PEMBAHASAN
Sejak
Indonesia merdeka dan membentuk NKRI, sistem pendidikan mulai diatur oleh
negara sejak kemerdekaan tahun 1945. orde lama memfokuskan pendidikan sebagai
upaya dalam pembentukan karakter bangsa. Inilah orde dimana semua orang merasa sejajar,
tanpa dibedakan warna kulit, keturunan, agama dan sebagainya. Begitu juga dalam
dunia pendidikan, orde lama berusaha membangun masayarakat sipil yang kuat,
yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga
negara, termasuk dalam bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945 yang
menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Atas
usul badan pekerja KNIP, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mr. Soewandi)
membuat surat keputusan Nomor 104/Bhg o tertanggal 1 Maret 1946, untuk
membentuk panitia penyelidik pengajaran dibawah pimpinan Ki Hadjar Dewantara
dan Soegarda Poerbaka Watji sebagai penulis. Tugas yang diberikan kepada
panitia ini antara lain :
1. Merencanakan susunan baru dari tiap-tiap
macam sekolah
2. Menetapkan bahan pengajaran dengan
mempertimbangkan keperluan yang praktis dan jangan terlalu berat
3. Menyiapkan rencana pelajaran untuk tiap jenis
sekolah termasuk fakultas
Salah
satu hasil dari panitia tersebut adalah mengenai perumusan tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan nasional pada masa tersebut penekanannya adalah pada
penanaman semangat patriotisme dan peningkatan kesadaran nasional, sehingga
dengan semangat itu kemerdekaan dapat dipertahankan dan diisi. Kementrian pendidikan,
pengajaran dan kebudayaan Rapublik Indonesia dalam tahun 1946 mengeluarkan
suatu pedoman bagi guru-guru yang memuat sifat-sifat kemanusiaan dan
kewarganeraan sebagai dasar pengajaran dan pendidikan di negara Republik
Indonesia yang pada dasarnya berintisarikan Pancasila.
Pada
bulan Desember 1949 Republik Indonesia mengalami perubahan ketata negaraan dan
Undang-Undang Dasar 1945 diganti dengan konstitusi sementara Rapublik Indonesia
Serikat (RIS). Pada tanggal 5 April 1950 mengenai dasar-dasar pendidikan dan
pengajaran di sekolah. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 Bab II Pasal 3
disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah membentuk manusia
yang asusila dengan cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Ini berarti bahwa setiap
sistem persekolahan pada waktu itu harus dapat menanamkan dan mengembangkan
sifat-sifat demokratis pada anak didiknya misalnya : di dalam kampus muncul
kebebasan akademis yang luar biasa ditandai dengan fragmentasi politik yang
begitu hebat di kalangan mahasiswa-mahasiswa bebas berorganisasi sesuai dengan
pilihannya.[1]
Sejak
awal kemerdekaan pemerintah telah mengolah dan merumuskan masalah pendidikan
dan mencoba bentuk yang sesuai dengan keadaan sosial-ekonomi Indonesia. Aspek
pendidikan dengan segala permasalahannya ternyata lebih rumit keadaannya,
sehingga mengundang berbagai persoalan yang perlu segera ditangani. Dalam
kenyataannya, usaha perbaikan dan pendidikan tersebut tidak semata-mata diatur
oleh pemerintah, tetapi masyarakat ikut andil. Kebijakan politik terhadap
pendidikan pada tahun 1945-1950 belum dirasakan hasil yang sesuai dengan
harapan, karena faktor-faktor sosial, ekonomi, dan terutama politik. Namun
demikian pemerintah tidak berhenti berupaya menangani perbaikan. Usaha-usaha
perbaikan tersebut merupakan usaha untuk mengubah keadaan agar menjadi lebih
baik daripada masa lalu. Adapun usaha-usaha nyata yang dilakukan pemerintah
dalam periode 1945-1950 terutama ditunjukan pada kebutuhan utama berkenaan
dengan bangunan sekolah, tenaga guru, kurikulum dan sistem kerja.
Pendidikan tidak
mungkin dilepaskan dari aspek kebijakan. Kebijakan, yang dalam bahasa politik
dikenal sebagai produk atas kewenangan atau kuasa, inilah yang kemudian menjadi
peluru bagi proses implementasi sebuah konsep. Itulah sebabnya, setiap proses
kebijakan tidak mungkin bisa dilepaskan dari aspek politik, demikian pula
halnya dalam dunia pendidikan. Formulasi kebijakan inilah yang pada akhirnya
menjadi persenyawaan antara kepentingan idealis dan pragmatis, filosofis dan
teknokratis, juga senyawa kepentingan individualis dan populis. Pada senyawa
terakhir inilah sesuatu yang absurd akan mudah diamati, bahwasanya kebijakan
kerapkali tidak bisa dilepaskan dari aspek pergumulan kepentingan pribadi dan
golongan sehingga tidaklah mengherankan jika seorang kepala daerah seringkali
membuat kebijakan bersendikan pada kepentingan diri dan kelompoknya ketimbang
dihajatkan untuk kepentingan yang lebih luas.
Pendidikan
dan pengajaran sampai tahun 1945 di selenggarakan oleh kentor pengajaran yang
terkenal dengan nama jepang Bunkyio Kyoku dan merupakan bagian dari kantor
penyelenggara urusan pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Setelah di
proklamasikannya kemerdekaan, pemerintah Indonesia yang baru di bentuk menunjuk
Ki Hajar Dewantara, pendiri taman siswa, sebagai menteri pendidikan dan
pengajaran mulai 19 Agustus sampai 14 November 1945, kemudian diganti oleh Mr.
Dr. T.G.S.G Mulia dari tanggal 14 November 1945 sampai dengan 12 Maret 1946.
tidak lama kemudian Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dig anti oleh Mohamad Syafei dari 12
Maret 1946 sampai dengan 2 Oktober 1946. karena masa jabatan yang umumnya amat
singkat, pada dasarnya tidak bayak yang dapat diperbuat oleh para mentri
tersebut.
Kebijakan-kebijakan
pada periode/kurun waktu tersebut di atas.
1. Periode/kurun waktu 1945-1950
Usaha
untuk memperbaiki tingkat dan mutu pendidikan di Indonesia, maka kaitannya
adalah berhubungan dengan :
a. Peningkatan fasilitas fisik (sarana dan
prasarana pendidikan)
Pemerintah
mendirikan gedung-gedung sekolah baru, menyewa rumah-rumah rakyat dan
mengadakan sistem penggunaan gedung sekolah 2 sampai 3 kali sehari yaitu pagi,
siang dan malam hari.
b. Peningkatan dan penambahan fasilitas personal
sekolah (guru dan tenaga tata usaha)
c. Kurikulum
Setelah
UU Pendidikan dan Pengajaran Nomor 4 Tahun 1950 dikeluarkan, maka:
§ Kurikulum
pendidikan rendah ditujukan untuk menyiapkan anak agar memiliki dasar-dasar
pengetahuan, kecakapan dan ketangkasan baik lahir maupun batin serta
mengembangkan bakat dan kesukaannya.
§ Kurikulum
pendidikan menengah ditujukan untuk menyiapkan pelajar ke pendidikan tinggi,
serta mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan khusus, sesuai dengan
bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat.
§ Kurikulum
pendidikan tinggi ditujukan untuk menyiapkan mahasiswa agar dapat menjadi
pimpinan dalam masyarakat dan dapat memelihara kemajuan ilmu dan kemajuan hidup
kemasyarakatan.
d. Pembiayaan
Besarnya
pembiayaan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah pada kurun waktu ini sulit
diperoleh angka-angkanya secara pasti, karena sebagaimana kita ketahui bahwa
waktu itu kita berada dalam perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan.[2]
1.
Peraturan Undang-Undang Dasar
a. UUD
1945
1) Berlakunya
sejak 18 Agustus 1945 sampai pengakuan kedaulatan oleh Belanda yang melahirkan
RIS, 27 Desember 1949.
2) Pancasila
sebagai dasar Negara Kesatuan I Republik Indonesia, dengan rumusan:
a) Ketuhanan
Yang Maha Esa.
b) Kemanusiaan
yang adil dan beradab.
c) Persatuan
Indonesia.
d) Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
e) Kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3) Pasal-pasal
yang langsung tentang pendidikan:
a) Pasal
31
(1) Tiap-tiap
warga Negara berhak mendapatkan pengajaran;
(2) Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
b) Pasal
32
Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
2.
Sistem Persekolahan
Sistem
pendidikan di Indonesia pada awal kemerdekaan pada dasarnya melanjutkan apa
yang dikembangkan pada zaman pendudukan jepang. Sistem dimaksud meliputi tiga
tingkatan yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan
rendah adalah Sekolah Rakyat (SR) 6 tahun. Pendidikan menengah terdiri dari
sekolah menengah pertama dan sekolah menengah tinggi. Sekolah menengah pertama
yang berlangsung tiga tahun mempunyai beberapa jenis, yaitu sekolah menegah
pertama (SMP) sebagai sekolah menengah pertama umum; kemudian sekolah teknik
pertama (STP), kursus kerajinan negeri (KKN), sekolah dagang,sekolah kepandayan
putrid (SKP) sebagai sekolah menengah pertama kejuruan; serta sekolah guru B
(SGB) dan sekolah guru C (SGC) sebagai sekolah menengah pertama keguruan.
Sekolah menegah tinggi berlangsung
tiga tahun, meliputi sekolah menengah tinggi (SMT) sebagai sekolah menengah
umum, dan sekolah kejuruan berupa sekolah teknik menengah (STM), sekolah teknik
(ST), sekolah guru kepandayan putrid (SGKP), sekolah guru A (SGA) dan kursus
guru.
Sistem
persekolahan pada masa orde lama hanya mengenal 3 tingkat :
1. Pendidikan rendah, yang terdiri dari taman
kanak-kanak (1 tahun) dan sekolah dasar (6 tahun)
2. Pendidikan menengah yang terdiri dari sekolah
lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dengan
masa belajar untuk masing-masing terdiri atas sekolah umum dan sekolah
kejuruan.
3. Pendidikan tinggi selama kurun waktu
1945-1950 berkembang pesat dan terbuka lebar bagi setiap warga negara yang
memenuhi syarat, tetapi karena masa perjuangan maka perkuliahan kerap kali
disela dengan perjuangan ke garis depan. Pendidikan tinggi yang ada berbentuk
universitas atau perguruan tinggi dan akademi.
Para
pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba
terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional
yang dapat mengatasi masa panca roba seperti rongrongan terhadap NKRI.
Kebijakan
yang diambil orde lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan
universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan
kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu pendidikan tinggi yang
bermutu terdapat di pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR,
sedangkan di provinsi-provinsi karena kurangnya persiapan dosen dan
keterbatasan sarana dan prasarana mengakibatkan kemerosotan mutu pendidikan
tinggi mulai terjadi.
Orde
lama Presiden Soekarno mencanangkan program pendidikan pemberantasan buta
huruf, karena selama dijajah Belanda, rakyat tidak bisa menikmati pendidikan
sehingga mayoritas buta huruf.[3]
a. Negara Kesatuan I
Sistem persekolahan di
Indonesia sudah dipersatukan selama penjajahan Jepang, dan terus disempurnakan
dalam zaman Negara kesatuan I. Meskipun demikian, dalam pelaksanaanya belum
tercapai karena masih ada daerah pendudukan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pendidikan di daerah pendudukan banyak yang tidak dapat diselenggarakan, karena
faktor keamanan dan banyak pelajar yang turut serta berjuang mempertahankan
kemerdekaan sehingga tidak dapat bersekolah.
b. Negara Kesatuan II
Setelah dilakukan
konsolidasi yang itensif, maka Sistem Persekolahan Indonesia selama kurun waktu
1945-1950 yang terdiri atas: Pendidikan Rendah, Pendidikan Menengah, dan
Pendidikan Tinggi.
3.
Tujuan Dan Kurikulum Pendidikan
Dalam
kurun waktu 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami lima kali
perubahan. Sebagaimana tertuang dalam surat keputusan Menteri Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan (PP & K), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1946,
tujuan pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan amat menekankan penanaman
jiwa patriotosme. Hal ini dapat di pahami, karena pada saat itu bangsa
Indonesia baru saja lepas dari penjajah yang berlangsung ratusan tahun, dan
masih ada gelagat bahwa Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Oleh karena
itu penanaman jiwa patrionisme melalui pendidikan dianggap merupakan jawaban
guna mempertahankan negara yang baru diproklamasikan.
Sejalan
dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional
Indonesia pun mengalami perluasan; tidak lagi semata menekan jiwa patrionisme.
Dalam Undang-Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di
sekolah. “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia yang cukup
dan warga negara yang demokaratis secara bertanggung jawab tentang kesejahtraan
masyarakat dan tanah air”.
Kurikulum
sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan dan tahun 1950-an di tujukan untuk:
a. meningkatkan kesadaran bernegara dan
bermasyarakat,
b. meningkatkan pendidikan jasmani,
c. meningkatkan pendidikan watak,
d. menberikan perhatian terhafap kesenian,
e. menghubungkan isi pelajaran dengan
kehidupan sehari-hari, dan
f. mengurangi pendidikan pikiran.
Menyusul
meletusnya G-30 S/PKI yang gagal, maka melalui TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966
tentang Agama, Pendidikan, dan kebudayaan di adakan perubahan dalam rumusan
tujuan pendidikan nasional yaitu, “Membentuk manusia pancasilais sejati
berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikenhendaki oleh pembukaan UUD
1945”.
a. Posisi Siswa sebagai Subjek
dalam Kurikulum Orde Lama
Jika
kita berbicara tentang kurikulum, maka sudah sepatutnya kita membicarakan
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum pada era Orde Lama dibagi
manjadi 2 kurikulum di antaranya:
1)
Rentang Tahun 1945-1968
Kurikulum
pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer
plan” artinya rencana pelajaran. Perubahan arah pendidikan lebih
bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional.
Sedangkan, asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat
itu dikenal dengan sebutan “Rencana Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan
pada tahun 1950. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada
pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran
bernegara dan bermasyarakat.
Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi
dengan masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan
sehari-hari. Aspek afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan
pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting
adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela negara.
2)
Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum
ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut “Rencana Pelajaran Terurai
1952”. Silabus mata pelajarannya jelas sekali, dan seorang guru mengajar satu
mata pelajaran. Pada masa ini memang kebutuhan peserta didik akan ilmu
pengetahuan lebih diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan.
Namun, dalam kurikulum ini siswa masih diposisikan sebagai objek karena guru
menjadi subjek sentral dalam pentransferan ilmu pengetahuan. Guru yang
menentukan apa saja yang akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang
menentukan standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Muh. Said dan Junima
Affan, Mendidik dari Zaman ke Zaman, Bandung: Jemmars, 1987.
Nugroho Noto Susanto,
Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, 1983.
Standar Nasional Pendidikan, (Jakarta: Cemerlang, 2005), hlm. 102.
Redja
Mudyahardjo. 2001. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
hal 369-400
[2] Soenarto,
N., Biaya Pendidikan di Indonesia : Perbandingan
pada Zaman Kolonial Belanda dan NKRI (on
line) http://www.kompas.com
http://skyrainly.blogspot.com/2008/10/makalah-kebijakan-pendidikan-orde-lama.html ( Di unduh pada tanggal 11 April 2012 jam 22.52 WIB)
terima kasih, sangat membantu
BalasHapus