Sabtu, 12 Januari 2013

REVIEW JILID 2 BAB 8 FANATISME ATAU TOLERANSI?



Eksotisme, yang menyukai gaya mencolok, telah mewariskan pada kami satu citra orang “Melayu” yang ganda dan kontradiktif. Setelah menggambarkan kehalusan manusia kepulauan (atau kesantaiannya), kesabarannya (atau ketidak-peduliannya), kebijaksanaannya yang mendarah daging (atau fatalism turun-temurun), eksotisme mendadak berganti ragam untuk menggambarkan orang Melayu sebagai manusia tak berakal yang suka mengamuk, karena dibutakan oleh nafsu atau agamanya, maupun orang yang kejam dan haus darah. Setelah melukiskan irama yang terus-menerus sampai membosankan dari tari kraton, eksotisme sering melukiskan emosi tinggi adu jago; setelah mengangkat “sinkretisme yang toleran” dari orang Jawa, “fanatisme” pemberontakan Muslimlah yang ditekankan, dan setelah memuji kepasifan lewat pribumi. Bahwa meskipun masyarakat Nusantara yang cenderung relativis dan sinkretis itu telah membuktikan keterbukaan dan kekedepan budaya. Di sini masalah utamanya bukanlah hubungan dengan agama Yahudi, dan hubungan dengan agama Nasrani hanya merupakan satu segi.

a) Suatu Islam Murni Tanpa Takhayul?
Karena Islam menampilkan dirinya dalam berbagai wajah, dan karena beberapa di antara “ragamnya” telah mampu menemukan lahan yang lebih mendukung daripada yang lain, sesuai dengan tempat dan zamannya.Walaupun dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia masa kini merupakan penganut “sunah mazhab Syafi’i”, tidak jarang dijumpai jejak-jejak mazhab yang terkadang sangat berbeda: bekas-bekas Syiah. Meskipun rincian peristiwa abad-abad pertama masuknya Islam masih sangat kurang dikenal, tak ada alas an apapun untuk membicarakan seperti India misalnya suatu “penaklukan” Islam. Tak ada sebuan bersenjata, tidak ada penghancuran sistematis, tidak ada pemelukan dengan paksa. Di Jawa sebuah teks berharga mengenai moral keagamaan yang kemungkinan besar disusun di suatu pelabuhan di Timur pada abad ke-16, pada zaman Islam masih merupakan agama minoritas, memberikan informasi yang tak terduga mengenai hubungan yang tampaknya ada di antara para Muslim pertama dan masyarakat sekitarnya. Di sini kami kutip beberapa penggal yang sangat mewakili: “ Kaum Muslim memang berhak untuk tidak menyukai kaum kafir, karena kaum kafir merupakan musuh Gusti Allah”.  Kebanyakan informasi kita merupakan kisah tentang para wali, yang memasukan kepercayaan baru. Para wali tampaknya jarang menggunakan kekerasan kecuali dalam serangan melawan Mojopahit dan melawan Pakuan, dan jarang mengandalkan penggunaan nalar. Kisah-kisah tinggi mereka telah diturunkan kepada kita dalam bentuk legenda yang indah, dan menekankan mukjizat yang membuktikan bahwa kesaktian mereka lebih tinggi daripada lawan-lawannya.
Dengan demikian, sebenarnya banyak sekali kepercayaan kuno yang dilestarikan dan bahkan dihidupkan kembali. Salah satu yang paling penting kemungkinan besar adalah wayang, yang menurut tradisi telah digunakan oleh Sunan Kali Jaga untuk menyebarkan kepercayaan baru. Tak satu pun dokumen yang dapat menegaskan kebenaran fakta-fakta tersebut, namun kemungkinan besar pada zaman Kesultanan Demak, orang berusaha untuk lebih menekankan kesinambungan daripada perubahan. Bukankah tidak jauh dari Mesjid Agung Demak terletak makam Yudistira, sulung Pandawa, dan konon sebelum wafat, tokoh Mahabrata itu menitipkan kepada Sunan Kali Jaga sebuah teks sakti yang diberi nama misterius, Kalimasada dan yang pasti ditafsirkan sebagai Kalimat Syahadat, artinya pernyataan iman dari kaum Muslim.
        Perlu ditekankan pula cara tatanan baru Islam itu menerima beberapa kepercayaan kuno yang menyangkut penataan ruang. Terakhir, masih ada masalah struktur mesjid-mesjid pertama sangat mungkin mengambil model bersusun dari meru atau mikrokosmos Bali (atau mikrokosmos pagoda Cina). Struktur kesenian Islam awal pada umumnya mendapat ilham langsung dari seni Mojopahit. Jadi, sepanjang masa pertama itu, yang secara kasar sekitar abad ke-15 dan ke-16, “folklorisasi” Islam tampaknya terjadi tanpa benturan hebat. Meskipun demikian di beberapa kasus, tradisi menyebut pertentangan dan kekerasan. Fakta-fakta itu penting, karena menggambarkan suatu konflik yang kemudian berkembang. Yang terutama mencolok adalah kisah dua orang wali yang di hukum mati oleh majelis wali karena dianggap melakukan “bid’ah”. Pada masa berikutnya, yaitu kira-kira abad ke-17 dan ke-18, usaha asimilasi religious yang sudah diawali dengan baik itu diteruskan dengan catatan bahwa kali ini, bangsawanlah yang sepenuhnya menguasainya.
        Mas Rangsang, raja ketiga dari dinasti itu yang dalam sejarah lebih dikenal dengan nama Sultan Agung (1613-1645) tampak sangat menganut sinkretisme. Pada tahun 1633, ia memutuskan untuk menggunakan penaggalan bulan yang terdiri atas 354 atau 355 hari, sehingga di masa mendatang irama peringatan tradisional dapat diselaraskan dengan penanggalan Islam yang berlaku umum. Meskipun demikian, ia tidak menggunakan perhitungan tahun berdasarkan tahun Hijriah dan tetap mempertahankan sebagai titik tolak tahun-tahun yang disebut “tahun Jawa” sebagai asal tahun Saka (artinya tahun 78 Masehi). Akhirnya karena berusaha menyempurnakan ritus kraton, ia memutuskan untuk memilih sebuah bukit di Imogiri (Ing Maha Giri) sebagai makamnya. Sejak saat itu, semua keturunan keluarga raja, baik yang dari Yogya maupun dari Solo, dimakamkan di situ dengan sebuah ritus Islam, namun tatanannya mengikuti kedudukan almarhum di dalam dinasti. Sebenarnya, tata ruang yang simbolis itu baru muncul secara jelas pada tata kota Yogyakarta dan Solo, yang dibangun setelah perjanjian Giyanti (1755).
        Pendukung pertama dari hasrat pemurnian itu kiranya adalah para Padri yang membawa benih-benih Wahabisme ke Sumatra Barat dan merangsang Perang Padri, yang berusaha menghancurkan adat matrilineal Minangkabau dan melakukan revolusi sosial yang sebenarnya. Bahwa kaum reformis ingin menghapuskan adegan debus yaitu mencapai semacam trans yang dilakukan para anggota tarekat dengan menusuk-nusukkan benda tumpul ke tubuh mereka, namun tampak sekali bahwa mau tidak mau kaum reformis itu terpaksa bersikap hati-hati dalam serangannya. Terakhir, suatu lambang dari kecenderungan reformis baru itu adalah gaya mesjid itu sendiri, yang diilhami oleh mesjid India dan Timur Tengah.

b) Melawan Kaum “Kafir”
        Bahwa kepergian bangsa Belanda di sini telah menandai pembelokan yang penting. Sampai tahun 1942, Kristianisme dapat muncul sebagai agama para tuan-tuan Eropa dan kacung-kacungnya mereka. Meskipun pada awalnya Islam harus berhadapan dengan segala bentuk paganism, front kedua terbuka baginya sejak abad ke-16, dengan kedatangan orang-orang Iberia pertama. Gagasan jihad atau Perang Sabil baru muncul secara jelas di Jawa, dengan Diponegoro yang menyatakan secara terbuka kebenciannya terhadap kaum kafir yang menyerbu, dan juga terhadap kaum murtad artinya pengkhianat Jawa yang telah berpihak pada kaum kafir. Peran serta golongan Muslim dalam gerakan perlawanan itu menjelaskan bahwa pada abad ke-20, para nasionalis pertama berusaha untuk menggunakan Islam sebagai senjata politis mereka.
        Setelah pendudukan Jepang, yang lebih menguntungkan Islam dalam menghadapi agama Nasrani, harapan lama mengenai pendirian negara yang muncul kembali, dengan pemisahan diri Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Karena asas negara secular akhirnya unggul, dan Pancasila dipilih sebagai ideologi bangsa. Protestantisme dan Katholisisme sekaligus dirumuskan sebagai agama minoritas yang tidak hanya ditolerir tetapi juga dari sudut pandang negara ditempatkan pada tataran yang sama dengan Islam yang majoritas. Kedudukan itu bahkan ditegaskan kembali setelah tahun 1966. Segala agama tampak dapat menjadi pembendung yang efektif terhadap ateisme. Jadi, pandangan resmi adalah toleransi mutlak dan saling bantu secara loyal.

c) Friksi Persaingan
        Kaum Muslim yang datang di Cina telah turut serta dalam pendirian tatanan baru perkotaan dan dalam pertumbuhan masyarakat pedagang baru, pada abad ke-15 dan ke-16. Kini sudah terbukti bahwa hingga abad ke-18 orang Cina pendatang meleburkan diri dalam massa. Di Banten, para petugas Inggris sejak tahun-tahun pertama abad ke-17 melaporkan peranan bangsa Cina yang mengalami Jawanisasi, yang mengelola tata usaha para Sultan dan mengurusi perdagangan lada. Belanda menggarisbawahi peranan perantara Cina, yang menduduki jabatan Syahbandar atau pengelola tanah baru. Dengan demikian, pada tahun 1704 seluruh daerah Pekalongan diserahkan kepada sebuah keluarga asal Cina yang menggunakan nama Jayaningrat.
        Meskipun demikian , menetapnya Belanda di Batavia pada tahun 1619 menandai awal dari suatu proses panjang yang akhirnya akan membalikkan sama sekali kecenderungan asimilasi itu. Pada awalnya orang Belanda hanya bermaksud bermaksud menarik orang Cina, khususnya mereka yang menetap di Banten, dengan membuktikan kepada mereka bahwa akan sangat menguntungkan jika tinggal di kota dagang yang baru yaitu di Batavia. Keuntungan ekonomis memang tak dapat disangkal, namus sejak saat itu mereka tidak mungkin lagi berintegrasi dengan masyarakat sekitarnya, sebagaimana pada masa sebelumnya. Di Batavia, mereka dianggap membentuk suatu kelompok yang benar-benar terpisah dan pada masa krisis dapat dianggap sebagai saingan yang berbahaya. Namun, berbeda dengan apa yang terjadi di Manila, ketika bangsa Spanyol pada abad ke-17 merencanakan pembantaian orang Cina (23.000 terbunuh pada tahun 1603, dan jumlah yang kurang lebih sama pada tahun 1639), hubungan antara orang Belanda dan Cina tetap baik sampai pembantaian besar-besaran pada bulan Oktober 1740.
            Setelah peristiwa tahun 1740, kecenderungan asimilasi muncul kembali dan secara lebih luas, maka didapati penyebutan bahwa cukup banyak mesjid dibangun secara khusus oleh dan untuk kaum peranakan. Walaupun demikian, sekitar akhir abad ke-18, dan terutama pada awal abad ke-19, sangat terasa adanya semacam alergi anti Cina, namun bukan lagi dikalangan orang Eropa melainkan di kalangan orang Jawa. Alergi yang pertama itu semakin meningkat di kemudian hari, sejalan dengan persaingan yang semakin tampak jelas antara orang Cina dan kaum Borjuis Muslim. Di sepanjang tahun-tahun terakhir abad ke-19 dan terutama diawal abad ke-20 bangsa Cina diserang oleh bangsa Eropa (seperti kejadian pada tahun 1905, ketika terjadi konflik dengan kaum kapitalis di Surabaya) oleh kaum pribumi yang semakin menyadari kepentingan ekonomi mereka sendiri.
            Pada tahun 1912-1914, gerakan-gerakan pertama Sarekat Islam ditujukan untuk melawan para pengusaha kecil Cina di kota. Pada tahun 1924, gerakan Kaiin Bapa Kajah, yang merupakan gerakan setengah ratu adil, ditujukan untuk melawan golongan baba besar artinya melawan tuan tanah Cina di daerah Tangerang bertujuan mengembalikan tanah itu kepada mereka yang mengolahnya.
            Kepergian bangsa Eropa, mula-mula pada tahun 1942, kemudian pada tahun 1949 membuat kedua golongan borjuis itu berhadapan dan kali ini bangsa Cina kurang beruntung. Pertama mereka harus memilih kewarganegaraan Indonesia atau Cina (sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani bersama Zhou Enlai pada tahun 1955). Sementara pribumisasi, yang artinya penyitaan perusahaan-perusahaan demi kepentingan kaum pribumi mencapai puncaknya, sejumlah kerusuhan anti-Cina meluas secara berturut-turut. Sejak tahun 1965 dan 1966, asimilasi dijadwalkan kembali, yaitu asimilasi semesta bangsa Cina yang masuk ke agama Nasrani dan asimilasi yang didorong oleh Pemerintah yang memutuskan sederet kebijakan untuk menghilangkan identitas Cina.
            Beberapa orang yang dulu menyebut diri Cina berusaha untuk bertahan hidup dengan berbaur antara lain bergabung dengan BAKOM (Badan Komunikasi), yang para anggotanya menganjurkan untuk masuk agama Islam. Sebagai penutup, ada gunanya untuk membandingkan keadaan bangsa Cina di Indonesia (dan di Malaysia) dengan keadaan kelompok Hui atau kaum Muslim di Cina.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar