Eksotisme, yang
menyukai gaya mencolok, telah mewariskan pada kami satu citra orang “Melayu”
yang ganda dan kontradiktif. Setelah menggambarkan kehalusan manusia kepulauan
(atau kesantaiannya), kesabarannya (atau ketidak-peduliannya), kebijaksanaannya
yang mendarah daging (atau fatalism turun-temurun), eksotisme mendadak berganti
ragam untuk menggambarkan orang Melayu sebagai manusia tak berakal yang suka
mengamuk, karena dibutakan oleh nafsu atau agamanya, maupun orang yang kejam
dan haus darah. Setelah melukiskan irama yang terus-menerus sampai membosankan
dari tari kraton, eksotisme sering melukiskan emosi tinggi adu jago; setelah
mengangkat “sinkretisme yang toleran” dari orang Jawa, “fanatisme”
pemberontakan Muslimlah yang ditekankan, dan setelah memuji kepasifan lewat
pribumi. Bahwa meskipun masyarakat Nusantara yang cenderung relativis dan
sinkretis itu telah membuktikan keterbukaan dan kekedepan budaya. Di sini
masalah utamanya bukanlah hubungan dengan agama Yahudi, dan hubungan dengan
agama Nasrani hanya merupakan satu segi.
a) Suatu Islam Murni
Tanpa Takhayul?
Karena
Islam menampilkan dirinya dalam berbagai wajah, dan karena beberapa di antara
“ragamnya” telah mampu menemukan lahan yang lebih mendukung daripada yang lain,
sesuai dengan tempat dan zamannya.Walaupun dapat dikatakan bahwa bangsa
Indonesia masa kini merupakan penganut “sunah mazhab Syafi’i”, tidak jarang
dijumpai jejak-jejak mazhab yang terkadang sangat berbeda: bekas-bekas Syiah.
Meskipun rincian peristiwa abad-abad pertama masuknya Islam masih sangat kurang
dikenal, tak ada alas an apapun untuk membicarakan seperti India misalnya suatu
“penaklukan” Islam. Tak ada sebuan bersenjata, tidak ada penghancuran
sistematis, tidak ada pemelukan dengan paksa. Di Jawa sebuah teks berharga mengenai
moral keagamaan yang kemungkinan besar disusun di suatu pelabuhan di Timur pada
abad ke-16, pada zaman Islam masih merupakan agama minoritas, memberikan
informasi yang tak terduga mengenai hubungan yang tampaknya ada di antara para
Muslim pertama dan masyarakat sekitarnya. Di sini kami kutip beberapa penggal
yang sangat mewakili: “ Kaum Muslim memang berhak untuk tidak menyukai kaum
kafir, karena kaum kafir merupakan musuh Gusti Allah”. Kebanyakan informasi kita merupakan kisah
tentang para wali, yang memasukan kepercayaan baru. Para wali tampaknya jarang
menggunakan kekerasan kecuali dalam serangan melawan Mojopahit dan melawan
Pakuan, dan jarang mengandalkan penggunaan nalar. Kisah-kisah tinggi mereka
telah diturunkan kepada kita dalam bentuk legenda yang indah, dan menekankan
mukjizat yang membuktikan bahwa kesaktian mereka lebih tinggi daripada
lawan-lawannya.
Dengan
demikian, sebenarnya banyak sekali kepercayaan kuno yang dilestarikan dan
bahkan dihidupkan kembali. Salah satu yang paling penting kemungkinan besar
adalah wayang, yang menurut tradisi telah digunakan oleh Sunan Kali Jaga untuk
menyebarkan kepercayaan baru. Tak satu pun dokumen yang dapat menegaskan
kebenaran fakta-fakta tersebut, namun kemungkinan besar pada zaman Kesultanan
Demak, orang berusaha untuk lebih menekankan kesinambungan daripada perubahan.
Bukankah tidak jauh dari Mesjid Agung Demak terletak makam Yudistira, sulung
Pandawa, dan konon sebelum wafat, tokoh Mahabrata itu menitipkan kepada Sunan
Kali Jaga sebuah teks sakti yang diberi nama misterius, Kalimasada dan yang
pasti ditafsirkan sebagai Kalimat Syahadat, artinya pernyataan iman dari kaum
Muslim.
Perlu ditekankan pula cara tatanan baru
Islam itu menerima beberapa kepercayaan kuno yang menyangkut penataan ruang.
Terakhir, masih ada masalah struktur mesjid-mesjid pertama sangat mungkin
mengambil model bersusun dari meru atau mikrokosmos Bali (atau mikrokosmos
pagoda Cina). Struktur kesenian Islam awal pada umumnya mendapat ilham langsung
dari seni Mojopahit. Jadi, sepanjang masa pertama itu, yang secara kasar
sekitar abad ke-15 dan ke-16, “folklorisasi” Islam tampaknya terjadi tanpa
benturan hebat. Meskipun demikian di beberapa kasus, tradisi menyebut
pertentangan dan kekerasan. Fakta-fakta itu penting, karena menggambarkan suatu
konflik yang kemudian berkembang. Yang terutama mencolok adalah kisah dua orang
wali yang di hukum mati oleh majelis wali karena dianggap melakukan “bid’ah”.
Pada masa berikutnya, yaitu kira-kira abad ke-17 dan ke-18, usaha asimilasi religious
yang sudah diawali dengan baik itu diteruskan dengan catatan bahwa kali ini,
bangsawanlah yang sepenuhnya menguasainya.
Mas Rangsang, raja ketiga dari dinasti
itu yang dalam sejarah lebih dikenal dengan nama Sultan Agung (1613-1645) tampak
sangat menganut sinkretisme. Pada tahun 1633, ia memutuskan untuk menggunakan
penaggalan bulan yang terdiri atas 354 atau 355 hari, sehingga di masa
mendatang irama peringatan tradisional dapat diselaraskan dengan penanggalan
Islam yang berlaku umum. Meskipun demikian, ia tidak menggunakan perhitungan
tahun berdasarkan tahun Hijriah dan tetap mempertahankan sebagai titik tolak
tahun-tahun yang disebut “tahun Jawa” sebagai asal tahun Saka (artinya tahun 78
Masehi). Akhirnya karena berusaha menyempurnakan ritus kraton, ia memutuskan
untuk memilih sebuah bukit di Imogiri (Ing Maha Giri) sebagai makamnya. Sejak
saat itu, semua keturunan keluarga raja, baik yang dari Yogya maupun dari Solo,
dimakamkan di situ dengan sebuah ritus Islam, namun tatanannya mengikuti
kedudukan almarhum di dalam dinasti. Sebenarnya, tata ruang yang simbolis itu
baru muncul secara jelas pada tata kota Yogyakarta dan Solo, yang dibangun
setelah perjanjian Giyanti (1755).
Pendukung pertama dari hasrat pemurnian
itu kiranya adalah para Padri yang membawa benih-benih Wahabisme ke Sumatra
Barat dan merangsang Perang Padri, yang berusaha menghancurkan adat matrilineal
Minangkabau dan melakukan revolusi sosial yang sebenarnya. Bahwa kaum reformis
ingin menghapuskan adegan debus yaitu mencapai semacam trans yang dilakukan
para anggota tarekat dengan menusuk-nusukkan benda tumpul ke tubuh mereka,
namun tampak sekali bahwa mau tidak mau kaum reformis itu terpaksa bersikap
hati-hati dalam serangannya. Terakhir, suatu lambang dari kecenderungan
reformis baru itu adalah gaya mesjid itu sendiri, yang diilhami oleh mesjid
India dan Timur Tengah.
b) Melawan Kaum “Kafir”
Bahwa kepergian bangsa Belanda di sini
telah menandai pembelokan yang penting. Sampai tahun 1942, Kristianisme dapat
muncul sebagai agama para tuan-tuan Eropa dan kacung-kacungnya mereka. Meskipun
pada awalnya Islam harus berhadapan dengan segala bentuk paganism, front kedua
terbuka baginya sejak abad ke-16, dengan kedatangan orang-orang Iberia pertama.
Gagasan jihad atau Perang Sabil baru muncul secara jelas di Jawa, dengan
Diponegoro yang menyatakan secara terbuka kebenciannya terhadap kaum kafir yang
menyerbu, dan juga terhadap kaum murtad artinya pengkhianat Jawa yang telah
berpihak pada kaum kafir. Peran serta golongan Muslim dalam gerakan perlawanan
itu menjelaskan bahwa pada abad ke-20, para nasionalis pertama berusaha untuk
menggunakan Islam sebagai senjata politis mereka.
Setelah pendudukan Jepang, yang lebih
menguntungkan Islam dalam menghadapi agama Nasrani, harapan lama mengenai
pendirian negara yang muncul kembali, dengan pemisahan diri Sekarmadji Maridjan
Kartosuwirjo. Karena asas negara secular akhirnya unggul, dan Pancasila dipilih
sebagai ideologi bangsa. Protestantisme dan Katholisisme sekaligus dirumuskan
sebagai agama minoritas yang tidak hanya ditolerir tetapi juga dari sudut
pandang negara ditempatkan pada tataran yang sama dengan Islam yang majoritas.
Kedudukan itu bahkan ditegaskan kembali setelah tahun 1966. Segala agama tampak
dapat menjadi pembendung yang efektif terhadap ateisme. Jadi, pandangan resmi
adalah toleransi mutlak dan saling bantu secara loyal.
c) Friksi Persaingan
Kaum Muslim yang datang di Cina telah
turut serta dalam pendirian tatanan baru perkotaan dan dalam pertumbuhan
masyarakat pedagang baru, pada abad ke-15 dan ke-16. Kini sudah terbukti bahwa
hingga abad ke-18 orang Cina pendatang meleburkan diri dalam massa. Di Banten,
para petugas Inggris sejak tahun-tahun pertama abad ke-17 melaporkan peranan
bangsa Cina yang mengalami Jawanisasi, yang mengelola tata usaha para Sultan
dan mengurusi perdagangan lada. Belanda menggarisbawahi peranan perantara Cina,
yang menduduki jabatan Syahbandar atau pengelola tanah baru. Dengan demikian,
pada tahun 1704 seluruh daerah Pekalongan diserahkan kepada sebuah keluarga
asal Cina yang menggunakan nama Jayaningrat.
Meskipun demikian , menetapnya Belanda
di Batavia pada tahun 1619 menandai awal dari suatu proses panjang yang
akhirnya akan membalikkan sama sekali kecenderungan asimilasi itu. Pada awalnya
orang Belanda hanya bermaksud bermaksud menarik orang Cina, khususnya mereka
yang menetap di Banten, dengan membuktikan kepada mereka bahwa akan sangat
menguntungkan jika tinggal di kota dagang yang baru yaitu di Batavia. Keuntungan
ekonomis memang tak dapat disangkal, namus sejak saat itu mereka tidak mungkin
lagi berintegrasi dengan masyarakat sekitarnya, sebagaimana pada masa
sebelumnya. Di Batavia, mereka dianggap membentuk suatu kelompok yang
benar-benar terpisah dan pada masa krisis dapat dianggap sebagai saingan yang
berbahaya. Namun, berbeda dengan apa yang terjadi di Manila, ketika bangsa
Spanyol pada abad ke-17 merencanakan pembantaian orang Cina (23.000 terbunuh
pada tahun 1603, dan jumlah yang kurang lebih sama pada tahun 1639), hubungan
antara orang Belanda dan Cina tetap baik sampai pembantaian besar-besaran pada
bulan Oktober 1740.
Setelah peristiwa tahun 1740, kecenderungan asimilasi
muncul kembali dan secara lebih luas, maka didapati penyebutan bahwa cukup
banyak mesjid dibangun secara khusus oleh dan untuk kaum peranakan. Walaupun
demikian, sekitar akhir abad ke-18, dan terutama pada awal abad ke-19, sangat
terasa adanya semacam alergi anti Cina, namun bukan lagi dikalangan orang Eropa
melainkan di kalangan orang Jawa. Alergi yang pertama itu semakin meningkat di
kemudian hari, sejalan dengan persaingan yang semakin tampak jelas antara orang
Cina dan kaum Borjuis Muslim. Di sepanjang tahun-tahun terakhir abad ke-19 dan
terutama diawal abad ke-20 bangsa Cina diserang oleh bangsa Eropa (seperti
kejadian pada tahun 1905, ketika terjadi konflik dengan kaum kapitalis di
Surabaya) oleh kaum pribumi yang semakin menyadari kepentingan ekonomi mereka
sendiri.
Pada tahun 1912-1914, gerakan-gerakan pertama Sarekat
Islam ditujukan untuk melawan para pengusaha kecil Cina di kota. Pada tahun
1924, gerakan Kaiin Bapa Kajah, yang merupakan gerakan setengah ratu adil,
ditujukan untuk melawan golongan baba besar artinya melawan tuan tanah Cina di
daerah Tangerang bertujuan mengembalikan tanah itu kepada mereka yang
mengolahnya.
Kepergian bangsa Eropa, mula-mula pada tahun 1942,
kemudian pada tahun 1949 membuat kedua golongan borjuis itu berhadapan dan kali
ini bangsa Cina kurang beruntung. Pertama mereka harus memilih kewarganegaraan
Indonesia atau Cina (sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani bersama Zhou
Enlai pada tahun 1955). Sementara pribumisasi, yang artinya penyitaan
perusahaan-perusahaan demi kepentingan kaum pribumi mencapai puncaknya,
sejumlah kerusuhan anti-Cina meluas secara berturut-turut. Sejak tahun 1965 dan
1966, asimilasi dijadwalkan kembali, yaitu asimilasi semesta bangsa Cina yang
masuk ke agama Nasrani dan asimilasi yang didorong oleh Pemerintah yang
memutuskan sederet kebijakan untuk menghilangkan identitas Cina.
Beberapa orang yang dulu menyebut diri Cina berusaha
untuk bertahan hidup dengan berbaur antara lain bergabung dengan BAKOM (Badan
Komunikasi), yang para anggotanya menganjurkan untuk masuk agama Islam. Sebagai
penutup, ada gunanya untuk membandingkan keadaan bangsa Cina di Indonesia (dan
di Malaysia) dengan keadaan kelompok Hui atau kaum Muslim di Cina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar