BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Semenjak Cina menjadi suatu kekaisaran
pada abad ke-3 sebelum Masehi, di Cina telah sering terjadi pergantian dinasti,
atau keluarga penguasa. Secara garis besar, dinasti-dinasti ini terbagi menjadi
dua jenis. Pertama, adalah dinasti besar yang berkuasa lama –misalnya Dinasti
Han (awal abad ke-3 sebelum Masehi hingga tahun 220), T’ang (618-906), Sung
(960-1279), Ming (1368-1644), dan dinasti terakhir Chi’ng, atau Manchu
(1644-1912). Jenis kedua adalah sejumlah dinasti kecil yang hanya berkuasa
sebentar di antara masa pemerintahan dinasti-dinasti besar. Beberapa dinasti
kecil ini hanya bertahan selama tidak lebih dari 20 tahun atau bahkan kurang,
seperti halnya dinasti Chi’ng sebelum Han.[1]
Terlepas dari itu, muncul dan tenggelamnya sebuah dinasti memiliki beberapa hal
yang menarik untuk dilihat. Pola-polanya yang mirip disertai dengan faktor
pendorongnya yang berupa pepatah China kuno atau mandat langit menjadi hal yang
unik.
2.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas dapat
dipetakan rumusan masalah sebagai berikut.
·
Apa yang dimaksud dengan
dinasti?
·
Mengapa terjadi siklus
dinasti?
·
Pola seperti apa yang
selalu berulang dalam siklus dinasti?
·
Bagaimana kondisi
sosial semasa peralihan dinasti?
KATA PENGANTAR
Puji
serta syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
karunia-Nya kami dapat merampungkan tugas ini yang berjudul “Integrasi China
dan Siklus Dinasti”. Tugas ini disusun untuk memenuhi nilai tugas pada mata
kuliah Sejarah Asia Timur. Adapun tugas ini masih sangat jauh dari sempurna,
kami sangat terbuka terhadap kritik dan saran pembaca. Agar kami dapat menyusun
makalah dengan lebih baik lagi.
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi kami yang menyusun, dan umumnya
bagi para pembacanya
Jakarta,
12 Maret 2013
Penyusun
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Dinasti
Dinasti
adalah lamanya waktu sebuah keluarga memegang kekuasaan kekaisaran. Dalam
konteks China, politik dinasti mulai diterapkan pada masa Dinasti Xia yang
kemudian bertahan hingga 4000 tahun setelahnya. Sebelumnya, sistem pergantian kekuasaan
di China adalah dengan menempatkan orang yang dianggap mampu mengemban jabatan
tersebut. Polanya mirip dengan pada masa kekhalifahan Bani Umayyah. Tetapi,
sistem pergantian semacam itu digantikan oleh sistem pewarisan kekuasaan
berdasarkan keturunan. Tatkala Yu – kaisar Dinasti Xia – sudah tua, ia
bermaksud menyerahkan kepemimpinannya kepada Bo Yi. Namun, putra Yu bernama Qi,
berhasil membunuh Bo Yi dan merampas kekuasaan.[2]
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini pun dinasti politik masih sering
kita jumpai. Bahkan dinasti politik belakangan ini menjadi ancaman serius yang
dapat mencederai masa depan demokrasi Indonesia.
Siklus Dinasti
Baik
lama maupun singkat, asli maupun asing, selama berabad-abad dinasti Cina jatuh
dan bangun dalam suatu pola yang dilukiskan sebagai “daur dinasti”. Sebuah
dinasti baru biasanya muncul setelah suatu periode terpecah belah dan perang
saudara yang diakibatkan oleh kekacauan dinasti sebelumnya. Sekali berdiri,
dinasti baru akan berlangsung melalui suatu pemerintahan yang baik dan
kemakmuran ekonomi, diikuti oleh suatu kemunduran karena tekanan penduduk,
petualangan militer, atau faktor lain, dan akhirnya disusul oleh
keterpecahbelahan dan akhirnya jatuh.[3]
Seperti sudah ditakdirkan, tapi bisa diterima secara logika, karena sebuah
dinasti yang kemudian muncul setelah terjadinya permasalahan yang disebutkan
tadi pasti akan membuat suatu kebijakan yang bertolak belakang dengan dinasti
sebelumnya. Pola seperti ini pun secara empiris di alami oleh bangsa kita,
Indonesia. Meskipun tidak sama, tetapi mirip, ketika era Orde Baru melarang
segala opini yang sifatnya kritik itu dibungkam oleh negara. Kemudian ini
memicu mereka yang sadar akan hak-hak kemanusiaan. Digulingkanlah Orde Baru ini
pada Mei 1998, lalu pada era reformasi dilindungilah hak-hak mengemukakan
pendapat sekalipun itu bersifat kritik.
Dalam
konteks China, hal itu dapat kita temukan salah satunya pada masa Dinasti Qin
yang kemudian digulingkan dan berdiri Dinasti Han. Pada masa Dinasti Qin, China
ditudungi oleh seorang Tiran yang kejam yaitu Qin Shihuangdi. Salah satu
kekejaman yang dilakukannya adalah membakar buku-buku karya para ahli filsafat
zaman dahulu yang isinya bertentangan dengan pokok-pokok pikiran legalis
(misalnya Konfusianisme).[4]
Tindakan ini dilakukan untuk mencegah kritik terhadap pemerintahannya. Hal
tersebut mirip dengan apa yang dilakukan oleh Soeharto bukan? Selain itu,
sistem pajak dan kewajiban kerja bakti yang sangat berat dibebankan kepada
rakyat.
Untuk
itu, para penguasa Dinasti Han kemudian berusaha untuk menghapuskan
undang-undang Dinasti Qin yang terlalu memberatkan rakyat. Salah satu usaha
yang dilakukan adalah mengurangi pajak. Pajak tanah (tianzu) dikurangi hingga
1/30-nya, kerja bakti bagi negara dikurangi hingga sekali setiap tiga tahun dan
dapat dihindari bila seseorang membayar sejumlah uang tertentu (gengfu), serta
pajak perdagangan (suanfu) dikurangi hingga 40 qian (satuan mata uang pada
zaman itu).[5]
Pola-pola seperti ini juga dapat kita lihat pada masa Dinasti Qing, dimana
kaisar pertamanya, Sunzhi, mencoba menarik simpati rakyat guna memperoleh
dukungan terhadapnya. Sunzhi sadar bahwa dinastinya ini adalah dinasti “asing”
bagi rakyat China dan ia mempelajari apa yang telah terjadi pada masa dinasti
sebelumnya, yaitu Dinasti Yuan, yang juga runtuh karena dianggap oleh rakyat
sebagai dinasti “asing”.
“Mandat Langit”
Ketika
sebuah keluarga yang sedang berkuasa menjadi lemah dan korup, sebagaimana yang
telah dilakukan mereka semua cepat atau lambat, maka berbagai urusan negara
akan berkembang dengan buruk sekali. Harga pun akan naik sehingga rakyat tidak
dapat hidup dengan tenang. Terdapat pepatah China kuno yang berbunyi, “Apabila
harga barang telah naik sehingga rakyat tak dapat membelinya, Tuhan pun akan
menitahkan suatu perubahan penguasa”.[6]
Dengan kata lain dinasti baru pun muncul. Tanda-tanda akan runtuhnya suatu
dinasti dan akan munculnya dinasti baru dapat di raba-raba dari
indikasi-indikasi yang terjadi. Pola ini selalu berulang dan terus terjadi,
bahkan sampai sekarang ini. Jika kita tarik pada apa yang akhir-akhir ini
menjadi topik hangat di surat kabar, mengenai gerakan MKRI misalnya. Gerakan
ini di isukan akan meng-kudeta Susilo Bambang Yudhoyono selaku petahana. Kudeta
tersebut tentunya disokong dengan rasa ketidak-puasan masyarakat terhadap rezim
tersebut. Seperti harga bawang dan cabai yang terus melangit serta kader-kader
dari partai demokrat selaku pemenang pemilu banyak terjerat kasus tindak pidana
korupsi. Terlepas dari benar atau tidaknya isu itu, disini dapat kita lihat
mengenai substansi dari pepatah China yang disebutkan diatas. Pada masa Dinasti
Xia pun seperti itu, Jie, kaisar terakhir dari dinasti ini adalah seorang yang
korup. Ia lebih mementingkan hasratnya untuk memperindah bangunan istananya
dibandingkan memikirkan nasib rakyatnya. Untuk itu terjadilah
pemberontakan-pemberontakan yang kemudian meruntuhkan dinasti tersebut.
Siklus Dinasti: Pola
yang Selalu Berulang
Sejarah
Cina, hingga terbentuknya Republik Cina pada tahun 1912, banyak diwarnai dengan
muncul dan tenggelamnya sebuah dinasti. Pergantian antar dinasti
dalam sejarah Cina
jarang terjadi dengan mulus dan damai. Sering kali satu dinasti didirikan
sebelum dinasti yang ada berakhir dan sering pula suatu dinasti tetap ada
hingga beberapa lama sejak dikalahkan.[7]
Terbit dan tenggelamnya dinasti-dinasti ini pada dasarnya memiliki kesamaan
dalam pola-pola yang dilaluinya, baik itu dalam aspek politik maupun ekonomi.
Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai pola-pola seperti apa yang selalu
berulang dalam kaitannya dengan pergantian dinasti.
·
Politik
Dalam aspek politik ini
ada beberapa pola yang selalu berulang, seperti diantaranya ketidak-cakapan
kaisar dalam menjalankan roda pemerintahan, landasan hukum yang diterapkan,
serangan dari bangsa barbar, dan juga intrik-intrik istana.
§ Ketidak-cakapan kaisar
Ketidak-cakapan kaisar
dalam menjalankan roda pemerintahan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada
bagian Siklus Dinasti, bahwa kemajuan dalam suatu dinasti itu biasanya diikuti
dengan kemunduran. Hal ini disebabkan kaisar-kaisar terakhir dari suatu dinasti
yang lupa akan amanat yang sedang dipegangnya. Seperti Jie, kaisar terakhir
Dinasti Xia, ia adalah seorang kaisar yang korup yang lebih mementingkan hasrat
pribadinya dibandingkan kepentingan rakyatnya. Lalu pada masa Dinasti Shang
dibawah pemerintahan Zhouxin, yang merupakan seorang zalim. Ia membunuh orang
yang berusaha menasihatinya agar menghentikan kekejaman itu,[8]
kemudian muncullah dalam benak rakyat untuk menumbangkan dinasti ini.
§ Landasan hukum
Mengenai landasan hukum
ini mungkin sama halnya dengan ideologi. Pada masa Dinasti Qin, seperti yang
sudah disinggung diatas bahwa Qin Shihuangdi menganut aliran legalisme yang
menyengsarakan rakyat. Kemudian pada masa Dinasti Han diterapkan tandingan dari
apa yang diterapkan kaisar Qin itu, yaitu konfusianisme yang notabene lebih
moderat. Pun pola seperti ini terus berlangsung, dalam konteks Indonesia,
perumusan mengenai ideologi negara yang mampu merangkul setiap kepala rakyatnya
diformulasikan pada sidang BPUPKI hingga akhirnya ditetapkan ideologi
Pancasila.
§ Serangan dari bangsa
Barbar
Serangan ini terus
menerus menjadi ancaman bagi setiap dinasti di China. Untuk itu Kaisar Qin
Shihuangdi dari Dinasti Qin, membuat apa yang sekarang dikenal dengan tembok
China guna membendung serangan itu. Meskipun nantinya pada tahun 1279 bangsa
Barbar berhasil menaklukan Dinasti Song dan mendirikan Dinasti Yuan.
§ Intrik istana
Konflik-konflik
internal yang terjadi didalam istana pun menjadi hal yang sangat sering terjadi.
Perebutan kursi kekaisaran menjadi pemandangan yang menarik untuk dilihat. Sebagaimana
yang terjadi pada masa Dinasti Han. Kala itu, Kaisar Lingdi yang naik tahta
saat berusia 12 tahun mengusir permaisurinya dan dua tahun kemudian seorang
selir bermarga He melahirkan seorang putra, sehingga kaisar mengangkatnya
sebagai permaisuri. Putranya ini diberi nama Liu Bian dan diangkat sebagai
putera mahkota. Untuk mengukuhkan kekuasaannya permaisuri meracuni seorang
selir lainnya yang juga telah melahirkan seorang putra bernama Liu Xie. Pada
zaman itu, faksi pemegang kekuasaan lainnya juga terletak pada kaum keberi.
Terjadilah upaya-upaya saling bunuh membunuh antara kaum keberi dan permaisuri
He.[9]
Permasalahan-permasalahan seperti inilah yang selalu saja berulang dalam sebuah
dinasti ketika sang kaisar akan menetapkan seorang putera mahkota.
·
Ekonomi
Seperti halnya politik,
ada pola-pola yang sama yang berulang dalam aspek ekonomi. Hal ini terkait
pemulihan bidang pertanian pada setiap dinasti baru, sistem pajak, sistem
pembagian tanah, dan juga pembangunan jalur perdagangan dan transportasi.
§ Pemulihan bidang
pertanian
Pasca terjadinya
pemberontakan untuk menurunkan suatu dinasti lama, dinasti baru yang muncul
biasanya kembali menata bidang pertanian. Hal ini menjadi wajar, mengingat
pertanianlah yang mengisi kas-kas negara. Dengan berbagai kebijakan dalam
pertanian seperti pajak dan pembagian tanah telah berhasil menjadi penopang
bangsa China dari segi ekonomi.
§ Sistem pajak
Sistem pajak juga
dinilai menjadi pola yang selalu berulang dan diwarnai modifikasi-modifikasi
setiap dinasti. Seperti pada masa yang disebut para ahli sejarawan sebagai
Dinasti Utara-Selatan. Sistem perpajakan yang dikembangkan pada masa ini
disebut zudiaofa. Dimana pajak yang dibayarkan berupa gandum dan juga sutera
serta barnag-barang berharga lainnya sesuai dnegan usia serta jenis kelamin
mereka.[10]
Dalam sistem pajak ini mungkin pada dasarnya adalah sama, yaitu mengenai pajak
tanah dan hasil-hasil pertanian. Tetapi yang membedakannya dari setiap dinasti
ini adalah besaran yang dikenakannya.
§ Sistem pembagian tanah
Sama seperti halnya
sistem pajak, sistem pembagian tanah jua merupakan kebijakan yang selalu
diterapkan dalam setiap dinasti. Pada masa yang disebut para ahli sejarawan
dengan Dinasti Utara-Selatan, diterapkan sistem pembagian tanah. Seorang budak
diberikan sebidang tanah dengan ukuran tertentu yang harus mereka kerjakan
seumur hidupnya. Para pejabat kerajaan pun diberikan sebidang tanah dengan luas
tertentu yang tetap menjadi milik kerajaan dan bukannya pribadi. Tanah yang
diberikan kerajaan itu tidak boleh dijual kembali.[11]
Hal ini pun kembali diterapkan pada masa Dinasti Tang. Sistem pembagian tanah
ini mungkin dimaksudkan untuk menjamin pemasukan yang pasti dari negara dengan
mengurangi kepemilikan tanah oleh para tuan tanah.
§ Jalur perdagangan dan
Transportasi
Jalur perdagangan dan
transportasi pun menjadi perhatian dari setiap dinasti yang berkuasa. Tentu
saja demikian, mengingat hal itu akan berdampak pula pada kas negara.
Pemerintah Dinasti Tang memperpanjang terusan yang telah dibangun para Dinasti
Sui guna memperlancar transportasi gandum dari daerah aliran sungai Yangzhi
yang subur ke utara. Kemudian ibu kota dibagi menjadi beberapa sektor dan
terdapat dua pasar yang menyediakan kebutuhan warganya sekaligus menjadi sumber
pendapatan pajak negara.[12]
Pada masa Dinasti Utara-Selatan pun demikian, dan hampir setiap dinasti
melakukannya.
Kondisi Sosial Pada
Masa Siklus Dinasti
Pertanyaan yang muncul seiring
dengan berlangsungnya peralihan dinasti adalah, bagaimanakah rakyat dapat hidup
seperti biasanya sementara perjuangan berlangsung? Kenyataannya adalah mereka
mampu berlaku demikian karena struktur masyarakatnya.[13]
Pearl S Buck. menyebut dua hal yang sangat penting didalam struktur masyarakat
ini. Yang pertama adalah administrasi pemerintahan Cina. Dalam setiap
pemerintahan, administrasi pemerintahan ini terdiri atas para karyawan yang
akan terus bekerja tidak peduli partai politik atau dinasti apa yang sedang
berkuasa.
Unsur
lain yang menstabilkan Cina adalah keluarga. Alih-alih membentuk jaringan
kepolisian yang terinci, bangsa Cina hanya menyuruh setiap keluarga bertanggung
jawab terhadap setiap anggota keluarganya. Keluarga berarti saudara, bukan
hanya orang tua saja, melainkan paman, bibi, kakek, nenek, dan saudara sepupu
yang jauh ikatannya. Seorang laki-laki (atau perempuan) tidak memiliki
kemampuan untuk berperilaku menyimpang karena semua saudara mengawasinya.
Seluruh keluarga akan mengawasinya karena mereka harus memikul akibat kejahatan
atau pelanggaran yang dilakukan anak tadi. Tanggung jawab ini begitu
mendalamnya sehingga, jika anak tadi sudah tak dapat lagi dikendalikan,
keluarganya harus membunuhnya. Namun, tanggung jawab dan kontrol keluarga
secara menyeluruh ini mengakibatkan masyarakat menjadi teratur dan berperilaku
baik bahkan selama masa-masa peralihan dinasti.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebuah
dinasti baru biasanya muncul setelah suatu periode terpecah belah dan perang
saudara yang diakibatkan oleh kekacauan dinasti sebelumnya. Ketika sebuah
keluarga yang sedang berkuasa menjadi lemah dan korup, sebagaimana yang telah
dilakukan mereka semua cepat atau lambat, maka berbagai urusan negara akan
berkembang dengan buruk sekali. Harga pun akan naik sehingga rakyat tidak dapat
hidup dengan tenang. Terdapat pepatah Cina kuno yang berbunyi, “Apabila harga
barang telah naik sehingga rakyat tak dapat membelinya, Tuhan pun akan
menitahkan suatu perubahan penguasa”. Dengan kata lain, dinasti baru pun
muncul.
Bagaimanakah
rakyat dapat hidup seperti biasanya sementara perjuangan berlangsung?
Kenyataannya adalah mereka mampu berlaku demikian karena struktur
masyarakatnya. Pearl S Buck. menyebut dua hal yang sangat penting didalam
struktur masyarakat ini. Yang pertama adalah administrasi pemerintahan Cina.
Unsur lain yang menstabilkan Cina adalah keluarga. Alih-alih membentuk jaringan
kepolisian yang terinci, bangsa Cina hanya menyuruh setiap keluarga bertanggung
jawab terhadap setiap anggota keluarganya. Dua unsur ini mengakibatkan
masyarakat menjadi teratur dan berperilaku baik bahkan selama masa-masa
peralihan dinasti.
DAFTAR PUSTAKA
Taniputera,
Ivan. History Of China. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011.
Horst,
D. Van der. Geschiedenis van China.
Jogjakarta: UGM, 1982.
S.
Buck, Pearl. China Sebuah Pengantar.
Sutopo,
FX. China: Sejarah Singkat.
Jogjakarta: Garasi, 2009.
http://id.wikipedia.org/wiki/Dinasti_dalam_sejarah_Cina
Di akses pada 12 Maret 2013
[1] Pearl S. Buck. Cina: Sebuah
Pengantar. (Penulis The Good Earth).
[2] Ivan Taniputera, History of China
(Ar-Ruzz Media: Jogjakarta, 2011), hal. 55.
[3] Pearl S. Buck, Op. cit. hal.
20
[4] Ivan Taniputera, Op. cit.
hal. 144
[5] Ibid., hal. 200-201
[6] Pearl S. Buck, Op. cit. hal
2
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Dinasti_dalam_sejarah_Cina
Di akses pada 12 Maret 2013
[8] Ivan Taniputera, Op. cit.
hal. 62
[9] Ibid., hal. 183-184
[10] Ibid., Hal. 301
[11] Ibid., Hal. 300
[12] Ibid., hal. 356
[13] Pearl S. Buck, Op. cit. hal.
2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar