Jumat, 25 Januari 2013

1967 : Zionisme Menjadi Perang Suci




Pada tahun 1967, negara Israel dikelilingi oleh lingkungan musuh yang kuat dan bermaksud untuk menghancurkan Israel. Pada tahun 1966, terjadi kup sayap kiri di Suriah, yang membuat negara tersebut menjadi sekutu dekat Uni Soviet. Rezim baru Suriah sangat bersimpati terhadap gerakan fedayeen orang Palestina. Pada tanggal 17 Mei, Nasser memulai  serangkaian aksi provokasi yang membuatnya bersekutu dengan Suriah untuk berperang melawan Israel. Pertama ia memberangkatkan seratus ribu tentara Mesir ke Semenanjung Sinai, yang sebelumnya menjadi Zona bebas militer sejak perang Suez. Keesokan harinya, ia memerintahkan tentara PBB untuk meninggalkan wilayah itu, PBB segera menurutinya. Pada tanggal 22 Mei, ia menutup Teluk Aqabah bagi pelayaran Israel. Pada tanggal 23 Mei, Israel mengumumkan bahwa tindakan penutupan itu merupakan aksi agresif yang berarti menyerang negaranya.
Negara Yahudi kini dikepung oleh musuh, lebih ketat dari pada para tentara salib yang dikepung oleh Saladin dan para pendukungnya.. Para tentara Yahudi muda membanting radio mereka serta menangis dalam perasaan takut dan malu. Pada tanggal 5 Juni, orang-orang Israel merasa mendapatkan suatu kebenaran uintuk melancarkan serangan antisipatif terhadap Nasser. Mereka menghancurkan hampir seluruh angkatan udara Mesir di darat Menurut Eshkol dan Dayan bahwa perang itu merupakan perang untuk memperluas wilayah kekuasaan.
Pada tanggal 7 Juni, Israel melakukan Kota Yerussalem dan selama dua hari Israel melanjutkan kemenangan penting ini dengan mengambil wilayah yang kini dikenal dengan Tepi Barat dari Yordania dan dataran Tinggi Golan dari Suriah bersama dengan Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir.
Kita telah melihat bagaimana sebuah kemenangan yang tak terdugaatau suatu perubahan nasib yang dramatis sering membuat orang merasa bahwa mereka memiliki takdir illahiah yang istimewa. Perang 6 hari telah memberikan kesan kuat dan mendalam bagi rakyat Yahudi, yang merasa bahwa mereka amat beruntung telah direnggut dari kehancuran dan dianugerahi kemenangan yang sama dramatis dengan ketika Tuhan menyelamatkan orang-orang Israel kuno di Laut Merah.

Agama seharusnya menjadi kekuatan untuk pengembangan sikap saling menghormati dan rasa belas kasihan tapi agama juga dapat menjadi katalisator kebencian. Bahaya ini tamnpak menjadi ancaman yang sama besarnya bagi timur tengah saat ini, sebagaimana pada saat pertempuran Hittin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar