Jumat, 25 Januari 2013

BAB II Masyarakat Hierarkis


Tugas Laporan Bacaan  Nusa Jawa; Silang Budaya Jilid III



BAB II
Masyarakat Hierarkis

Dalam struktur masyarakat Jawa yang sudah kita ketahu dalam perjalanan sejarahnya tidak lepas dari masyarakat hierarkis. Nusa Jawa berabad-abad silam telah menerima pengaruh dari beberapa kebudayaan besar di dunia. Persentuhan dengan kebudayaan besar yang pertama adalah kebudayaan India. Pengaruh India ini di istilahkan dengan Indianisasi. India yang corak keagamaannya adalah Hindu-Buddha serta konsep kerajaannya diserap dengan baik oleh masyarakat Jawa. Terutama sekali aadalah struktur masyarakat yang hierarkis atau kasta. Namun ternyata masyarakat hierarkis ini tidak secara mutlak diterapkan di Jawa.
Setelah agama Islam masuk ke tanah Jawa dengan membawa semangat egaliternya tak lantas membuat masyarakat Jawa benar-benar bersih dari budaya masyarakat hierarkis. Hal ini bisa dilihat dari struktur linguistic yang tidak bias disangkal keberadaannya yaitu adanya “tingkat-tingkat bahasa” yang oleh orang Belanda disebut taalsoorten- dalam tiga dari keempat bahasa yang terdapat di pulau jawa : bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Madura,-yang tingkat-tingkat bahasa merupakan yang paling kuat.
a.      Raja Sebagai Poros Dunia
Seorang raja berada pada puncak piramida kelas sosial, karena raja dianggap mempunyai tugas untuk menjaga kelestarian makrokosmos dan mikrokosmos (jagad raya). Dengan Pemujaan terhadap gunung-gunung sebagai bentuk pemujaan asli kuno, maka raja selalu identik dengan gunung tersebut, konsep itu sendiri dibawa dari India yang terdapat pula di Funan, Kamboja. Karena dalam konsep agama Hindu pada saat itu, gunung identik dengan dewa-dewa sebagai “penguasa gunung” atau “raja gunung”.
Juga diyakini bahwa raja merupakan perwujudan seorang dewa. Kertanegara dianggap perwujudan Siwa, Kertarajasa perwujudan Harihara, Airlangga dan Ken Angrok sebagai wisnu, dll. Kematian merupakan proses pemuliaan atau pendewaan sang raja dan bagi masyarakat Jawa, kedekatan dengan gunung berapi memberika ciri-ciri plutonis tertentu kepada para raja.
Meskipun setelah kedatangan Islam, konsep raja tidak lagi dianggap sebagai perwujudan dewa, ternyata melahirkan konsep baru yang dibawa oleh Islam yakni raja sebagai perwakilan Allah. perubahan yang terjadi ternyata hanya pada permukaannya saja bahwa terjadi perubahan siapa yang diwakili oleh raja tersebut, yang pada akhirnya konsep lama tentang raja tersebut sebagai pemilik derajat paling tinggi masih melekat.

b.      Tekanan Birokrasi
Pada Masa kuno, pejabat-pejabat pemerintahan merupakan perwakilan raja di daerah-daerah atau di bidang-bidang tertentu. Selain itu, para pejabat tersebut juga mempunyai keterkaitan keluarga terhadap raja, sehingga memiliki status sosial yang masih berdekatan dengan raja. Seorang birokrat berperan sebagai penjembatan antara raja dengan kerajaannya.
Namun setelah terjadinya kolonialisasi, sistem birokrasi yang sudah melekat pun digantikan oleh sistem birokrasi kolonial yang membentuk aristokrasi otonomi, dalam hal ini sebagai pemutus para pegawai dari segala kekuasaan raja. Hal Tersebut merupakan warisan terhadap sistem birokrasi dewasa ini, para pegawai setelah kemerdekaan para pegawaai tidak mempunyai ikatan lagi dengan kerajaan kecuali Yogyakarta.

c.       Ketahanan Desa
Setelah mendapat berbagai macam pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan asing, serta terjadinya perubahan-perubahan dalam aspek sosial-budaya yang tak terhitung jumlahnnya, masyarakat desa ternyata masih menganut kebiasaan-kebiasaan tradisional yang merupakan warisan dari zaman sebelum Indianisasi. kebiasaan-kebiasaan tersebut rupanya menjadi budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat desa.
Corak ini menimbulkan istilah “Kebudayaan Pedesaan”, yang didalamnya masih dipertahankan ritus kebudayaan sejak zaman pra-Indianisasi. Upacara atau ritus tersebut antara lain sebagai berikut :
1.      Upacara Kurban Kerbau yang sampai saat ini masih dilangsungkan di Jawa.
2.      Pemujaan Dewi Padi atau Dewi Sri di Tanah Pasundan dan Tanah Jawa.
3.      Pagelaran wayang kulit semalam suntuk.
4.      Slametan atau kenduri yang bertujuan menjinakkan roh (dedemit,memedi,lelembut,tuyul).

Upacara atau ritus-ritus yang disebutkan diatas pada pokoknya menjaga keseimbangan antara desa dan makrokosmos, menghindari goncangan dan menaklukan roh-roh jahat. keserasian dan keterpaduan sosial diperkuat pula oleh kegiatan seperti gotong royong. walaupun evolusi pedesaan belakangan ini telah merubah sebagian di antaranya, hal tersebut tetap dinilai tinggi.

d.      Peran Wanita
Kaum wanita rupanya memang lebih bebas dalam lingkungan kerajaan agraris  daripada dikota-kota niaga pesisir. Di Jawa gelar kebangsawanan dapat diturunkan baik lewat wanita maupun pria, para antropolog yang telah mempelajari masyarakat-masyarakat Indonesia bagian timur sering menyebut adanya pembagian tugas dan kekuasaan yang merata antara kedua jenis kelamin.
Xin Tangshu yang menyatakan bahwa pada tahun 674 penduduk heling(Jawa) mempunyai ratu yang bernama Sima (Xi-mo), terdapat juga beberapa prasasti yang dengan jelas menyebut bangunan-bangunan yang didirikan oleh “ratu-ratu. Seperti Juga srikandi, di kalangan wanita Jawa, Siam dan Aceh masih tetap ada segi jantan dan semangat juangnya.
Bersamaan dengan perkembangan Bandar-bandar (dan agama islam) beserta masyarakat urbannya, muncul pula kecenderungan untuk membatasi kebebasan wanita dan mengawasi segala gerak-geriknya. Untuk Selanjutnya mereka disisihkan dari kehidupan politik tempat mereka berkiprah, meskipun tidak tersingkir dari kehidupan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar