2.1 Kutipan Pidato Soekarno berjudul “Tahun
berdikari”
1965: Capailah Bintang-bintang di
Langit (Tahun Berdikari)
“Lima Azimat”: Nasakom (1926), Pancasila (1945), Manipol/Usdek (1959), Trisakti Tavip (1964), dan Berdikari (1965)- sebenarnya hanyalah hasil penggalianku, yang dua pertama dari masyarakat bangsaku, dan tiga terakhir dari Revolusi Agustus. Kelima pokok instruksiku itu harus terus disebar-sebarkan, diresapkan, diamalkan, sebab dari terlaksana-tidaknya instrukti itu tergantung pula baik tidaknya Front Nasional di hari-hari yang akan datang, baik tidaknya persatuan bangsa di hari-hari yang akan datang”.
“Lima Azimat”: Nasakom (1926), Pancasila (1945), Manipol/Usdek (1959), Trisakti Tavip (1964), dan Berdikari (1965)- sebenarnya hanyalah hasil penggalianku, yang dua pertama dari masyarakat bangsaku, dan tiga terakhir dari Revolusi Agustus. Kelima pokok instruksiku itu harus terus disebar-sebarkan, diresapkan, diamalkan, sebab dari terlaksana-tidaknya instrukti itu tergantung pula baik tidaknya Front Nasional di hari-hari yang akan datang, baik tidaknya persatuan bangsa di hari-hari yang akan datang”.
2.2 Pokok-Pokok Berdikari
Politik
berdikari menjadi populer setelah Bung Karno memberi judul pidatonya 17 Agustus
1965: ‘Tahun Berdikari’. Sekalipun prinsip politik berdikari sering
dikemukakannya pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam pidato 17 Agustus 1964
misalnya, Bung Karno mengemukakan prinsip Trisakti Tavip (Tahun Vivere
Pericoloso).
Soekarno
menjelaskan tiga prinsip berdikari. Yakni, berdaulat dalam bidang politik,
berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiga-tiganya
prinsip berdikari ini, kata Bung Karno, tidak dapat dipisahkan dan dipreteli
satu sama lain. Menurutnya, tidak mungkin akan ada kedaulatan dalam politik dan
berkepribadian dalam kebudayaan, bila tidak berdirikari dalam ekonomi. Demikian
pula sebaiknya. Dengan berdaulat dalam bidang politik, Bung Karno menginginkan
agar bangsa Indonesia benar-benar berdaulat dan tidak bisa didikte oleh
siapapun. Di samping itu ia sering menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak akan
menjadi bangsa mengemis, lebih-lebih kepada kaum imperalis.
Berdikari
dalam ekonomi berarti kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang
sudah ada di tangan kita dan menggunakannya semaksimal-maksimalnya. Tidak boleh
lagi terjadi ‘ayam mati dilumbung’, karena tanah air kita kaya raya.
Menjelaskan berkepribadian dalam kebudayaan, Bung Karno menegaskan bahwa budaya
kita kaya raya yang harus kita gali. Karenanya, ia menganggap tepat sekali
diboikotnya film-film Inggris dan AS ketika itu. Juga tepat pemberantasan
‘musik’ The Beattle, literatur picisan, dansa-dansi gila-gilaan. Apa yang
dikuatirkan Bung Karno itu kini menjadi kenyataan dengan makin merajalelanya
dekadensi moral para muda-mudi.
Melalui
Dekon (Deklarasi Ekonomi), sebagai perencanaan pembangunan ekonomi berdiri,
Bung Karno meletakkan kedudukan rakyat sebagai sumber daya sosial bagi
pembangunan. Ia yakin bahwa rakyat akan menjadi sumber daya ekonomi yang optimal
bagi pembangunan bila aktivitas dan kreatifitasnya dikembangkan. Ia tanpa
tedeng aling-aling mengecam keras cara-cara text-book thinking.
Mengambil begitu saja pemikiran-pemikiran para ahli ekonomi Barat, tanpa
memperhatikan kondisi di Indonesia. Dalam kaitan kerjasama ekonomi dengan
negara-negara imperialis, ucapan Bung Karno yang sangat terkenal adalah : “Go to
hell with your aid” seringkali ditafsirkan sebagai sikapnya yang usang terhadap
bantuan asing, modal asing, bahkan segala yang berbau asing.
2.3 Analisa
Pemikiran Soekarno dalam Pidato tahun 1965
Tahun
1965 merupakan tahun yang sumber sejarah yang sangat penting bagi kepemimpinan
yang ada di Indonesia. Pada tahun ini negara Indonesia sedang bergolak keamanaan
dan kenyamaannya karena di tahun ini terjadi peristiwa G 30 S yang membuat
atmosfer kehidupan politik dan sosial menegang salah satu-nya tuduhan PKI yang
menjadi dalang di balik aksi tersebut dan Soekarno pun ikut terseret karena di
anggap “bapak asuh” oleh sebagian rakyat karena sikap-nya yang dekat dan akrab
terhadap PKI. Namun kita harus melihat sebenarnya kedekataan Soekarno dengan
PKI bukan karena di landaskan oleh faktor
ideologi Komunis. Soekarno menganggap bahwa konteks yang lebih tepatnya yakni
marxisme atau sosialis. Oleh karena itu untuk mendukung gerakan politik
Nasakom-nya Soekarno harus lah menempatkan partai Komunis dalam pemerintahan-nya.
Di tahun 1965 ini dengan
melihat beberapa pidato-pidato yang kami dapat dari berbagai sumber di
internet, kami berpendapat bahwa di tahun ini-lah Soekarno menunjukan sikap
kepemimpinan dan keras-nya terhadap tudingan-tudingan yang menuju pada diri-nya,
selain itu juga persatuan dan konsolidasi antar rakyat Indonesia juga berusaha
di bangun oleh soekarno dalam pidato tahun ini.
Tidak
banyak diketahui umum bahwa tahun 1965-1967 Presiden Soekarno sempat berpidato
paling sedikit sebanyak 103 kali. Yang diingat orang hanyalah pidato
pertanggungjawabannya, Nawaksara, yang ditolak MPRS tahun 1967. Kumpulan naskah ini diawali pidato 30
September 1965 malam (di depan Musyawarah Nasional Teknik di Istora Senayan,
Jakarta) dan diakhiri pidato 15 Februari 1967 (pelantikan beberapa Duta Besar
RI). Pidato-pidato Bung Karno (BK) selama dua tahun itu amat berharga sebagai
sumber sejarah. Ia mengungkapkan aneka
hal yang ditutupi bahkan diputarbalikkan selama Orde Baru. Dari pidato itu juga
tergambar betapa sengitnya peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto.
Di pihak lain, terlihat pula kegetiran seorang presiden yang ucapannya tidak
didengar bahkan dipelintir dan berujung pada kemarahan Soekarno dan Ia memaki
dalam bahasa Belanda.
Konteks pidato
Periode
1965 dapat dilihat sebagai awal masa peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada
Soeharto yang nanti berakhir pada 1967. Pada periode ini menurut kami merupakan
periode panas politik di Indonesia. Diwarnai dengan kekacauan stabilitas
nasional yakni dengan adanya pemberontakan G 30 S dengan PKI yang di duga
sebagai dalang-nya. Dalam
keadaan ini juga di bumbui isu-isu bahwa ada banyak pihak terlibat dalam
gerakan tersebut seperti intelejen CIA, orang china, dan yang paling Anyar di
hembuskan yakni Soekarno sebagai otak gerakan tersebut karena Soekarno pada
saat itu memang di ketahui umum akrab dengan PKI oleh karena itu jika PKI
terlibat dalam gerakan tersebut otomatis Soekarno pasti mengetahu gerakan
bahkan di katakan mendukung gerakan tersebut. Dalam versi pemerintah, masa ini dilukiskan
sebagai era konsolidasi kekuatan pendukung Orde Baru (tentara, mahasiswa, dan
rakyat) untuk membasmi PKI sampai ke akarnya serta pembersihan para pendukung
Soekarno.
Mulai
tahun 1998 di Tanah Air dikenal beberapa versi sejarah yang berbeda. Selain
menonjolkan keterlibatan pihak asing seperti CIA, juga muncul tudingan terhadap
keterlibatan Soeharto dalam “kudeta merangkak”, yaitu rangkaian tindakan dari
awal Oktober 1965 sampai keluarnya Supersemar (Surat perintah 11 Maret 1966)
dan ditetapkannya Soeharto sebagai pejabat Presiden tahun 1967. “Kudeta
merangkak” terdiri dari beberapa versi (Saskia Wieringa, Peter Dale Scott, dan
Subandrio) dan beberapa tahap.
Pidato setelah G 30 S
1965
Pada
tahun ini khususnya setelah peristiwa G30S, Soekarno berusaha mengendalikan
keadaan negara yang pada saat itu terjadi kekacauaan sosial. Hal ini bisa kita
lihat melalui pidato-pidatonya pada
tahun ini yakni seperti di bawah ini:
“Saya komandokan kepada
segenap aparat negara untuk selalu membina persatuan dan kesatuan seluruh
kekuatan progresif revolusioner. Dua, Menyingkirkan jauh-jauh tindakan-tindakan
destruktif seperti rasialisme, pembakaran-pembakaran, dan perusakan-perusakan.
Tiga, menyingkirkan jauh-jauh fitnahan-fitnahan dan tindakan-tindakan atas
dasar perasaan balas dendam.”
Di
dalam kalimat di atas terlihat jelas bahwa Soekarno menyerukan kepada rakyat
Indonesia agar selalu dalam keadaan yang tenang secara berfikir dalam hal ini
yakni tidak melakukan tindakan rasis dan desktruktif, selain itu juga rakyat
Indonesia di himbau oleh Soekarno untuk selalu membentengi diri dalam konteks
tidak mudah termakan oleh fitnah-fitnah maupun semangat balas dendam.
Ia
juga menyerukan :
“Awas adu domba
antar-Angkatan, jangan mau dibakar. Jangan gontok-gontokan. Jangan hilang akal.
Jangan bakar-bakar, jangan ditunggangi”.
Dalam
pidato ia menyinggung Trade Commission Republik Rakyat Tiongkok di Jati
Petamburan yang diserbu massa karena ada isu Juanda meninggal diracun dokter
RRT. Padahal, beliau wafat akibat serangan jantung. Selain itu juga Soekarno
menentang rasialisme yang menjadikan warga Tionghoa sebagai kambing hitam pada
saat itu.
JANG DIUTJAPKAN MELALUI
RRI PADA TGL.3 OKTOBER 1965 DJAM 01.30.
Saudara-Saudara
sekalian.
Mengulangi perintah
saja sebagai Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Pemimpin Besar
Revolusi jang telah diumumkan pada tanggal 1 Oktober ’65, dan untuk
menghilangkan semua keragu-raguan dalam kalangan rakjat, maka dengan ini saja
sekali lagi menyatakan bahwa saja berada dalam keadaan sehat wal’afiat dan
tetap memegang tampuk pimpinan Negara dan tampuk pimpinan Pemerintahan dan
Revolusi Indonesia.
Pada hari ini tanggal 2
Oktober ’65 saja telah memanggil semua Panglima Angkatan Bersendjata bersama
wakil Perdana Menteri kedua Dr. Leimena dan para pejabat penting lainnya dengan
maksud untuk segera menyelesaikan persoalan apa yang disebut peristiwa 30
September. Untuk dapat menyelesaikan persoalan ini saja telah perintahkan
supaja segera ditjiptakan satu suasana yang tenang dan tertib, dan untuk itu
perlu dihindarkan segala kemungkinan bentrokan dengan sendjata.
Dalam tingkatan
perdjoangan Bangsa lndonesia sekarang ini, saja perintahkan kepada seluruh
rakyat untuk tetap mempertinggi kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam rangka
meningkatkan pelaksanaan Dwikora. Kepada seluruh Rakjat lndonesia saja serukan
untuk tinggal tetap tenang dan kepada semua menteri dan petugas- petugas negara
lainnja untuk tetap mendjalankan tugasnya masing-masing seperti sediakala.
Pimpinan Angkatan Darat
pada dewasa ini berada langsung dalam tangan saja dan untuk menyelesaikan tugas
sehari-hari dalam Angkatan Darat sementara saja tundjuk Maj. Djen. Pranoto
Reksosamodra, Ass keIII Men/ PANGAD. Untuk melaksanakan pemulihan keamanan dan
ketertiban jang bersangkutan dengan peristiwa 30 September tersebut telah saja
tundjuk Maj.Djen. Suharto, Panglima Kostrad sesuai dengan kebidjaksanaan jang
telah saja gariskan.
Saudara-saudara sekalian.
Marilah kita tetap
membina semangat persatuan dan kesatuan Bangsa; marilah kita tetap
menggelorakan semangat anti nekolim.
Tuhan bersama dengan
kita semua
Dalam
kutipan di atas, Soekarno ingin menetralkan kekacauaan politik yang ada pada
saat itu. Soekarno menegaskan bahwa dia dalam keadaan sehat dan masih dalam
status sebagai Presiden RI. Hal ini di lakukan oleh Soekarno mungkin untuk
menepis isu-isu yang ada dan mengatakan bahwa pemerintahan sudah lagi kacau dan
Soekarno mungkin sudah tidak bisa memimpin lagi.
Pidato 20 November 1965
di depan keempat panglima Angkatan di Istana Bogor BK
Dalam
pidato 20 November 1965 di depan keempat panglima Angkatan di Istana Bogor BK,
Soekarno mengatakan :
“Ada perwira yang
bergudul. Bergudul itu apa? Hei, Bung apa itu bergudul? Ya, kepala batu.” Pada
kesempatan yang sama Soekarno menegaskan, “Saya yang ditunjuk MPRS menjadi
Panglima Besar Revolusi. Terus terang bukan Subandrio. Bukan Leimena…. Bukan
engkau Soeharto, bukan engkau Soeharto, dan seterusnya.
Dalam
kutipan pidato di atas tersirat jelas kemarahaan Soekarno kepada Soeharto
walaupun tidak secara terang-terangan hal ini terlihat pada kalimat pertama
yakni “ada perwira gundul, dan kepala batu.” Mungkin ini di tujukan kepada
Soeharto pada saat itu selain itu juga
pendapat ini di perkuat dengan
penyebutan nama Soeharto. Berbeda dengan nama tokoh lain, Soeharto disebut dua
kali dan secara berturut-turut).
Mengapa
Soekarno tak mau membubarkan PKI? padahal ini alasan utama kelompok Soeharto
menjatuhkannya dari presiden. Hal ini Karena dia konsisten dengan pandangan
sejak tahun 1925 tentang Nas (Nasionalisme), A (Agama), dan Kom (Komunisme).
Dalam pidato ia menegaskan, yang dimaksudkan dengan Kom bukanlah Komunisme
dalam pengertian sempit, melainkan Marxisme atau lebih tepat “Sosialisme”.
Meskipun demikian Soekarno bersaksi “saya bukan komunis”. Bung Karno juga
mengungkapkan keterlibatan pihak asing yang memberi orang Indonesia uang Rp 150
juta guna mengembangkan “the free world ideology”. Ia berseru di depan diplomat
asing di Jakarta, “Ambassador jangan subversi.”
Pidato 12 Desember 1965
dalam rangka ulang tahun Kantor Berita Antara
Tanggal
12 Desember 1965 ketika berpidato dalam rangka ulang tahun Kantor Berita Antara
di Bogor, Presiden mengatakan :
tidak ada kemaluan yang
dipotong dalam peristiwa di Lubang Buaya. Demikian pula tidak ada mata yang
dicungkil seperti ditulis pers.
Hal
tersebut di lakukan Soekarno dalam pidato karena ingin menghilangkan isu-isu
yang berkembang di masyarakat bahwa G 30 S di lakukan secara sangat sadis.
Karena Soekarno mengkhawatirkan nanti rakyat akan merasa tidak aman dan saling
curiga mencurigai sehingga tidak terjalin persatuan di antara rakyat Indonesia
selain itu juga untuk “mendingingkan” keadaan sosial yang mencekam pada saat
itu.
Pidato di depan HMI di
Bogor 18 Desember 1965
Peristiwa
pembantaian di Jawa Timur diungkapkan Soekarno dalam pidato di depan HMI di
Bogor 18 Desember 1965. Soekarno mengatakan pembunuhan itu dilakukan dengan
sadis, orang bahkan tidak berani menguburkan korban.
“Awas kalau kau berani
ngrumat jenazah, engkau akan dibunuh. Jenazah itu diklelerkan saja di bawah
pohon, di pinggir sungai, dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati.”
Dalam
kesempatan sama, Bung Karno sempat bercanda di depan mahasiswa itu, “saya sudah
65 tahun meski menurut Ibu Hartini seperti baru 28 tahun. Saya juga melihat Ibu
Hartini seperti 21 tahun.”
Gaya
bahasa Soekarno memang khas. Ia tidak segan memakai kata kasar tetapi spontan.
Beda dengan Soeharto yang memakai bahasa halus tetapi tindakannya keras. Di
tengah sidang kabinet, di depan para Menteri, Presiden Soekarno tak segan
mengatakan “mau kencing dulu” jika ia ingin ke belakang . Ketika perintahnya
tidak diindahkan, ia berteriak “saya merasa dikentuti”. Pernah pula ia mengutip
cerita Sayuti Melik tentang kemaluannya yang ketembak. Namun, di lain pihak ia
mahir menggunakan kata-kata bernilai sastra, “Kami menggoyangkan langit,
menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang
hidup hanya dari 2 ½ sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan
bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian
cita-cita.”
Dalam
pidato 30 September 1965 ia sempat mengkritik pers yang kurang tepat dalam
menulis nama anak-anaknya. Nama Megawati sebetulnya Megawati Soekarnaputri,
bukan Megawati Soekarnoputri. Demikian pula dengan Guntur Soekarnaputra.
Makna Garis Besar
pidato Soekarno pada tahun 1965
Apa
yang disampaikan Soekarno dalam pidato-pidatonya pada tahun 1965 merupakan
bantahan atas apa yang ditulis media. Monopoli informasi sekaligus monopoli
kebenaran adalah causa prima dari Orde Baru. Hal ini di perparah dengan
tindakan Umar Wirahadikusumah yang mengumumkan jam malam mulai 1 Oktober 1965,
pukul 18.00 sampai 06.00 pagi, dan menutup semua koran kecuali Angkatan
Bersenjata dan Berita Yudha. Koran-koran lain tidak boleh beredar selama
seminggu. Hal ini tentu penuh dengan pertanyaan mengapa hanya kedua Koran itu
yang di perbolehkan untuk beredar? Dan seperti yang sudah di duga oleh banyak
kalangan bahwa waktu sepekan ini dimanfaatkan pers militer untuk mengampanyekan
bahwa PKI ada di belakang G30S dan otomatis juga sebagai usaha besar untuk
menjatuhkan citra Soekarno sebagai Presiden dalam rangka upaya penggulingannya.
Meski
masih berpidato dalam berbagai kesempatan, tetapi pernyataan Soekarno tidak
disiarkan oleh koran-koran. Sebagai contoh Bila Ben Anderson di jurnal
Indonesia terbitan Cornell mengungkapkan hasil visum et repertum dokter bahwa
kemaluan jenderal tidak disilet dalam pembunuhan di Lubang Buaya 1 Oktober
1965, jauh sebelumnya Soekarno dengan lantang mengatakan, 100 silet yang
dibagikan untuk menyilet kemaluan jenderal itu tidak masuk akal!.
Dalam
pidatonya juga terdengar keluhan sekaligus kemarahan Soekarno terhadap
pihak-pihak yang berusaha memanfaatkan keadaan untuk menggulingkan diri-nya
seperti pidato yang ada di atas yang mungkin secara jelas terlihat ditujukan
kepada Soeharto. Selain itu juga Soekarno jengah terhadap pihak-pihak yang coba
menjatuhkan citra-nya melalui propaganda-propaganda yang ada di masyarakat
padahal bila kita ketahui, Presiden Soekarno masih sempat melantik taruna AURI
dan berpidato dalam peringatan 20 tahun KKO. Terlihat juga Paling sedikit
Angkatan Udara, Marinir, dan sebagian besar tentara Kodam Brawijaya masih setia
kepada Bung Karno. Tetapi kenapa ia hanya sekadar berseru “jangan
gontok-gontokan antarangkatan bersenjata”. Kenapa ia tidak memerintahkan
tentara yang loyal kepadanya untuk melawan pihak yang ingin menjatuhkannya?
Dan
ini-lah wibawa bapak presiden pertama kita. Soekarno tidak ingin terjadi
pertumpahan darah sesama bangsa Indonesia pada tahun ini. Soekarno tidak ingin
adanya perpecahaaan yang ada di Indonesia karena kita memperoleh kemerdekaan
dengan jalan persatuan. Soekarno juga pada tahun ini ingin mengajak rakyat
Indonesia melalui pidato-pidatonya supaya rakyat Indonesia tidak termakan oleh
fitnah, tidak saling musuh-memusuhi, tidak saling mencari kambing hitam, dan
tidak saling menghancurkan satu sama lain. Dan secara garis besar kami bisa
menyimpulkan sikap Soekarno pada tahun 1965 ini melalui pidato-nya yakni
mengajak kembali persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia yang di waktu itu
sedang terjadi kekacauaan politik dan sosial di mana-mana akibat gerakan 30
September 1965.
ijin share yah kak makasih
BalasHapusEMI