Sabtu, 01 Juni 2013

Kebijakan/ Politik Pendidikan Pada Awal Kemerdekaan



PEMBAHASAN

Sejak Indonesia merdeka dan membentuk NKRI, sistem pendidikan mulai diatur oleh negara sejak kemerdekaan tahun 1945. orde lama memfokuskan pendidikan sebagai upaya dalam pembentukan karakter bangsa. Inilah orde dimana semua orang merasa sejajar, tanpa dibedakan warna kulit, keturunan, agama dan sebagainya. Begitu juga dalam dunia pendidikan, orde lama berusaha membangun masayarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara, termasuk dalam bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Atas usul badan pekerja KNIP, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mr. Soewandi) membuat surat keputusan Nomor 104/Bhg o tertanggal 1 Maret 1946, untuk membentuk panitia penyelidik pengajaran dibawah pimpinan Ki Hadjar Dewantara dan Soegarda Poerbaka Watji sebagai penulis. Tugas yang diberikan kepada panitia ini antara lain :

1. Merencanakan susunan baru dari tiap-tiap macam sekolah
2. Menetapkan bahan pengajaran dengan mempertimbangkan keperluan yang praktis dan jangan terlalu berat
3. Menyiapkan rencana pelajaran untuk tiap jenis sekolah termasuk fakultas

Salah satu hasil dari panitia tersebut adalah mengenai perumusan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan nasional pada masa tersebut penekanannya adalah pada penanaman semangat patriotisme dan peningkatan kesadaran nasional, sehingga dengan semangat itu kemerdekaan dapat dipertahankan dan diisi. Kementrian pendidikan, pengajaran dan kebudayaan Rapublik Indonesia dalam tahun 1946 mengeluarkan suatu pedoman bagi guru-guru yang memuat sifat-sifat kemanusiaan dan kewarganeraan sebagai dasar pengajaran dan pendidikan di negara Republik Indonesia yang pada dasarnya berintisarikan Pancasila.

Pada bulan Desember 1949 Republik Indonesia mengalami perubahan ketata negaraan dan Undang-Undang Dasar 1945 diganti dengan konstitusi sementara Rapublik Indonesia Serikat (RIS). Pada tanggal 5 April 1950 mengenai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 Bab II Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah membentuk manusia yang asusila dengan cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Ini berarti bahwa setiap sistem persekolahan pada waktu itu harus dapat menanamkan dan mengembangkan sifat-sifat demokratis pada anak didiknya misalnya : di dalam kampus muncul kebebasan akademis yang luar biasa ditandai dengan fragmentasi politik yang begitu hebat di kalangan mahasiswa-mahasiswa bebas berorganisasi sesuai dengan pilihannya.[1]

Sejak awal kemerdekaan pemerintah telah mengolah dan merumuskan masalah pendidikan dan mencoba bentuk yang sesuai dengan keadaan sosial-ekonomi Indonesia. Aspek pendidikan dengan segala permasalahannya ternyata lebih rumit keadaannya, sehingga mengundang berbagai persoalan yang perlu segera ditangani. Dalam kenyataannya, usaha perbaikan dan pendidikan tersebut tidak semata-mata diatur oleh pemerintah, tetapi masyarakat ikut andil. Kebijakan politik terhadap pendidikan pada tahun 1945-1950 belum dirasakan hasil yang sesuai dengan harapan, karena faktor-faktor sosial, ekonomi, dan terutama politik. Namun demikian pemerintah tidak berhenti berupaya menangani perbaikan. Usaha-usaha perbaikan tersebut merupakan usaha untuk mengubah keadaan agar menjadi lebih baik daripada masa lalu. Adapun usaha-usaha nyata yang dilakukan pemerintah dalam periode 1945-1950 terutama ditunjukan pada kebutuhan utama berkenaan dengan bangunan sekolah, tenaga guru, kurikulum dan sistem kerja.

Pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari aspek kebijakan. Kebijakan, yang dalam bahasa politik dikenal sebagai produk atas kewenangan atau kuasa, inilah yang kemudian menjadi peluru bagi proses implementasi sebuah konsep. Itulah sebabnya, setiap proses kebijakan tidak mungkin bisa dilepaskan dari aspek politik, demikian pula halnya dalam dunia pendidikan. Formulasi kebijakan inilah yang pada akhirnya menjadi persenyawaan antara kepentingan idealis dan pragmatis, filosofis dan teknokratis, juga senyawa kepentingan individualis dan populis. Pada senyawa terakhir inilah sesuatu yang absurd akan mudah diamati, bahwasanya kebijakan kerapkali tidak bisa dilepaskan dari aspek pergumulan kepentingan pribadi dan golongan sehingga tidaklah mengherankan jika seorang kepala daerah seringkali membuat kebijakan bersendikan pada kepentingan diri dan kelompoknya ketimbang dihajatkan untuk kepentingan yang lebih luas. 

Pendidikan dan pengajaran sampai tahun 1945 di selenggarakan oleh kentor pengajaran yang terkenal dengan nama jepang Bunkyio Kyoku dan merupakan bagian dari kantor penyelenggara urusan pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Setelah di proklamasikannya kemerdekaan, pemerintah Indonesia yang baru di bentuk menunjuk Ki Hajar Dewantara, pendiri taman siswa, sebagai menteri pendidikan dan pengajaran mulai 19 Agustus sampai 14 November 1945, kemudian diganti oleh Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dari tanggal 14 November 1945 sampai dengan 12 Maret 1946. tidak lama kemudian Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dig anti oleh Mohamad Syafei dari 12 Maret 1946 sampai dengan 2 Oktober 1946. karena masa jabatan yang umumnya amat singkat, pada dasarnya tidak bayak yang dapat diperbuat oleh para mentri tersebut.

Kebijakan-kebijakan pada periode/kurun waktu tersebut di atas.
1. Periode/kurun waktu 1945-1950
Usaha untuk memperbaiki tingkat dan mutu pendidikan di Indonesia, maka kaitannya adalah berhubungan dengan :
a. Peningkatan fasilitas fisik (sarana dan prasarana pendidikan)
Pemerintah mendirikan gedung-gedung sekolah baru, menyewa rumah-rumah rakyat dan mengadakan sistem penggunaan gedung sekolah 2 sampai 3 kali sehari yaitu pagi, siang dan malam hari.
b. Peningkatan dan penambahan fasilitas personal sekolah (guru dan tenaga tata usaha)
c. Kurikulum
Setelah UU Pendidikan dan Pengajaran Nomor 4 Tahun 1950 dikeluarkan, maka:
§  Kurikulum pendidikan rendah ditujukan untuk menyiapkan anak agar memiliki dasar-dasar pengetahuan, kecakapan dan ketangkasan baik lahir maupun batin serta mengembangkan bakat dan kesukaannya.
§  Kurikulum pendidikan menengah ditujukan untuk menyiapkan pelajar ke pendidikan tinggi, serta mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan khusus, sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat.
§  Kurikulum pendidikan tinggi ditujukan untuk menyiapkan mahasiswa agar dapat menjadi pimpinan dalam masyarakat dan dapat memelihara kemajuan ilmu dan kemajuan hidup kemasyarakatan.
d. Pembiayaan
Besarnya pembiayaan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah pada kurun waktu ini sulit diperoleh angka-angkanya secara pasti, karena sebagaimana kita ketahui bahwa waktu itu kita berada dalam perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan.[2]


1.      Peraturan Undang-Undang Dasar

a.       UUD 1945
1)      Berlakunya sejak 18 Agustus 1945 sampai pengakuan kedaulatan oleh Belanda yang melahirkan RIS, 27 Desember 1949.
2)      Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan I Republik Indonesia, dengan rumusan:
a)      Ketuhanan Yang Maha Esa.
b)      Kemanusiaan yang adil dan beradab.
c)      Persatuan Indonesia.
d)     Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
e)      Kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3)      Pasal-pasal yang langsung tentang pendidikan:
a)      Pasal 31
(1)   Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran;
(2)   Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
b)      Pasal 32
Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.


2.      Sistem Persekolahan

         Sistem pendidikan di Indonesia pada awal kemerdekaan pada dasarnya melanjutkan apa yang dikembangkan pada zaman pendudukan jepang. Sistem dimaksud meliputi tiga tingkatan yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

         Pendidikan rendah adalah Sekolah Rakyat (SR) 6 tahun. Pendidikan menengah terdiri dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah tinggi. Sekolah menengah pertama yang berlangsung tiga tahun mempunyai beberapa jenis, yaitu sekolah menegah pertama (SMP) sebagai sekolah menengah pertama umum; kemudian sekolah teknik pertama (STP), kursus kerajinan negeri (KKN), sekolah dagang,sekolah kepandayan putrid (SKP) sebagai sekolah menengah pertama kejuruan; serta sekolah guru B (SGB) dan sekolah guru C (SGC) sebagai sekolah menengah pertama keguruan.

         Sekolah menegah tinggi berlangsung tiga tahun, meliputi sekolah menengah tinggi (SMT) sebagai sekolah menengah umum, dan sekolah kejuruan berupa sekolah teknik menengah (STM), sekolah teknik (ST), sekolah guru kepandayan putrid (SGKP), sekolah guru A (SGA) dan kursus guru.
Sistem persekolahan pada masa orde lama hanya mengenal 3 tingkat :
1. Pendidikan rendah, yang terdiri dari taman kanak-kanak (1 tahun) dan sekolah dasar (6 tahun)
2. Pendidikan menengah yang terdiri dari sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dengan masa belajar untuk masing-masing terdiri atas sekolah umum dan sekolah kejuruan.
3. Pendidikan tinggi selama kurun waktu 1945-1950 berkembang pesat dan terbuka lebar bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat, tetapi karena masa perjuangan maka perkuliahan kerap kali disela dengan perjuangan ke garis depan. Pendidikan tinggi yang ada berbentuk universitas atau perguruan tinggi dan akademi.

Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa panca roba seperti rongrongan terhadap NKRI.

Kebijakan yang diambil orde lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR, sedangkan di provinsi-provinsi karena kurangnya persiapan dosen dan keterbatasan sarana dan prasarana mengakibatkan kemerosotan mutu pendidikan tinggi mulai terjadi.

Orde lama Presiden Soekarno mencanangkan program pendidikan pemberantasan buta huruf, karena selama dijajah Belanda, rakyat tidak bisa menikmati pendidikan sehingga mayoritas buta huruf.[3]


a.       Negara Kesatuan I

     Sistem persekolahan di Indonesia sudah dipersatukan selama penjajahan Jepang, dan terus disempurnakan dalam zaman Negara kesatuan I. Meskipun demikian, dalam pelaksanaanya belum tercapai karena masih ada daerah pendudukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pendidikan di daerah pendudukan banyak yang tidak dapat diselenggarakan, karena faktor keamanan dan banyak pelajar yang turut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan sehingga tidak dapat bersekolah.

b.      Negara Kesatuan II

       Setelah dilakukan konsolidasi yang itensif, maka Sistem Persekolahan Indonesia selama kurun waktu 1945-1950 yang terdiri atas: Pendidikan Rendah, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi.



3.      Tujuan Dan Kurikulum Pendidikan

         Dalam kurun waktu 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami lima kali perubahan. Sebagaimana tertuang dalam surat keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP & K), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1946, tujuan pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan amat menekankan penanaman jiwa patriotosme. Hal ini dapat di pahami, karena pada saat itu bangsa Indonesia baru saja lepas dari penjajah yang berlangsung ratusan tahun, dan masih ada gelagat bahwa Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Oleh karena itu penanaman jiwa patrionisme melalui pendidikan dianggap merupakan jawaban guna mempertahankan negara yang baru diproklamasikan.

         Sejalan dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional Indonesia pun mengalami perluasan; tidak lagi semata menekan jiwa patrionisme. Dalam Undang-Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia yang cukup dan warga negara yang demokaratis secara bertanggung jawab tentang kesejahtraan masyarakat dan tanah air”.

         Kurikulum sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan dan tahun 1950-an di tujukan untuk:
a.       meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
b.      meningkatkan pendidikan jasmani,
c.       meningkatkan pendidikan watak,
d.      menberikan perhatian terhafap kesenian,
e.        menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, dan
f.       mengurangi pendidikan pikiran.

         Menyusul meletusnya G-30 S/PKI yang gagal, maka melalui TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan kebudayaan di adakan perubahan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu, “Membentuk manusia pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikenhendaki oleh pembukaan UUD 1945”.


a.      Posisi Siswa sebagai Subjek dalam Kurikulum Orde Lama

        Jika kita berbicara tentang kurikulum, maka sudah sepatutnya kita membicarakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum pada era Orde Lama dibagi manjadi 2 kurikulum di antaranya:

1)      Rentang Tahun 1945-1968

        Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer plan” artinya rencana pelajaran. Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan, asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan “Rencana Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
       
        Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela negara.

2)      Rencana Pelajaran Terurai 1952

         Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut “Rencana Pelajaran Terurai 1952”. Silabus mata pelajarannya jelas sekali, dan seorang guru mengajar satu mata pelajaran. Pada masa ini memang kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan. Namun, dalam kurikulum ini siswa masih diposisikan sebagai objek karena guru menjadi subjek sentral dalam pentransferan ilmu pengetahuan. Guru yang menentukan apa saja yang akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang menentukan standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.















DAFTAR PUSTAKA

Muh. Said dan Junima Affan, Mendidik dari Zaman ke Zaman, Bandung: Jemmars, 1987.

Nugroho Noto Susanto, Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, 1983.

Standar Nasional Pendidikan, (Jakarta: Cemerlang, 2005),  hlm. 102.

Redja Mudyahardjo. 2001. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
hal 369-400

[1] Drs. Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1995, hal. 36
[2] Soenarto, N., Biaya Pendidikan di Indonesia : Perbandingan pada Zaman Kolonial Belanda dan NKRI (on line) http://www.kompas.com
[3] Anam, S., Sekolah Dasar, Pergulatan Mengejar Ketertinggalan, Solo : Wajatri, hal. 113-148

http://skyrainly.blogspot.com/2008/10/makalah-kebijakan-pendidikan-orde-lama.html ( Di unduh pada tanggal 11 April 2012 jam 22.52 WIB)









1 komentar: