Nama:
Reni Wulandari
UTS STUDI PEMIKIRAN ISLAM
Nim:
4415111518
Prodi:
Pendidikan Sejarah Reguler 2011
1. Perbedaan obyek formal dan material studi
pemikiran islam, agama islam dan sejarah islam.
Studi islam merupakan disiplin ilmu yang membahas Islam, baik sebagai ajaran, kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya. Dimaklumi bahwa Islam sebagai agama dan sistem ajaran telah menjalani proses akulturasi, transmisi dari generasi ke generasi dalam rentang waktu yang panjang dan dalam ruang budaya yang beragam. Secara kelembagaaan proses transmisi Agama Islam berlangsung di berbagai institusi mulai dari keluarga, masyarakat, mesjid, madrasah, pesantren, sampai al-jamiah. Dalam proses transmisi tersebut para pemeluk agama ini telah memberikan respon, baik dalam pemikiran ofensif maupun defensif terhadap ajaran, ideologi atau pemikiran dari luar agama yang diyakininya itu. Dengan demikian, studi keislaman, dilihat dari ruang lingkup kajiannya, berupaya mengkaji Islam dalam berbagai aspeknya dan dari berbagai sudut pandangnya.
Studi islam merupakan disiplin ilmu yang membahas Islam, baik sebagai ajaran, kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya. Dimaklumi bahwa Islam sebagai agama dan sistem ajaran telah menjalani proses akulturasi, transmisi dari generasi ke generasi dalam rentang waktu yang panjang dan dalam ruang budaya yang beragam. Secara kelembagaaan proses transmisi Agama Islam berlangsung di berbagai institusi mulai dari keluarga, masyarakat, mesjid, madrasah, pesantren, sampai al-jamiah. Dalam proses transmisi tersebut para pemeluk agama ini telah memberikan respon, baik dalam pemikiran ofensif maupun defensif terhadap ajaran, ideologi atau pemikiran dari luar agama yang diyakininya itu. Dengan demikian, studi keislaman, dilihat dari ruang lingkup kajiannya, berupaya mengkaji Islam dalam berbagai aspeknya dan dari berbagai sudut pandangnya.
Studi ini menggunakan
pola kajian Islamic studies sebagaimana berkembang dalam tradisi akademik
modern (barat). Pola ini tidak sama dengan pengertian pendidikan agama Islam
(al-tarbiyah al-islamiyah), yang secara konvensional lebih merupakan proses
transmisi ajaran agama, yang melibatkan aspek kognitf (pengetahuan tentang
ajaran Islam), afektif dan psikomotor (menyangkut sikap dan pengalaman ajaran).
Pola kajian yang dikembangkan dalam studi ini adalah upaya kritis terhadap
teks, sejarah, dokrin, pemikiran dan istitusi keislaman dengan menggunakan
pendekatan-pendektan tertentu,seperti Kalam, Fiqh, fisafat, tasawuf, historis,
antropologis, sosiologis, psikologis, yang secara populer di kalangan akademik
dianggap ilmiah. Dengan pendekatan ini kajian tidak disengajakan untuk
menemukan atau mempertahankan keimanan atas kebenaran suatu konsep atau ajaran
tertentu, melainkan mengkajinya secara ilmiah, yang terbuka ruang di dalamnya
untuk ditolak, diterima, maupun dipercaya kebenarannya. Kajian dengan
pendekatan semacam ini banyak dilakukan oleh para orientalis atau islamis yang
memposisikan diri sebagai outsider (pengkaji islam daru luar) dan insider
(pengkaji dari kalangan muslim) dalam studi keislaman kontemporer.
Di dalam sejarah
pemikiran Islam kita dapat mengkaji perkembangan Agama Islam yang berkaitan
dengan berbagai aliran aliran yang muncul. Banyaknya aliran agama Islam
terutama yang terdapat di Indonesia tak luput dari pemikiran pemikiran para
pendahulunya. Jadi dengan sejarah pemikiran islam ini kita dapat mengkaji
berbagai kejadian kejadian yang berhubungan dengan Agama Islam yang terjadi
Indonesia yang memang tidak terlepas dari berbagai aliran aliran Agama Islam
2. faktor–faktor yang menyebabkan keragaman aliran–aliran
pemikiran dalam islam
Dahulu di zamaan Rasulullaah SAW. kaum muslimin dikenal bersatu, semua dibawah pimpinan dan komando Rasulullah SAW.
Dahulu di zamaan Rasulullaah SAW. kaum muslimin dikenal bersatu, semua dibawah pimpinan dan komando Rasulullah SAW.
Bila ada masalah atau beda pendapat antara para
sahabat, mereka langsung datang kepada Rasulullah SAW. itulah yang membuat para
sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun
dalam urusan duniawi.
Kemudian setelah Rasulullah SAW. wafat, benih-benih
perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi saat Imam Ali kw. menjadi
khalifah. Namun perpecahan tersebut hanya bersifat politik, sedang akidah
mereka tetap satu yaitu akidah Islamiyah, meskipun saat itu benih-benih
penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan oleh Ibin Saba’, seorang yang
dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus faham Syiah (Rawafid).
Tapi setelah para sahabat wafat, benih-benih
perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbullah faham-faham
yang bermacam-macam yang menyimpang dari ajaran Rasullullah SAW.
Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : bahwa
golongan yang selamat dan akan masuk surga (al-Firqah an Najiyah) adalah
golongan yang mengikuti apa-apa yang aku (Rasulullah SAW) kerjakan bersama
sahabat-sahabatku. Bagaimana seorang muslim harus bersikap melihat keragaman
aliran-aliran, mestinya tak ada keraguan sedikit pun bahwa Islam secara
doktriner adalah agama yang sangat toleran. Yang jadi persoalan adalah sikap
umat Islam tak selalu konkruen. Sebagian menganggap pemahamannya selalu benar,
padahal kebenaran absolut hanya milik Tuhan. Maka, beragama tidak pernah usai,
dan selalu berada dalam proses.
Sepanjang yang beragama itu manusia, maka manusia akan selalu berkembang.
Di sinilah kita perlu mengubah mindset (kerangka berpikir) yang masih keliru. Kita mesti belajar untuk duduk bersama, saling mendengar dan bertukar pikiran, baik dengan sesama muslim maupun nonmuslim. Upaya untuk mencairkan kebekuan wacana pluralisme juga bisa dipercepat dengan jalan mengintensifkan pendidikan pluralisme dan multikulturalisme di sekolah-sekolah. Lembaga pendidikan dianggap media yang paling tepat untuk mereparasi mindset seseorang.
Misalnya diawali dari sejarah agama-agama lebih detail. Dengan memahami sejarah, seseorang cenderung sulit menjadi radikal terhadap agama maupun penganut agama lain.
Sepanjang yang beragama itu manusia, maka manusia akan selalu berkembang.
Di sinilah kita perlu mengubah mindset (kerangka berpikir) yang masih keliru. Kita mesti belajar untuk duduk bersama, saling mendengar dan bertukar pikiran, baik dengan sesama muslim maupun nonmuslim. Upaya untuk mencairkan kebekuan wacana pluralisme juga bisa dipercepat dengan jalan mengintensifkan pendidikan pluralisme dan multikulturalisme di sekolah-sekolah. Lembaga pendidikan dianggap media yang paling tepat untuk mereparasi mindset seseorang.
Misalnya diawali dari sejarah agama-agama lebih detail. Dengan memahami sejarah, seseorang cenderung sulit menjadi radikal terhadap agama maupun penganut agama lain.
3.
Pasca meninggalnya Rasul, timbul satu persoalan mendasar dalam Islam saat itu
yakni persoalan tentang khilafah atau Imamah kepemimpinan negara pasca Rasul.
Pertemuan Saqifah sebagai media pencarian solusi terbaik saat itu, menjadi
saksi sejarah atas akar perbedaan pendapat yang tidak bisa dimenej secara
positif. Salah satu ulama dan ilmuwan Islam, Abu Hasan Al-Asy’ari mengatakan
bahwa perbedaan pendapat yang tajam saat itu tentang persoalan Khilafah atau
Imamah ini merupakan “pembuka keran” timbulnya sekte-sekte serta aliran
ketauhidan dan politik dalam Islam.
Salah satu
penyebab perbedaan pendapat di antara mereka adalah dalam masalah kepemimpinan
dikarenakan semasa hidupnya Rasulullah tidak pernah menjelaskan hal ini dengan
rinci. Nabi Muhammad hanya menjelaskan prinsip-prinsip umum, semangat
keber-Islaman, tuntutan akhlak mahmudah dan menjauhi akhlak madzmumah,
adil, memberlakukan hukum tanpa pandang bulu, yang kesemuanya itu dijalankan
oleh Nabi di Madinah, sesuai dengan Piagam Madinah (Al-Mitsaq Al-Madaniyah)
dan ketentraman serta kesejahteraan benar-benar dirasakan oleh keseluruhan
masyarakat Madinah saat itu. Namun, Nabi tidak pernah menjelaskan secara detail
tentang siapa yang akan menggantikan beliau, cara pergantian jabatan,
syarat-syarat kepemimpinan dan lainnya tentang kepemimpinan Islam.
Menurut
DR. Dhihauddin Rais latar belakang tidak diperincinya persoalan-persoalan di
atas, dikarenakan ciri khas syariat Islam yang tidak mengikat umat Islam dengan
aturan-aturan baku yang kaku, yang kemudian tidak cocok dengan perkembangan
yang terus terjadi dan tidak sesuai dengan kondisi kekinian. Syariat Islam juga
berkehendak agar undang-undang Islam terus bersifat lentur, sehingga
kelenturannya itu memberikan kesempatan kepada akal manusia untuk berfikir
serta umat Islam dapat menciptakan sendiri sistem politik dan kemasyarakatan,
sesuai dengan kebutuhan masyarakat Islam yang terus berubah-ubah.
Saat
meninggalnya Rasul, salah satu dari dua kelompok utama masyarakat Islam, yaitu
kalangan Anshar, segera mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah—yang
merupakan nenek moyang Bani Khazraj--- untuk membicarakan hal di atas tadi.
Kecepatan mereka untuk berinisiatif mengadakan pertemuan ini pada hari wafat
dan sebelum Nabi dimakamkan mengisyaratkan pada para sejarawan, bahwa mereka
telah memikirkan hal ini sebelum mengadakan pertemuan, walaupun mungkin
beberapa hari sebelumnya. Menurut M. Dhiauddin Rais ambisi Sa’ad Bin Ubadah,
seorang tokoh Khazraj yang mendorongnya untuk segera membentuk kelompok
pendukung, sehingga nantinya dia dapat meraih dukungan yang lebih luas sebelum
dia disaingi oleh tokoh lain.
Dari
perdebatan panjang Saqifah, dapat disimpulkan teori-teori pemikiran terpenting
yang mengemuka dalam pertemuan itu yakni : teori membela kaum Anshar yang
mengklaim diri mereka sebagai pihak yang berhak memegang jabatan Kekhalifahan,
dengan alas an merekalah yang membela Islam dengan segenap jiwa, raga dan harta
mereka, memberikan tempat dan pertolongan pada saat-saat awal perjuangan Nabi
dan merekalah penduduk asli Madinah.. Menurut Dhihauddin Rais pemiiran ini
dikatakannya sebagai teori politik pertama yang timbul dalam sejarah pemikiran
politik Islam.
Teori yang
kedua, adalah bantahan (antitesis) atas teori pertama tadi, pembelaan atas hak
kaum Muhajirin atas jabatan Kekhalifahan, dan membuktikan bahwa mereka lebih
berhak atas jabatan Kekhalifahan dibandingkan dengan yang lain, mereka juga
menganggap pihak yang menyembah Allah pertama kali di atas permukaan bumi,
mereka adalah orang-orang kepercayaan dan shahabat terdekat dan utama Rasul dan
menyertai Rasul, ketika mengalami penganiayaan dari kaum Kafir Quraisy.
Selain
kedua teori di atas, muncul pemikiran tentang keutamaan suku Quraisy, di mana
para pemimpin suku Quraisy berpandangan bahwa sudah menjadi kebiasaan bangsa
Arab yang menjadi penguasa dari sejak dahulu adalah suku Quraisy. Pemikiran
lain juga muncul dari Habbab bin Munjir bin Jamuh, berupa kemungkinan pemecahan
kepemimpinan atau adanya beberapa kepala negara sekaligus, misalnya dengan
mengangkat dua Khalifah sekaligus. Dan beberapa pemikiran lainnya yang
mengemuka, namun tidak dominant.
Dalam
peristiwa Saqifah ini, meskipun titik pandang masing-masing kelompok berbeda,
tapi pertemuan itu berhasil menyepakati konsep yang amat penting yakni
pemilihan Khalifah dilakukan dengan bai’at. Para peserta pertemuan itu akhirnya
sepakat untuk memilih Abu Bakar, yang disusul oleh bai’at shahabat-shahabat
Nabi, kecuali beberapa shahabat yang belum memberikan Bai’at seperti : Ali bin
Abu Thalib, Abu Dzar Al-Ghifari, Amar bin Yassir, Salman Al-Farisi, Bilal bin
Rabah, Abbas bin Abdl Muttalib, Zubair bin Awwam, Abu Ayyub Al-Ansari, dll.
Dalam
beberapa riwayat tokoh-tokoh tersebut tersinggung dengan adanya pertemuan
Saqifah, yang cenderung mendahulukan perbincangan pemimpin dengan melalaikan
pengurusan zenazah Nabi saat itu yang belum dimandikan dan dishalatkan, Ali
sebagai tokoh terkemuka dari golongan Bani Hasyim—atau ahl bayt Rasul—tidak mau
membai’at Abu Bakar sampai 6 bulan pemerintahan Abu Bakar. Dalam banyak
literature yang membahas tentang Saqifah bisa dilacak bagaimana pertentangan
–mungkin pada sekala tertentu cenderung berlebihan—keras terjadi di antara para
Shahabat dan keluarga Nabi yang utama. Abu Bakar yang didukung kuat Umar bin
Khattab dan sebagian besar Shahabat Rasul dari Anshar, Muhajirin dan suku
Quraisy berhadap-hadapan dengan Bani Hasyim atau Ahl Bayt Nabi yang juga
menginginkan Ali Bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Tapi sejalan perjalanan waktu
persoalan ini mencair dengan bai’at Ali 6 bulan kemudian, walaupun tidak bisa
menyelesaikan persoalan keretakan-keretakan yang sudah tertanam sebelumnya.
4. Perbedaan pandangan Qadariyah, Jabariyah,
dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah
Qadariyah
Qadariyah
(atau Qadariya), dalam Islam adalah penganut kehendak bebas. Para Qadar kata
ini berasal dari Qadr ( kekuatan atau hak ). Qadariya adalah
salah satu sekolah filsafat awal pemikiran dalam Islam. Doktrin yang dianut
gagasan rasionalisme dan mengandung unsur-unsur Yunani filsafat. Qadaris
mempertahankan bahwa Allah memberikan manusia kehendak bebas, tanpa yang satu
tidak dapat sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakan seseorang. Bebas juga
akan berarti bahwa Allah tidak dapat mengetahui tindakan seorang pria di muka.
Qadaris juga menolak penyewa inti lainnya dari Sunni keyakinan termasuk
keyakinan dalam Hukuman Grave tersebut. Mereka juga menyangkal bahwa suatu
hadist otentik bukti untuk membangun proposisi dalam aqidah Islam kecuali
ditransmisikan dalam mutawatir bentuk Jabariyah.
Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara dalam bahasa Arab yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. Pengertian arti kata secara etimologi diatas telah dipahami bahwa kata jabara merupakan suatu paksaan di dalam melakukan setiap sesuatu. Atau dengan kata lain ada unsur keterpaksaan. Kata Jabara setelah berubah menjadi Jabariyah (dengan menambah Yaa’ nisbah) mengandung pengertian bahwa suatu kelompok atau suatu aliran (isme). Ditegaskan kembali dalam berbagai referensi yang dikemukakan oleh Asy-Syahratsan bahwa paham Al-Jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah, dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam referensi Bahasa Inggris, Jabariyah disebut Fatalism atau Predestination. Yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadar Allah. Dapat Kita simpulkan bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan. Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri.
Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara dalam bahasa Arab yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. Pengertian arti kata secara etimologi diatas telah dipahami bahwa kata jabara merupakan suatu paksaan di dalam melakukan setiap sesuatu. Atau dengan kata lain ada unsur keterpaksaan. Kata Jabara setelah berubah menjadi Jabariyah (dengan menambah Yaa’ nisbah) mengandung pengertian bahwa suatu kelompok atau suatu aliran (isme). Ditegaskan kembali dalam berbagai referensi yang dikemukakan oleh Asy-Syahratsan bahwa paham Al-Jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah, dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam referensi Bahasa Inggris, Jabariyah disebut Fatalism atau Predestination. Yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadar Allah. Dapat Kita simpulkan bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan. Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri.
Ahlu sunnah wal jama’ah
Pada peristiwa Saqifah, sangat alamiah bila ada kelompok-kelompok.
Hal itu diperkuat dengan ketidaklayakan sikap orang yang terpilih sebagai
khalifah. Setelah Rasulullah SAW. wafat, benih-benih perpecahan mulai tampak
dan puncaknya terjadi saat Imam Ali kw. menjadi khalifah. Namun perpecahan
tersebut hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu yaitu akidah
Islamiyah, meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai
ditebarkan oleh Ibin Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai
pencetus faham Syiah (Rawafid). Tapi setelah para sahabat wafat, benih-benih
perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbullah faham-faham
yang bermacam-macam yang menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW. Saat itu
muslimin terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagai
golongan-golongan ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam,
seperti Mu’tazilah, Syiah (Rawafid), Khowarij dan lain-lain. Sedang bagian yang
satu lagi adalah golongan terbesar, yaitu golongan orang-orang yang tetap
berpegang teguh kepada apa-apa yang dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah
SAW. bersama sahabat-sahabatnya.
Golongan yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongannya dan akidahnya Ahlus Sunnah Waljamaah. Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah golongan yang mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : bahwa golongan yang selamat dan akan masuk surga (al-Firqah an Najiyah) adalah golongan yang mengikuti apa-apa yang aku (Rasulullah SAW) kerjakan bersama sahabat-sahabatku.
Golongan yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongannya dan akidahnya Ahlus Sunnah Waljamaah. Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah golongan yang mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : bahwa golongan yang selamat dan akan masuk surga (al-Firqah an Najiyah) adalah golongan yang mengikuti apa-apa yang aku (Rasulullah SAW) kerjakan bersama sahabat-sahabatku.
UNJ juga y ?
BalasHapusijin copy yah kak
BalasHapusEMI