Latar Belakang
Pada
awal abad 19, gerakan kaum wahabiah dengan puritanismenya melanda Sumatra
Barat. Gerakan ini bertujuan membersihkan kehidupan agama Islam dari
pengaruh-pengaruh kebudayaan setempat yang dianggap menyalahi ajaran agama
Islam yang ortodoks. Diberantasnya perjudian, adu ayam, pesta-pesta dengan
hiburan yang dianggap merusak kehidupan beragama.
Waktu
Inggris memegang kekuasaan sementara, mereka berhasil menyingkirkan kaum Padri
dari Padang seanteronya dengan segala tipu muslihat. Kemudian dibiarkanlah
mereka menguasainya, maka dari itu ketika Hindia Belanda pada tahun 1816 datang
kembali, daerah tersebut didominasi oleh kaum Padri. Kekuasaan sebagai penguasa
dipakai untuk memungut pajak dan sebagian dari hasil panen, mengerahkan tenaga
wanita dan anak-anaknya untuk “dijual” sebagai tenaga pekerja, antara lain di
Sumatra Timur. Daerah kekuasaan kaum Padri meliputi daerah yang sebelumnya
adalah wilayah kekuasaan kerajaan Minangkabau; berbatasan dengan Tapanuli,
Siak, Indragiri, Jambi, dan Indrapura. Gerakan revivalisme atau revitalisme itu
ternyata mempunyai kekuatan mobilisasi yang besar maka para penguasa daerah
menggabungkan diri dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pusat gerakan
adalah Bonjol atau Alam Panjang. Imam Bonjol dalam memimpin gerakan dibantu
oleh Tuanku Mudik Padang dan Mansiangan. Dalam menghadapi perjuangan Kaum
Padri, Belanda lama-kelamaan sadar bahwa pada hakikatnya gerakan itu tidak
hanya mempertahankan kepentingan agama akan tetapi juga melakukan perlawanan terhadap
penetrasi kolonial, sebagai ancaman terhadap kemerdekaan mereka. Proses
pasifikasi berjalan lambat, bahkan sering kali Belanda terpaksa bersikap
defensif karena kaum Padri mengadakan serangan-serangan ke daerah pantai.
Belanda memandang pemerintahan kaum Padri menimbulkan suatu anarki, maka ada
alasan untuk menjalankan “pasifikasinya”; yang jelas ialah bahwa gerakan
menjalankan ekspansi ke jurusan Mandailing, tanah Batak, dan Riau sehingga
“perang dalam” (internal war) berkobar; maka timbul situasi yang banyak
mengakibatkan penderitaan. Bagi penguasa kolonial konflik dan perpecahan
memberi dalih untuk menjalankan intervensinya dan menanam pengaruhnya.
Jalannya
Perang
Sejak
ditandatangani perjanjian Bonjol pada awal tahun 1824 semangat perlawanan tidak
mereda melainkan semakin dahsyat, tidak mudahlah fundamentalisme seperti yang
ada pada gerakan Padri dipadamkan begitu saja. Wajarlah pula bahwa dalam
situasi konflik itu timbul kelompok yang tidak setuju dengan kaum Padri, antara
lain mereka yang masih menganggap dirinya keturunan raja-raja Minangkabau atau
panghulu-panghulu. Di antara mereka yang terkemuka ialah Tuanku nan Saleh dari
Talawas Panghulu Tanah Datar, dan lain-lain. Politik kolonial Belanda mengikuti
pola lama seperti yang telah dijalankan di daerah-daerah lain, yaitu cenderung
memihak yang lebih “lunak”, dan karena itu lebih bersedia bekerja sama dengan
Belanda.diharapkan bahwa dengan demikian front pribumi diperlemah.
Tuntutan
kaum Padri ialah agar Belanda menarik diri dari daerah pedalaman (padangsche
bovenlanden) sehingga mereka dapat secara leluasa menyebarluaskan agama dan
menegakkan kehidupan beragama di daerah yang sudah Islam.
Meskipun
telah ditandatangani kontrak antara Belanda dan para penghulu yang mewakili
daerah kerajaan Minangkabau pada tanggal 10 februari 1821, jadi secara de jure
Belanda telah diakui kekuasaannya, namun secara de facto daerah-daerah belum
dikuasainya. Satu per satu kesemuanya perlu diperangi, ditundukkan, dan
diduduki. Di antara pemuka-pemuka yang menandatangani ialah antara lain :
Sumawang, Sulit Air, Sipitang, Gunung, Sungai Jambu, Sawah tengah, Tabing
Guronsuroaso, Pagarruyung, Batusangkar, dan kampung-kampung di Tanah Datar.
Tanjung Bandak, satu demi satu diduduki Belanda. Ada pula daerah dikuasai
dengan melewati perundingan, seperti yang dilakukan dengan Tuanku Pasaman dan
Tuanku Tanjung Alam.
Pos-pos
yang didirikan Belanda menghadapi ancaman terus-menerus dari kaum Padri yang
tiada henti-hentinya melakukan serangan-serangan, seperti terhadap Sumawang,
Sulit Air, Rau, Enam Kota, dan Tanjung Alam. Untuk melemahkan basis Belanda
kaum Padri melakukan juga serangan ke Tanah Datar dan juga ke Natal. Ofensif
Belanda secara besar-besaran pada awal tahun 1820 terhadap Pagarruyung dapat
dipukul mundur, dan di Maraupalam satu kompi berhasil dihancurkan. Perundingan
di antara pemuka Bonjol dan pihak Belanda pada awal tahun 1824 mempunyai dampak
politik pada para pemuka lainnya, ada yang terus berdamai, seperti Mansiangan,
pemuka Padri dari Enam Kota, Tuanku Raja Muning dari Pagarruyung, seorang
pemuka yang sebenarnya berhak atas kedudukan penghulu utama di Minangkabau.
Meninggalnya Tuanku nan Gapok pada bulan Februari 1824 karena terbunuh oleh
seorang pengikutnya, menimbulkan perpecahan di kalangan kaum Padri. Para
penghulu dari Tiga Belas Kota berunding dengan Belanda serta mendapat pengakuan
kekuasaannya.
Sebagai
usaha dari kedua pihak akhirnya pada tanggal 15 November 1825 dapat
dilangsungkan perundingan yang menghasilkan suatu traktat. Semua permusuhan
dihentikan dan kekuasaan Belanda diakui dari pihak kaum Padri.
Dengan
didirikannya pos-pos penjagaan di Minangkabau sejak bulan Juli 1830 timbul
kegiatan lagi dan perlawanan kaum Padri; bahkan mulai menjalankan agresi di
luar daerahnya, seperti di tanah Tapanuli. Taktik memperluas medan juga
ditanggapi oleh Belanda, akan tetapi serangannya dipusatkan terhadap Bonjol.
Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Muda terpaksa menyelamatkan diri dan lolos
sebelum Bonjol diduduki Belanda pada tanggal 21 September 1832. Antara tahun
1825 dan 1832 masih banyak penghulu yang meneruskan perlawanan, antara lain
dari Tujuh Kota, dan Dua Puluh Kota, Tuanku nan Cerdik, Tuanku Tembusi.
Akhir Perang
Akhirnya
pada tanggal 30 Oktober 1832 menyerahlah Tuanku nan Alahan dan dengan demikian
berakhirlah Perang Padri. Tuanku nan Alahan diangkat sebagai penghulu di Alahan
dan pemerintah Belanda akan turut menjaga bahwa di Sumatra Barat semua
perjudian, adu ayam, dan pemadatan, tidak lagi dilakukan oleh rakyat.
Dari
awal masyarakat Sumatra Barat dengan struktur sosialnya mempunyai kecenderungan
menimbulkan konflik intern, yaitu berdasarkan perbedaaan posisi mereka terhadap
adat dan agama. Kaum Padri dengan fundamentalisme serta puritanismenya dengan
sendiri menhadapi perlawanan kaum adat yang lebih condong mengadakan
keselarasan antara agama dan adat. Dalam perang intern antara kedua pihak itu
wajarlah apabila kemudian timbul pendekatan antara kaum adat dan Belanda.
Dengan aliansi itu Belanda dapat memperkokoh kedudukannya di Sumatra Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar