Jumat, 25 Januari 2013

PERANG PADRI



Latar Belakang

Pada awal abad 19, gerakan kaum wahabiah dengan puritanismenya melanda Sumatra Barat. Gerakan ini bertujuan membersihkan kehidupan agama Islam dari pengaruh-pengaruh kebudayaan setempat yang dianggap menyalahi ajaran agama Islam yang ortodoks. Diberantasnya perjudian, adu ayam, pesta-pesta dengan hiburan yang dianggap merusak kehidupan beragama.
Waktu Inggris memegang kekuasaan sementara, mereka berhasil menyingkirkan kaum Padri dari Padang seanteronya dengan segala tipu muslihat. Kemudian dibiarkanlah mereka menguasainya, maka dari itu ketika Hindia Belanda pada tahun 1816 datang kembali, daerah tersebut didominasi oleh kaum Padri. Kekuasaan sebagai penguasa dipakai untuk memungut pajak dan sebagian dari hasil panen, mengerahkan tenaga wanita dan anak-anaknya untuk “dijual” sebagai tenaga pekerja, antara lain di Sumatra Timur. Daerah kekuasaan kaum Padri meliputi daerah yang sebelumnya adalah wilayah kekuasaan kerajaan Minangkabau; berbatasan dengan Tapanuli, Siak, Indragiri, Jambi, dan Indrapura. Gerakan revivalisme atau revitalisme itu ternyata mempunyai kekuatan mobilisasi yang besar maka para penguasa daerah menggabungkan diri dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pusat gerakan adalah Bonjol atau Alam Panjang. Imam Bonjol dalam memimpin gerakan dibantu oleh Tuanku Mudik Padang dan Mansiangan. Dalam menghadapi perjuangan Kaum Padri, Belanda lama-kelamaan sadar bahwa pada hakikatnya gerakan itu tidak hanya mempertahankan kepentingan agama akan tetapi juga melakukan perlawanan terhadap penetrasi kolonial, sebagai ancaman terhadap kemerdekaan mereka. Proses pasifikasi berjalan lambat, bahkan sering kali Belanda terpaksa bersikap defensif karena kaum Padri mengadakan serangan-serangan ke daerah pantai. Belanda memandang pemerintahan kaum Padri menimbulkan suatu anarki, maka ada alasan untuk menjalankan “pasifikasinya”; yang jelas ialah bahwa gerakan menjalankan ekspansi ke jurusan Mandailing, tanah Batak, dan Riau sehingga “perang dalam” (internal war) berkobar; maka timbul situasi yang banyak mengakibatkan penderitaan. Bagi penguasa kolonial konflik dan perpecahan memberi dalih untuk menjalankan intervensinya dan menanam pengaruhnya.

Jalannya Perang

Sejak ditandatangani perjanjian Bonjol pada awal tahun 1824 semangat perlawanan tidak mereda melainkan semakin dahsyat, tidak mudahlah fundamentalisme seperti yang ada pada gerakan Padri dipadamkan begitu saja. Wajarlah pula bahwa dalam situasi konflik itu timbul kelompok yang tidak setuju dengan kaum Padri, antara lain mereka yang masih menganggap dirinya keturunan raja-raja Minangkabau atau panghulu-panghulu. Di antara mereka yang terkemuka ialah Tuanku nan Saleh dari Talawas Panghulu Tanah Datar, dan lain-lain. Politik kolonial Belanda mengikuti pola lama seperti yang telah dijalankan di daerah-daerah lain, yaitu cenderung memihak yang lebih “lunak”, dan karena itu lebih bersedia bekerja sama dengan Belanda.diharapkan bahwa dengan demikian front pribumi diperlemah.
Tuntutan kaum Padri ialah agar Belanda menarik diri dari daerah pedalaman (padangsche bovenlanden) sehingga mereka dapat secara leluasa menyebarluaskan agama dan menegakkan kehidupan beragama di daerah yang sudah Islam.
Meskipun telah ditandatangani kontrak antara Belanda dan para penghulu yang mewakili daerah kerajaan Minangkabau pada tanggal 10 februari 1821, jadi secara de jure Belanda telah diakui kekuasaannya, namun secara de facto daerah-daerah belum dikuasainya. Satu per satu kesemuanya perlu diperangi, ditundukkan, dan diduduki. Di antara pemuka-pemuka yang menandatangani ialah antara lain : Sumawang, Sulit Air, Sipitang, Gunung, Sungai Jambu, Sawah tengah, Tabing Guronsuroaso, Pagarruyung, Batusangkar, dan kampung-kampung di Tanah Datar. Tanjung Bandak, satu demi satu diduduki Belanda. Ada pula daerah dikuasai dengan melewati perundingan, seperti yang dilakukan dengan Tuanku Pasaman dan Tuanku Tanjung Alam.
Pos-pos yang didirikan Belanda menghadapi ancaman terus-menerus dari kaum Padri yang tiada henti-hentinya melakukan serangan-serangan, seperti terhadap Sumawang, Sulit Air, Rau, Enam Kota, dan Tanjung Alam. Untuk melemahkan basis Belanda kaum Padri melakukan juga serangan ke Tanah Datar dan juga ke Natal. Ofensif Belanda secara besar-besaran pada awal tahun 1820 terhadap Pagarruyung dapat dipukul mundur, dan di Maraupalam satu kompi berhasil dihancurkan. Perundingan di antara pemuka Bonjol dan pihak Belanda pada awal tahun 1824 mempunyai dampak politik pada para pemuka lainnya, ada yang terus berdamai, seperti Mansiangan, pemuka Padri dari Enam Kota, Tuanku Raja Muning dari Pagarruyung, seorang pemuka yang sebenarnya berhak atas kedudukan penghulu utama di Minangkabau. Meninggalnya Tuanku nan Gapok pada bulan Februari 1824 karena terbunuh oleh seorang pengikutnya, menimbulkan perpecahan di kalangan kaum Padri. Para penghulu dari Tiga Belas Kota berunding dengan Belanda serta mendapat pengakuan kekuasaannya.
Sebagai usaha dari kedua pihak akhirnya pada tanggal 15 November 1825 dapat dilangsungkan perundingan yang menghasilkan suatu traktat. Semua permusuhan dihentikan dan kekuasaan Belanda diakui dari pihak kaum Padri.
Dengan didirikannya pos-pos penjagaan di Minangkabau sejak bulan Juli 1830 timbul kegiatan lagi dan perlawanan kaum Padri; bahkan mulai menjalankan agresi di luar daerahnya, seperti di tanah Tapanuli. Taktik memperluas medan juga ditanggapi oleh Belanda, akan tetapi serangannya dipusatkan terhadap Bonjol. Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Muda terpaksa menyelamatkan diri dan lolos sebelum Bonjol diduduki Belanda pada tanggal 21 September 1832. Antara tahun 1825 dan 1832 masih banyak penghulu yang meneruskan perlawanan, antara lain dari Tujuh Kota, dan Dua Puluh Kota, Tuanku nan Cerdik, Tuanku Tembusi.

Akhir Perang

Akhirnya pada tanggal 30 Oktober 1832 menyerahlah Tuanku nan Alahan dan dengan demikian berakhirlah Perang Padri. Tuanku nan Alahan diangkat sebagai penghulu di Alahan dan pemerintah Belanda akan turut menjaga bahwa di Sumatra Barat semua perjudian, adu ayam, dan pemadatan, tidak lagi dilakukan oleh rakyat.
Dari awal masyarakat Sumatra Barat dengan struktur sosialnya mempunyai kecenderungan menimbulkan konflik intern, yaitu berdasarkan perbedaaan posisi mereka terhadap adat dan agama. Kaum Padri dengan fundamentalisme serta puritanismenya dengan sendiri menhadapi perlawanan kaum adat yang lebih condong mengadakan keselarasan antara agama dan adat. Dalam perang intern antara kedua pihak itu wajarlah apabila kemudian timbul pendekatan antara kaum adat dan Belanda. Dengan aliansi itu Belanda dapat memperkokoh kedudukannya di Sumatra Barat       

BAB II Masyarakat Hierarkis


Tugas Laporan Bacaan  Nusa Jawa; Silang Budaya Jilid III



BAB II
Masyarakat Hierarkis

Dalam struktur masyarakat Jawa yang sudah kita ketahu dalam perjalanan sejarahnya tidak lepas dari masyarakat hierarkis. Nusa Jawa berabad-abad silam telah menerima pengaruh dari beberapa kebudayaan besar di dunia. Persentuhan dengan kebudayaan besar yang pertama adalah kebudayaan India. Pengaruh India ini di istilahkan dengan Indianisasi. India yang corak keagamaannya adalah Hindu-Buddha serta konsep kerajaannya diserap dengan baik oleh masyarakat Jawa. Terutama sekali aadalah struktur masyarakat yang hierarkis atau kasta. Namun ternyata masyarakat hierarkis ini tidak secara mutlak diterapkan di Jawa.
Setelah agama Islam masuk ke tanah Jawa dengan membawa semangat egaliternya tak lantas membuat masyarakat Jawa benar-benar bersih dari budaya masyarakat hierarkis. Hal ini bisa dilihat dari struktur linguistic yang tidak bias disangkal keberadaannya yaitu adanya “tingkat-tingkat bahasa” yang oleh orang Belanda disebut taalsoorten- dalam tiga dari keempat bahasa yang terdapat di pulau jawa : bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Madura,-yang tingkat-tingkat bahasa merupakan yang paling kuat.
a.      Raja Sebagai Poros Dunia
Seorang raja berada pada puncak piramida kelas sosial, karena raja dianggap mempunyai tugas untuk menjaga kelestarian makrokosmos dan mikrokosmos (jagad raya). Dengan Pemujaan terhadap gunung-gunung sebagai bentuk pemujaan asli kuno, maka raja selalu identik dengan gunung tersebut, konsep itu sendiri dibawa dari India yang terdapat pula di Funan, Kamboja. Karena dalam konsep agama Hindu pada saat itu, gunung identik dengan dewa-dewa sebagai “penguasa gunung” atau “raja gunung”.
Juga diyakini bahwa raja merupakan perwujudan seorang dewa. Kertanegara dianggap perwujudan Siwa, Kertarajasa perwujudan Harihara, Airlangga dan Ken Angrok sebagai wisnu, dll. Kematian merupakan proses pemuliaan atau pendewaan sang raja dan bagi masyarakat Jawa, kedekatan dengan gunung berapi memberika ciri-ciri plutonis tertentu kepada para raja.
Meskipun setelah kedatangan Islam, konsep raja tidak lagi dianggap sebagai perwujudan dewa, ternyata melahirkan konsep baru yang dibawa oleh Islam yakni raja sebagai perwakilan Allah. perubahan yang terjadi ternyata hanya pada permukaannya saja bahwa terjadi perubahan siapa yang diwakili oleh raja tersebut, yang pada akhirnya konsep lama tentang raja tersebut sebagai pemilik derajat paling tinggi masih melekat.

b.      Tekanan Birokrasi
Pada Masa kuno, pejabat-pejabat pemerintahan merupakan perwakilan raja di daerah-daerah atau di bidang-bidang tertentu. Selain itu, para pejabat tersebut juga mempunyai keterkaitan keluarga terhadap raja, sehingga memiliki status sosial yang masih berdekatan dengan raja. Seorang birokrat berperan sebagai penjembatan antara raja dengan kerajaannya.
Namun setelah terjadinya kolonialisasi, sistem birokrasi yang sudah melekat pun digantikan oleh sistem birokrasi kolonial yang membentuk aristokrasi otonomi, dalam hal ini sebagai pemutus para pegawai dari segala kekuasaan raja. Hal Tersebut merupakan warisan terhadap sistem birokrasi dewasa ini, para pegawai setelah kemerdekaan para pegawaai tidak mempunyai ikatan lagi dengan kerajaan kecuali Yogyakarta.

c.       Ketahanan Desa
Setelah mendapat berbagai macam pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan asing, serta terjadinya perubahan-perubahan dalam aspek sosial-budaya yang tak terhitung jumlahnnya, masyarakat desa ternyata masih menganut kebiasaan-kebiasaan tradisional yang merupakan warisan dari zaman sebelum Indianisasi. kebiasaan-kebiasaan tersebut rupanya menjadi budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat desa.
Corak ini menimbulkan istilah “Kebudayaan Pedesaan”, yang didalamnya masih dipertahankan ritus kebudayaan sejak zaman pra-Indianisasi. Upacara atau ritus tersebut antara lain sebagai berikut :
1.      Upacara Kurban Kerbau yang sampai saat ini masih dilangsungkan di Jawa.
2.      Pemujaan Dewi Padi atau Dewi Sri di Tanah Pasundan dan Tanah Jawa.
3.      Pagelaran wayang kulit semalam suntuk.
4.      Slametan atau kenduri yang bertujuan menjinakkan roh (dedemit,memedi,lelembut,tuyul).

Upacara atau ritus-ritus yang disebutkan diatas pada pokoknya menjaga keseimbangan antara desa dan makrokosmos, menghindari goncangan dan menaklukan roh-roh jahat. keserasian dan keterpaduan sosial diperkuat pula oleh kegiatan seperti gotong royong. walaupun evolusi pedesaan belakangan ini telah merubah sebagian di antaranya, hal tersebut tetap dinilai tinggi.

d.      Peran Wanita
Kaum wanita rupanya memang lebih bebas dalam lingkungan kerajaan agraris  daripada dikota-kota niaga pesisir. Di Jawa gelar kebangsawanan dapat diturunkan baik lewat wanita maupun pria, para antropolog yang telah mempelajari masyarakat-masyarakat Indonesia bagian timur sering menyebut adanya pembagian tugas dan kekuasaan yang merata antara kedua jenis kelamin.
Xin Tangshu yang menyatakan bahwa pada tahun 674 penduduk heling(Jawa) mempunyai ratu yang bernama Sima (Xi-mo), terdapat juga beberapa prasasti yang dengan jelas menyebut bangunan-bangunan yang didirikan oleh “ratu-ratu. Seperti Juga srikandi, di kalangan wanita Jawa, Siam dan Aceh masih tetap ada segi jantan dan semangat juangnya.
Bersamaan dengan perkembangan Bandar-bandar (dan agama islam) beserta masyarakat urbannya, muncul pula kecenderungan untuk membatasi kebebasan wanita dan mengawasi segala gerak-geriknya. Untuk Selanjutnya mereka disisihkan dari kehidupan politik tempat mereka berkiprah, meskipun tidak tersingkir dari kehidupan ekonomi.

Rupa Transportasi Jakarta yang Kini Telah Punah

low-Helicak3-jpg_091217.jpg

Aneka macam angkutan umum yang sudah tersingkir dari Jakarta. Beberapa masih bisa ditemukan melaju melawan zaman. Sementara itu, jumlah pemakai kendaraan umum di Jakarta makin menurun. Tahun 1970, 70 persen warga Jakarta adalah pengguna angkutan umum. Tahun 2010 warga pengguna angkutan umum tinggal 17,1 persen.
Siapa masih inget helicak, alias helikopter becak? Dinamai begitu karena bentuknya dianggap mirip dengan heli dan becak. Kendaraan ini dipopulerkan Ali Sadikin tahun 1971 dan hanya bertahan selama beberapa tahun. Lihat betapa sepinya Jalan Thamrin ketika itu.
low-2420003-jpg_091217.jpg
1980-Oplet sejatinya adalah mobil sedan merk Morris yand dimodifikasi, kadang dengan mobil Austin. Tahun 1979 trayek oplet dihapus dan diganti dengan Mikrolet dan Metromini.
medium-42C38601-jpg_091228.jpg
1990-Becak masih bebas mangkal di Bundaran Hotel Indonesia. Jumlah tertinggi becak sepanjang sejarah ada pada tahun 1966 yakni 160 ribu.
low-010027102-jpg_091226.jpg
Becak mulai digunakan sejak tahun 1940 dan mulai dilarang sejak tahun 1988. Namun pemusnahan becak secara besar-besaran dari Jakarta baru terjadi pada tahun 1998.
low-R1a36901-jpg_091227.jpg

1996-Bis tingkat masih dapat ditemui di jalan utama kota Jakarta. Pengelolanya adalah Pengangkutan Penumpang Djakarta alias PPD. PPD dibentuk dari Maskapai Lintas Kota Batavia yang dinasionalisasi tahun 1954.