Sabtu, 12 Januari 2013

Cultuurstelsel



Cultuurstelsel, Dosa Imperialisme Tak terlupakan
            Kegagalan VOC dan sistem pajak yang dikomando oleh Rafles dalam mengembangkan perekonomian negara jajahan Indonesia membuat pemerintah Hindia Belanda mengakuisisi ekonomi Indonesia untuk melakukan perubahan struktural. Tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gubernur Jendral Van Den Bosch sebagai pemimpin baru. Kondisi keuangan Belanda yang sedang runtuh menjadi tugas berat Van den Bosch untuk mengembalikan kondisi keuangan seperti semula. Tuntutan untuk mengembangkan perekonomian negara Belanda dengan memanfaatkan negara koloni menjadi perioritas utama. Setelah Rafles diangap gagal dalam menjalankan misi imperialisme Belanda di Indonesia dengan sistem pajak tanah, maka dorongan pemerintah Belanda untuk mengeksploitasi Indonesia kian tinggi.
Dicetuskannya sistem cultuurstelsel atau sistem tanam paksa kepada petani-petani Indonesia menjadi langkah baru pada masa kepemimpinan Van Den Bosch untuk semakin memperkuat perekonomian Belanda. Sistem ini mewajibkan para petani menanam tanaman potensi export diladang mereka, sekaligus mereka dipaksa untuk membayar pajak berupa barang hasil pertanian yang kemudian diekspor ke negara-negara Eropa dengan nilai jual tinggi. Upaya pemiskinan ini membuat rakyat Indonesia semakin sengsara, hasil-hasil penen harus dijual kepada kolonial dengan harga yang rendah. Hal tersebut tentunya sangat merugikan petani Indonesia.
Sistem ini juga memaksa penyediaan lahan disetiap desa sebesar 20% untuk dikelola oleh pemerintah hindia belanda. Rakyat ditekan tanpa bisa melawan hukum represif yang mereka terapkan. Sedangkan bagi penduduk yang tidak mempunyai lahan, pemerintah kolonial juga memaksa penduduk untuk kerja rodi dilahan garapan penjajah. Akibatnya penduduk mengalami depresi yang luar biasa pada masa itu. Egbert de Vries dan Malcom Caldwell [2] menyatakan bahwa cultuurstalsel sebagai sistem eksploitasi yang bertanggung jawab bagi proses melatarbelakangkan dan memiskinkan sebagian besar rakyat Indonesia. Sistem tanam paksa menyebabkan penderitaan dan kemiskinan berkepanjangan bagi rakyat Indonesia.
Berbeda halnya dengan pemerintah kolonial Belanda yang diuntungkan dengan sistem tanam paksa. Defisit keuangan yang mereka alami pra-cultuurstalsel akhirnya tertutupi dengan pelaksanaan sistem tanam paksa. Pemerintah Belanda mendapatkan untung besar dari export hasil koloni mereka terhadap rakyat Indonesia.  Atas hasil tersebut Jendral Van den Bosch mendapatkan penghargaan dari pemerintah Belanda berupa Graaf pada tahun 1839.
            Diterapkannya sistem tanam paksa membuat angka produksi pertanian meningkat tajam, seperti gula, kopi dan nila mengalami peningkatan produksi untuk kebutuhan export ke Eropa. Dengan menerapkan politik batig slot (keuntungan yang besar), Belanda mendapatkan Keuntungan berlipat ganda yang dinikmati oleh pemerintah kolonial untuk mensejahterakan rakyat Belanda. Ada beberapa hal yang dapat dijelaskan pada masa sistem tanam paksa hingga mampu eksis dalam kurun waktu yang cukup lama: Pertama, ekspansi besar yang didorong oleh semangat untuk memperbaiki kondisi perekonomian Belanda yang sedang collapse menjadikan cara-cara eksploitatif sebagai solusi mereka. Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam menjadi potensi besar pengembangan produk export guna mencari keuntungan sebesar-besarnya. Selain itu, kondisi pasar internasional yang sedang bergairah terhadap produk pertanian menjadikan produksi pertanian di Indonesia terus digenjot untuk hasil maksimal dengan pengorbanan yang sekecilnya. Sehingga pemerintah kolonial Belanda benar-benar menikmati hasil koloni mereka serta mampu menutupi defisit keuangan mereka. Kedua, indonesia kaya akan sumber daya alam tetapi tidak didukung oleh sumber daya manusia yang baik. Rakyat Indonesia yang mayoritas belum berpendidikan mudah untuk dibodohi dengan memberikan tekanan yang tiada henti yang semakin memperdaya rakyat. Hal inilah yang kemudian menjadi faktor pelanggeng keberadaan Belanda yang sangat menyengsarakan rakyat Indonesia.
Setelah sekian lama menguasai Indonesia dengan sistem tanam paksa, kritik tajam mulai hadir dikalangan masyarakat Belanda yang merasa empati dengan penderitaan rakyat Indonesia yang diperas untuk kepentingan mereka. Kesadaran mereka mulai tumbuh seiring kondisi bangsa Indonesia yang makin tenggelam bersama kesengsaraan dan kemiskinan. Berkembangnya politik liberalisme ekonomi di Belanda dan Eropa yang menghendaki kebebasan setiap individu untuk melakukan kegiatan ekonomi tanpa ada intervensi negara menjadikan tuntutan agar pemerintah kolonial Belanda menghentikan sistem yang tak beradap tersebut. Setelah kaum liberal berhasil menguasai parlemen Belanda, perubahan kebijakan segera dilakukan dengan mengubah sistem cultuurstalsel menjadi sitem ekonomi liberal. Sistem tanam paksa dianggap eksploitatif dan tidak manusiawi, maka kebijakan pemerintah Belanda akhirnya mengalami perubahan menjadi ekonomi liberal dengan melibatkan swasta dalam perekonomian serta membatasi intervensi negara dalam kegiatan ekonomi. Dalam perkembangannya, kebijakan ekonomi liberal akhirnya dilaksanakan dinegara koloni Belanda termasuk Indonesia.
UU Agraria, Pintu gerbang Liberalisme Indonesia
            Kemenangan kaum liberal di parlemen Belanda menandai babak baru kebijakan ekonomi politik Belanda. Melalui politik batig slot , kolonial Belanda memporak- porandakan rakyat Indonesia dalam kubangan kemiskinan. Mencari keuntungan yang sebesarnya dengan menyengsarakan rakyat Indonesia sebagai budak kolonial. Akhirnya sistem ekonomi politik mengalami perubahan melalui sistem liberal. Setelah sistem tanam paksa dihapuskan, pemerintah kolonial Belanda lebih mementingkan modal dan investasi asing untuk membuka perkebunan-perkebunan besar [3] yakni dengan jalan kebijakan politik pintu terbuka ( open door policy). Pada awalnya liberalisme ekonomi dimaksudkan untuk menata sistem ekonomi yang lebih humanis dan tidak merugikan negara jajahan. Namun dengan seiring waktu, ekspektasi tersebut justru berbalik dengan realitas yang ada.  
Liberalisme ekonomi yang dibangun sebagai sistem ekonomi baru menghendaki kebebasan ekonomi dan pembatasan peran negara dalam kegiatan ekonomi sebagaimana yang telah terjadi pada sistem tanam paksa. Melalui politik pintu terbuka “open door policy” yakni membuka diri terhadap pengaruh luar dalam hal ini pihak asing untuk menanamkan modal investasi. Sistem politik ekonomi baru yang dikembangkan Belanda di Indonesia melalui undang-undang Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870. UU Agraria sebagai langkah awal terjadinya open door policy yang berisi beberapa point sebagai berikut :
Pertama, melindungi petani-petani dari hilangnya hak milik tanah. Dengan berlakunya UU ini maka petani punya hak untuk mengelola tanah garapan untuk pengembangan pertanian. Sistem tanam paksa mengakibatkan keterbatasan penggunaan hak milik petani atas tanah yang dimiliki untuk dikelolah sendiri. Selain itu, dengan berlakunya UU Agraria petani diberikan hak untuk menyewakan tanahnya kepada asing namun tidak untuk dijual. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan proteksi terhadap hilangnya hak milik tanah petani.
Kedua, UU Agraria juga menandai berlakunya liberalisasi ekonomi yakni terbukannya peluang asing untuk membuka perusahaan di Indonesia. Alhasil perusahaan-perusahaan besar berdiri kokoh diatas tanah sewa petani Indonesia. Keterlibatan Asing dalam hal ini pengusaha Belanda dan juga Eropa untuk menanamkan modal dan investasi mereka di Indonesia amat tinggi. Meskipun hak untuk memiliki tanah hanya diberikan bagi petani Indonesia, namun pada kenyataannya ekspansi ekonomi terbukti berhasil mendorong asing untuk mendominasi kegiatan ekonomi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh faham liberalisme yang menghendaki terbukanya peluang orang asing untuk investasi dan mendirikan perusahaan besar di Indonesia.
            Intervensi negara sangat dibatasi guna memberikan keluasan setiap individu untuk mengembangkan ekonomi. Dalam liberalisme, negara hanya berperan sebagai penjamin keamanan dan stabilitas politik serta sarana untuk menunjang kegiatan ekonomi dalam negeri. Sedangkan masalah ekonomi diserahkan sepenuhnya pada pasar, pendek kata negara sebagai “pemain sekunder” dalam kegiatan ekonomi. Sehingga kegiatan ekonomi dapat berjalan dengan lancar tanpa intervensi negara. Lahirya UU Agraria juga diiringi oleh turunnya undang-undang Gula (Suiker Wet) tahun 1870 yang mengatur pengusaha Gula di Indonesia. Beberapa isi pokok dari UU tersebut adalah perusahaan milik negara akan dihapuskan secara perlahan dan memberikan kesempatan pada asing untuk menggunakan  perusahaan tersebut. Akibatnya pengusaha asing berdatangan ke Indonesia untuk menanamkan modal mereka. Perekonomian Indonesia semakin ramai dengan kedatangan pengusaha asing, tentunya hal tersebut mempunyai implikasi besar bagi bangsa indonesia.
Membuka Tabir Liberalisme Kolonial
            Liberalisme ekonomi tahun 1870-1900 dimaksudkan untuk membentuk sistem perekonomian yang lebih humanis dengan memberikan hak pada setiap individu untuk mengembangkan usaha ekonomi. Berkaca pada sistem tanam paksa yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda pada rakyat Indonesia membuat berbagai tuntutan untuk menghapus sistem tersebut agar lebih humanis dengan sistem ekonomi liberal. Rakyat Indonesia mengalami pemiskinan ekonomi, sosial budaya yang menjadikan penderitaan semakin akut, namun disisi lain rakyat Belanda mendapatkan keuntungan besar dari sistem tersebut. Alasan tersebut yang mendorong kaum liberal yang memenangkan persaingan politik di parlemen Belanda tahun 1850 untuk membentuk ekonomi humanis.
            Sistem ekonomi liberalisme yang hadir sejak berlakunya UU Agraria dan UU Gula sebagai pintu gerbang masuknya dominasi asing terhadap perekonomian Indonesia. Berbagai problema muncul seiring berjalannya sistem liberalisme ekonomi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda.
Pertama, masuknya pengusaha asing dalam percaturan ekonomi Indonesia pada era liberalisme membuka lembaran baru sistem ekonomi. Dominasi asing semain kuat hampir diseluruh wilayah potensi pertanian khususnya di Jawa. Perusahaan-perusahaan besar berdiri dengan mengembangkan komuditas ekspor seperti gula, kopi, tembakau dan tanaman lainya. Meskipun UU Agraria tidak mengizinkan kepemilikan tanah atas orang asing namun sistem sewa masih dihalalkan, artinya pemerintah kolonial memberikan peluang yang luas bagi pihak swasta (asing) untuk memainkan ekonomi Indonesia. Dengan modal yang besar, pihak asing menanamkan modal untuk pengembangan perkebunan dan perusahaan hasil pertanian untuk di ekspor ke Eropa. Tanah milik para petani Indonesia disewakan kepada pihak asing untuk dikelola menjadi perkebunan dan produksi hasil pertanian. Akibatnya banyak dari pemilik tanah yang tidak lagi mampu menggarap lahan mereka secara mandiri. Khususnya masyarakat desa banyak yang beralih kerja menjadi buruh perkebunan yang dikuasai oleh Asing. 
            Industri berkembang pesat seiring waktu berjalan, dominasi asing juga semakin kuat diberbagai lini kehidupan masyarakat. Perekonomian Indonesia melaju pesat dengan eksport hasil pertanian dan perkebunan. Baik pemerintah kolonial maupun swasta mendapatkan keuntungan besar dari sistem Liberalisme ini. Namun, dimanakah posisi rakyat Indonesia ??. ternyata posisi rakyat Indonesia tidak jauh berbeda dengan era sebelumnya. Sistem liberalisme ekonomi tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya yakni memperalat rakyat Indonesia menjadi semakin miskin tak berdaya. Dua korporasi semakin mencekik rakyat Indonesia dalam kemiskinan.
            Jika dilakukan suatu komparasi antara era liberalisme dan era tanam paksa, kondisi rakyat indonesia masih pada posisi stagnasi. Pada era tanam paksa, rakyat indonesia diperbudak oleh kepentingan pemerintah kolonial Belanda untuk keuntungan mereka. Namun pada era liberalisme ekonomi, justru terdapat dua korporasi yang menguasai rakyat Indonesia yakni pihak asing (pemodal) dan pemerintah kolonial Belanda. Kepentingan Asing sebagai pemilik modal dengan pemerintah kolonial sebagai penguasa semakin melejitkan mereka dalam keuntungan. Politik batig slot dengan pemain baru yakni korporasi Asing. Sehingga tujuan awal untuk memberikan hak milik tanah dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia hanya bualan semata. Rakyat Indonesia tetap diperalat guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi  kepentingan negara meraka (Belanda). Humanitas yang diusung sebagai basis liberalisme ternyata tidak terbukti dalam kehidupan rakyat Indonesia. Maka liberalisme ekonomi sejatinya sebagai cara baru pemerintah kolonial untuk memperalat rakyat Indonesia supaya mencapai kepentingan politik batig slot mereka.
Kedua, liberalisme ekonomi di Indonesia juga menandai bermainnya ekonomi uang. Masuknya asing dalam sistem ekonomi liberal membuka jalan yang luas terhadap hubungan ekonomi lintas negara atau ekonomi internasional. Hubungan tersebut ditandai dengan kegiatan ekspor dan import barang dari luar negeri khususnya barang-barang dari Belanda.  Produksi barang dalam negeri (Indonesia) yang mengalami peningkatan tajam dengan kendali korporasi asing menggiatkan aktivitas export ke Luar Negeri. Kegiatan tersebut dibarengi oleh import barang-barang siap pakai atau barang jadi seperti tekstil bagi kebutuhan dalam negeri (Indonesia)[4]. Aktivitas import banyak  mendatangkan barang-barang dari Belanda, karena terdapat suatu relasi yang dibangun untuk semakin memperkuat ekonomi Belanda. Sirkulasi kegiatan ekonomi tersebut membawa perubahan mendasar bagi rakyat Indonesia terutama masyarakat pedesaan Jawa. Paling tidak ada dua implikasi yang disebabkan oleh kegiatan import yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda yakni tingkat konsumerisme yang tinggi dan matinya industri kecil rumah tangga yang dikelola oleh pribumi.
  Tingkat konsumerisme masyarakat terhadap barang-barang Import amat tinggi. Barang-barang baru berdatangan dari luar negeri dengan harga yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan barang yang diproduksi oleh pribumi. Ekonomi uang bermain menjadi suatu cara untuk mendapatkan barang-barang tersebut. Uang menjadi komoditas utama dalam menjalankan ekonomi dan secara tidak lansung masyarakat juga dikenalkan dengan sistem kapitalisme. Hal ini juga menyebabkan matinya industri kecil rumah tangga yang dikerjakan oleh pribumi akibat tidak mampu membendung barang-barang dari luar negeri (Belanda) yang harganya lebih murah. Akibatnya masyarakat mengalami kebangkrutan sehingga banyak yang mencari pekerjaan sebagai buruh di perkebunan Asing. Kejadian tersebut banyak dialami dipulau Jawa sebagai basis utama pengembangan perkebunan oleh pemerintah kolonial. Namun beban tersebut kian bertambah ketika orang Jawa harus menanggung burden of empire[5] yakni beban finansial wilayah kekuasaan pemerintah kolonial yang berada diluar pulau Jawa. Dengan tanggunangan beban wilayah lain dari penjajahan pemerintah kolonial Belanda menjadikan penduduk di Jawa harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan kebutuhan wilayah lain. Maka dengan kebijakan tersebut membuat penduduk Jawa semakin tertekan dalam kemiskinan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan liberalisasi ekonomi kolonial sama halnya dengan sistem tanam paksa yang menyengsarakan rakyat Indonesia dengan menggunakan model baru.
Implikasinya jelas terlihat dari kemiskinan yang semakin akut dan merata dikawasan pedesaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar