat ular itu dengan mata kepalanya sendiri.
            Orang yang pertama pada abad ke-17 yang mengikuti aliran empiris di Inggris adalah THOMAS HOBBES (1588-1679). Yang mendapat pendidikannya di Oxford. Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap. Ia berpangkal pada empirisme secara konsekuen. Sekalipun ia berpangkal pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman modern. Baginya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum. Sebab filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau tentang penampakan-penampakan yang sedemikian seperti yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya, lagi pula dari sebabnya atau asalnya yang sedemikian.
             Tradisi empiris dilanjutkan oleh JOHN LOCKE (1632-1704), pertama kalinya menerapkan metode empiris kepada persoalan-persoalan tentang pengenalan atau pengetahuan. Locked berusaha menggabungakn teori empirisme seperti yang telah diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Penggabungan ini menguntungkan empirisme. Ia menentang teori rasionalisme yang mengenai idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia.
             Locke juga menentang kekuasan negara atas agama. Negara tidak boleh memeluk agama, tidak dapat memerintahkan atau meniadakan suatu dogma. Tiap warga negara bebas dalam soal keagamaan. Hak negara hanyalah untuk menindas teori-teori dan ajaran-ajaran yang membahayakan negara.
             Pandangan Locke yang mengenai agama bersifat deistis. Agama Kristen adalah agama yang paling masuk akal dibandingkan dengan agama-agama lain, karena dogma-dogma yang hakiki agama Kristen dapat dibuktikan oleh akal. Bahkan pengertian “Allah” itu di susun oleh pembuktian-pembuktian. Jadi Locke bukan berpangkal pada pengetian ”Allah” yang telah ada, lalu pengertian itu dibuktikan.



2.4     Kritik Terhadap Empirisme
         1.   Empiris didasarkan pada pengalaman. Kritikus kaum emipris menunjukan
           bahwa fakta tak mempunyai apa pun yang berifat pasti. Fakta itu sendiri
           menunjukkan hubungan di antara mereka terhadap pengamat yang netral. Jika
           dianalisis secara kritis maka ”pengalaman” merupakan pengertian yang terlalu
           samar untuk dijadiakan dasar bagi sebuah teori pengetahuan yang sistematis.
            2.   Sebuah teori yang menitikberatkan pada persepsi pancaindera kiranya
            melupakan kenyatan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak
            sempurna.
            3.    Empiris tak memberikan kita kepastian.


2.5       Filsafat Di Jerman
           Pada pertengahan abad ke-17 mulailah Jerman ikut menyumbangkan pikirannya dalam pemikiran Eropa. Sumbangan itu diwujudkan dalam buah pikiran G.W. LEIBNIZ (1646-1716). Ia adalah ahli pemikir modern Jerman yang pertama, kecuali seorang ahli filsafat ia adalah seorang ahli hukum, ahli sastra, ahli ilmu pasti dan ilmu alam, serta ahli teologia dan sejarah.
              Di dalam filsafat agamanya Leibniz menerapkan usahanya yang menuju kepada kesatuan dan harmoni atau keselarasan di bidang ajaran tentang keberadaan. Menurut dia, ada keselarasan di antara iman dan pengetahuan. Suatu keselarasan keagamaan (harmonia religiosa). Yang menghubungkan kawasan alamiah yang bersifat fisis dengan kawasan kasih karunia yang susila, serta yang mengandalkan keyakinan, bahwa kebenaran-kebenaran yang diwahyukan di dalam agama Kristen itu memang mengatasi akal, tetapi tidak bertentangan dengan akal.
               Pengaruh Leibniz besar sekali di Jerman. Hal ini disebabkan karena karya CHRISTIAN WOLFF (1679-1754), yang menjadikan filsafat Leibniz menjadi suatu sistem. Hingga kini Leibniz dipandang sebagai filsuf Jerman pertama yang original.


             
2.6         Metode Keilmuan: Kombinasi Antara Rasionalisme Dan Empirisme
             Terdapat suatu anggapan yang luas bahwa ilmu pada dasarnya adalah metode induktif-empiris dalam memperoleh pengetahuan. Memang terdapat beberapa alasan untuk mendukung penilaian yang populer ini, karena ilmuan mengumpulkan fakta-fakta yang tertentu, melakukan pengamatan, dan mempergunakan data inderawi. Walaupun begitu, analisis yang mendalam terhadap metode keilmuan akan menyingkapkan kenyataan, bahwa apa yang dilakukan oleh ilmuwan dalam usahanya mencari pengetahuan lebih tepat digambarkan sebagai suatu kombinasi antara prosedur empiris dan rasional.
                 Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa metode keilmuan adalah satu cara dalam memperoleh pengetahuan. Suatu rangkaian prosedur yang tertentu harus diikuti untuk mendapatkan jawaban yang tertentu dari pernyataan yang tertentu pula.





BAB  III
PENUTUP


3.1    Kesimpulan
           Kaum rasionalis kemudian mempertahankan pendapat bahwa dunia yang kita ketahui dengan metode intuisi rasional adalah dunia yang nyata. Kebenaran atau kesalahan terletak dalam idea-idea dan bukan pada benda-benda tersebut.
           Pengamat inderawi tidak memberikan keterangan kepada kita tentang hakekat dan sifat-sifat dunia di luar kita. Pengamat inderawi hanya memberi nilai praktis. Barang-barang di luar kita hanya memberikan idea yang samar-samar saja. Idea yang samar-samar itu hanya memberitahukan kepada kita hal perasaan subyek yang mengamatinya.
             Hal-hal bendawi adalah cara berada Allah dibawah sifat asasi keluasan, atau cara berada Allah di dalam ruang. Dan hal-hal bendawi itu sesuai dengan idea-ideanya yang berada di bawah sifat asasi pemikiran.
              Perbedaan antara manusia dan makhluk-makhluk lainnya adalah demikian, bahwa tubuh manusia lebih ruwet daripada tubuh makhluk-makhluk lainnya. Idea-idea yang jelas dan terpilah-pilah yang terdapat dalam jiwa manusia adalah idea-idea Allah. Idea-idea itu secara sempurna dan pada dirinya menjadi jaminan kepastian. Idea-idea itu adalah sama dengan realitas luar, karena sifat yang jelas dan terpilah-pilah. Demikianlah kehendak dan akal disamakan. Oleh karena itu barang siapa usaha naik dari perasaan –perasaan nafsani kepada kehendak yang akali, dengan pengenalannya akan diarahkan kepada pemandangan Allah.
                Mereka yang berkeras berpendapat bahwa semua pengetahuan dapat disederhanakan menjadi pengalaman indera, dan apa yang tidak dapat tersusun oleh pengalaman indera bukanlah pengetahuan yang benar, disebut kaum empiris radikal atau ”sensasionalis”. Kaum empiris modern akan mengemukakan pendapat Locke dengan kata-kata sebagai berikut: pengetahuan adalah hasil dari proses neuro-kimiawi yang rumit, di mana obyek luar merangsang satu organ pancaindera atau lebih, dan rangsangan ini menyebabkan perubahan material atau elektris di dalam organ badani yang di sebut otak.



3.2        Saran
             Adapun saran yang ingin kami anjurkan adalah sebagai berikut:
  1. Sebaiknya pada pengarang Filsafat Ilmu, membuat contoh jangan cuma satu saja yang diulang-ulang terus harusnya lebih banyak lagi.
  2. Penjelasannya kurang lengkap, seharusnya lebih detail lagi.
      





Tidak ada komentar:

Posting Komentar