BAB II
Masyarakat Hierarkis
Dalam struktur masyarakat Jawa yang
sudah kita ketahu dalam perjalanan sejarahnya tidak lepas dari masyarakat
hierarkis. Nusa Jawa berabad-abad silam telah menerima pengaruh dari beberapa
kebudayaan besar di dunia.
Persentuhan
dengan kebudayaan besar yang pertama adalah kebudayaan India. Pengaruh India
ini di istilahkan dengan Indianisasi. India yang corak keagamaannya adalah
Hindu-Buddha serta konsep kerajaannya diserap dengan baik oleh masyarakat Jawa.
Terutama sekali aadalah struktur masyarakat yang hierarkis atau kasta. Namun
ternyata masyarakat hierarkis ini tidak secara mutlak diterapkan di Jawa.
Setelah
agama Islam masuk ke tanah Jawa dengan membawa semangat egaliternya tak lantas
membuat masyarakat Jawa benar-benar bersih dari budaya masyarakat hierarkis.
Hal ini bisa dilihat dari struktur
linguistic
yang tidak bias disangkal keberadaannya yaitu adanya “tingkat-tingkat bahasa”
yang oleh orang Belanda disebut taalsoorten-
dalam tiga dari keempat bahasa yang terdapat di pulau jawa : bahasa Jawa,
bahasa Sunda, dan bahasa Madura,-yang tingkat-tingkat bahasa merupakan yang
paling kuat.
a. Raja
Sebagai Poros Dunia
Seorang raja berada pada puncak piramida kelas sosial,
karena raja dianggap mempunyai tugas untuk menjaga kelestarian makrokosmos dan
mikrokosmos (jagad raya). Dengan Pemujaan terhadap gunung-gunung sebagai bentuk
pemujaan asli kuno, maka raja selalu identik dengan gunung tersebut, konsep itu
sendiri dibawa dari India yang terdapat pula di Funan, Kamboja. Karena dalam
konsep agama Hindu pada saat itu, gunung identik dengan dewa-dewa sebagai
“penguasa gunung” atau “raja gunung”.
Juga
diyakini bahwa raja merupakan perwujudan seorang dewa. Kertanegara dianggap
perwujudan Siwa, Kertarajasa perwujudan Harihara, Airlangga dan Ken Angrok
sebagai wisnu, dll. Kematian merupakan proses pemuliaan atau pendewaan sang
raja dan bagi masyarakat Jawa, kedekatan dengan gunung berapi memberika
ciri-ciri plutonis tertentu kepada para raja.
Meskipun setelah kedatangan Islam, konsep raja tidak
lagi dianggap sebagai perwujudan dewa, ternyata melahirkan konsep baru yang
dibawa oleh Islam yakni raja sebagai perwakilan Allah. perubahan yang terjadi
ternyata hanya pada permukaannya saja bahwa terjadi perubahan siapa yang
diwakili oleh raja tersebut, yang pada akhirnya konsep lama tentang raja
tersebut sebagai pemilik derajat paling tinggi masih melekat.
b.
Tekanan Birokrasi
Pada Masa kuno,
pejabat-pejabat pemerintahan merupakan perwakilan raja di daerah-daerah atau di
bidang-bidang tertentu. Selain itu, para pejabat tersebut juga mempunyai keterkaitan
keluarga terhadap raja, sehingga memiliki status sosial yang masih berdekatan
dengan raja. Seorang birokrat berperan sebagai penjembatan antara raja dengan
kerajaannya.
Namun setelah terjadinya
kolonialisasi, sistem birokrasi yang sudah melekat pun digantikan oleh sistem
birokrasi kolonial yang membentuk aristokrasi otonomi, dalam hal ini sebagai
pemutus para pegawai dari segala kekuasaan raja. Hal Tersebut merupakan warisan
terhadap sistem birokrasi dewasa ini, para pegawai setelah kemerdekaan para
pegawaai tidak mempunyai ikatan lagi dengan kerajaan kecuali Yogyakarta.
c. Ketahanan
Desa
Setelah mendapat berbagai
macam pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan asing, serta terjadinya
perubahan-perubahan dalam aspek sosial-budaya yang tak terhitung jumlahnnya,
masyarakat desa ternyata masih menganut kebiasaan-kebiasaan tradisional yang
merupakan warisan dari zaman sebelum Indianisasi. kebiasaan-kebiasaan tersebut
rupanya menjadi budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat desa.
Corak ini menimbulkan istilah
“Kebudayaan Pedesaan”, yang didalamnya masih dipertahankan ritus kebudayaan
sejak zaman pra-Indianisasi. Upacara atau ritus tersebut antara lain sebagai
berikut :
1. Upacara
Kurban Kerbau yang sampai saat ini masih dilangsungkan di Jawa.
2. Pemujaan
Dewi Padi atau Dewi Sri di Tanah Pasundan dan Tanah Jawa.
3. Pagelaran
wayang kulit semalam suntuk.
4. Slametan
atau kenduri yang bertujuan menjinakkan roh (dedemit,memedi,lelembut,tuyul).
Upacara atau ritus-ritus yang disebutkan diatas pada
pokoknya menjaga keseimbangan antara desa dan makrokosmos, menghindari
goncangan dan menaklukan roh-roh jahat. keserasian dan keterpaduan sosial
diperkuat pula oleh kegiatan seperti gotong royong. walaupun evolusi pedesaan
belakangan ini telah merubah sebagian di antaranya, hal tersebut tetap dinilai
tinggi.
d. Peran Wanita
Kaum wanita rupanya memang lebih bebas
dalam lingkungan kerajaan agraris
daripada dikota-kota niaga pesisir. Di Jawa gelar kebangsawanan dapat
diturunkan baik lewat wanita maupun pria, para antropolog yang telah
mempelajari masyarakat-masyarakat Indonesia bagian timur sering menyebut adanya
pembagian tugas dan kekuasaan yang merata antara kedua jenis kelamin.
Xin
Tangshu yang menyatakan bahwa pada tahun 674
penduduk heling(Jawa) mempunyai ratu yang bernama Sima (Xi-mo), terdapat juga
beberapa prasasti yang dengan jelas menyebut bangunan-bangunan yang didirikan
oleh “ratu-ratu.
Seperti Juga srikandi, di kalangan wanita Jawa, Siam dan Aceh masih tetap ada segi
jantan dan semangat juangnya.
Bersamaan dengan perkembangan
Bandar-bandar (dan agama islam) beserta masyarakat urbannya, muncul pula
kecenderungan untuk membatasi kebebasan wanita dan mengawasi segala
gerak-geriknya. Untuk Selanjutnya mereka disisihkan dari kehidupan politik
tempat mereka berkiprah, meskipun tidak
tersingkir dari kehidupan ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar