Sabtu, 01 Juni 2013

MAKALAH INTEGRASI CHINA DAN SIKLUS DINASTI



BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Semenjak Cina menjadi suatu kekaisaran pada abad ke-3 sebelum Masehi, di Cina telah sering terjadi pergantian dinasti, atau keluarga penguasa. Secara garis besar, dinasti-dinasti ini terbagi menjadi dua jenis. Pertama, adalah dinasti besar yang berkuasa lama –misalnya Dinasti Han (awal abad ke-3 sebelum Masehi hingga tahun 220), T’ang (618-906), Sung (960-1279), Ming (1368-1644), dan dinasti terakhir Chi’ng, atau Manchu (1644-1912). Jenis kedua adalah sejumlah dinasti kecil yang hanya berkuasa sebentar di antara masa pemerintahan dinasti-dinasti besar. Beberapa dinasti kecil ini hanya bertahan selama tidak lebih dari 20 tahun atau bahkan kurang, seperti halnya dinasti Chi’ng sebelum Han.[1] Terlepas dari itu, muncul dan tenggelamnya sebuah dinasti memiliki beberapa hal yang menarik untuk dilihat. Pola-polanya yang mirip disertai dengan faktor pendorongnya yang berupa pepatah China kuno atau mandat langit menjadi hal yang unik.

2.      Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dipetakan rumusan masalah sebagai berikut.
·         Apa yang dimaksud dengan dinasti?
·         Mengapa terjadi siklus dinasti?
·         Pola seperti apa yang selalu berulang dalam siklus dinasti?
·         Bagaimana kondisi sosial semasa peralihan dinasti?





KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat merampungkan tugas ini yang berjudul “Integrasi China dan Siklus Dinasti”. Tugas ini disusun untuk memenuhi nilai tugas pada mata kuliah Sejarah Asia Timur. Adapun tugas ini masih sangat jauh dari sempurna, kami sangat terbuka terhadap kritik dan saran pembaca. Agar kami dapat menyusun makalah dengan lebih baik lagi.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi kami yang menyusun, dan umumnya bagi para pembacanya





Jakarta, 12 Maret 2013

Penyusun






BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Dinasti
Dinasti adalah lamanya waktu sebuah keluarga memegang kekuasaan kekaisaran. Dalam konteks China, politik dinasti mulai diterapkan pada masa Dinasti Xia yang kemudian bertahan hingga 4000 tahun setelahnya. Sebelumnya, sistem pergantian kekuasaan di China adalah dengan menempatkan orang yang dianggap mampu mengemban jabatan tersebut. Polanya mirip dengan pada masa kekhalifahan Bani Umayyah. Tetapi, sistem pergantian semacam itu digantikan oleh sistem pewarisan kekuasaan berdasarkan keturunan. Tatkala Yu – kaisar Dinasti Xia – sudah tua, ia bermaksud menyerahkan kepemimpinannya kepada Bo Yi. Namun, putra Yu bernama Qi, berhasil membunuh Bo Yi dan merampas kekuasaan.[2] Dalam era globalisasi seperti sekarang ini pun dinasti politik masih sering kita jumpai. Bahkan dinasti politik belakangan ini menjadi ancaman serius yang dapat mencederai masa depan demokrasi Indonesia.

Siklus Dinasti
Baik lama maupun singkat, asli maupun asing, selama berabad-abad dinasti Cina jatuh dan bangun dalam suatu pola yang dilukiskan sebagai “daur dinasti”. Sebuah dinasti baru biasanya muncul setelah suatu periode terpecah belah dan perang saudara yang diakibatkan oleh kekacauan dinasti sebelumnya. Sekali berdiri, dinasti baru akan berlangsung melalui suatu pemerintahan yang baik dan kemakmuran ekonomi, diikuti oleh suatu kemunduran karena tekanan penduduk, petualangan militer, atau faktor lain, dan akhirnya disusul oleh keterpecahbelahan dan akhirnya jatuh.[3] Seperti sudah ditakdirkan, tapi bisa diterima secara logika, karena sebuah dinasti yang kemudian muncul setelah terjadinya permasalahan yang disebutkan tadi pasti akan membuat suatu kebijakan yang bertolak belakang dengan dinasti sebelumnya. Pola seperti ini pun secara empiris di alami oleh bangsa kita, Indonesia. Meskipun tidak sama, tetapi mirip, ketika era Orde Baru melarang segala opini yang sifatnya kritik itu dibungkam oleh negara. Kemudian ini memicu mereka yang sadar akan hak-hak kemanusiaan. Digulingkanlah Orde Baru ini pada Mei 1998, lalu pada era reformasi dilindungilah hak-hak mengemukakan pendapat sekalipun itu bersifat kritik.
Dalam konteks China, hal itu dapat kita temukan salah satunya pada masa Dinasti Qin yang kemudian digulingkan dan berdiri Dinasti Han. Pada masa Dinasti Qin, China ditudungi oleh seorang Tiran yang kejam yaitu Qin Shihuangdi. Salah satu kekejaman yang dilakukannya adalah membakar buku-buku karya para ahli filsafat zaman dahulu yang isinya bertentangan dengan pokok-pokok pikiran legalis (misalnya Konfusianisme).[4] Tindakan ini dilakukan untuk mencegah kritik terhadap pemerintahannya. Hal tersebut mirip dengan apa yang dilakukan oleh Soeharto bukan? Selain itu, sistem pajak dan kewajiban kerja bakti yang sangat berat dibebankan kepada rakyat.
Untuk itu, para penguasa Dinasti Han kemudian berusaha untuk menghapuskan undang-undang Dinasti Qin yang terlalu memberatkan rakyat. Salah satu usaha yang dilakukan adalah mengurangi pajak. Pajak tanah (tianzu) dikurangi hingga 1/30-nya, kerja bakti bagi negara dikurangi hingga sekali setiap tiga tahun dan dapat dihindari bila seseorang membayar sejumlah uang tertentu (gengfu), serta pajak perdagangan (suanfu) dikurangi hingga 40 qian (satuan mata uang pada zaman itu).[5] Pola-pola seperti ini juga dapat kita lihat pada masa Dinasti Qing, dimana kaisar pertamanya, Sunzhi, mencoba menarik simpati rakyat guna memperoleh dukungan terhadapnya. Sunzhi sadar bahwa dinastinya ini adalah dinasti “asing” bagi rakyat China dan ia mempelajari apa yang telah terjadi pada masa dinasti sebelumnya, yaitu Dinasti Yuan, yang juga runtuh karena dianggap oleh rakyat sebagai dinasti “asing”.

“Mandat Langit”
Ketika sebuah keluarga yang sedang berkuasa menjadi lemah dan korup, sebagaimana yang telah dilakukan mereka semua cepat atau lambat, maka berbagai urusan negara akan berkembang dengan buruk sekali. Harga pun akan naik sehingga rakyat tidak dapat hidup dengan tenang. Terdapat pepatah China kuno yang berbunyi, “Apabila harga barang telah naik sehingga rakyat tak dapat membelinya, Tuhan pun akan menitahkan suatu perubahan penguasa”.[6] Dengan kata lain dinasti baru pun muncul. Tanda-tanda akan runtuhnya suatu dinasti dan akan munculnya dinasti baru dapat di raba-raba dari indikasi-indikasi yang terjadi. Pola ini selalu berulang dan terus terjadi, bahkan sampai sekarang ini. Jika kita tarik pada apa yang akhir-akhir ini menjadi topik hangat di surat kabar, mengenai gerakan MKRI misalnya. Gerakan ini di isukan akan meng-kudeta Susilo Bambang Yudhoyono selaku petahana. Kudeta tersebut tentunya disokong dengan rasa ketidak-puasan masyarakat terhadap rezim tersebut. Seperti harga bawang dan cabai yang terus melangit serta kader-kader dari partai demokrat selaku pemenang pemilu banyak terjerat kasus tindak pidana korupsi. Terlepas dari benar atau tidaknya isu itu, disini dapat kita lihat mengenai substansi dari pepatah China yang disebutkan diatas. Pada masa Dinasti Xia pun seperti itu, Jie, kaisar terakhir dari dinasti ini adalah seorang yang korup. Ia lebih mementingkan hasratnya untuk memperindah bangunan istananya dibandingkan memikirkan nasib rakyatnya. Untuk itu terjadilah pemberontakan-pemberontakan yang kemudian meruntuhkan dinasti tersebut.

Siklus Dinasti: Pola yang Selalu Berulang
Sejarah Cina, hingga terbentuknya Republik Cina pada tahun 1912, banyak diwarnai dengan muncul dan tenggelamnya sebuah dinasti. Pergantian antar dinasti dalam sejarah Cina jarang terjadi dengan mulus dan damai. Sering kali satu dinasti didirikan sebelum dinasti yang ada berakhir dan sering pula suatu dinasti tetap ada hingga beberapa lama sejak dikalahkan.[7] Terbit dan tenggelamnya dinasti-dinasti ini pada dasarnya memiliki kesamaan dalam pola-pola yang dilaluinya, baik itu dalam aspek politik maupun ekonomi. Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai pola-pola seperti apa yang selalu berulang dalam kaitannya dengan pergantian dinasti.
·         Politik
Dalam aspek politik ini ada beberapa pola yang selalu berulang, seperti diantaranya ketidak-cakapan kaisar dalam menjalankan roda pemerintahan, landasan hukum yang diterapkan, serangan dari bangsa barbar, dan juga intrik-intrik istana.


§  Ketidak-cakapan kaisar
Ketidak-cakapan kaisar dalam menjalankan roda pemerintahan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian Siklus Dinasti, bahwa kemajuan dalam suatu dinasti itu biasanya diikuti dengan kemunduran. Hal ini disebabkan kaisar-kaisar terakhir dari suatu dinasti yang lupa akan amanat yang sedang dipegangnya. Seperti Jie, kaisar terakhir Dinasti Xia, ia adalah seorang kaisar yang korup yang lebih mementingkan hasrat pribadinya dibandingkan kepentingan rakyatnya. Lalu pada masa Dinasti Shang dibawah pemerintahan Zhouxin, yang merupakan seorang zalim. Ia membunuh orang yang berusaha menasihatinya agar menghentikan kekejaman itu,[8] kemudian muncullah dalam benak rakyat untuk menumbangkan dinasti ini.

§  Landasan hukum
Mengenai landasan hukum ini mungkin sama halnya dengan ideologi. Pada masa Dinasti Qin, seperti yang sudah disinggung diatas bahwa Qin Shihuangdi menganut aliran legalisme yang menyengsarakan rakyat. Kemudian pada masa Dinasti Han diterapkan tandingan dari apa yang diterapkan kaisar Qin itu, yaitu konfusianisme yang notabene lebih moderat. Pun pola seperti ini terus berlangsung, dalam konteks Indonesia, perumusan mengenai ideologi negara yang mampu merangkul setiap kepala rakyatnya diformulasikan pada sidang BPUPKI hingga akhirnya ditetapkan ideologi Pancasila.

§  Serangan dari bangsa Barbar
Serangan ini terus menerus menjadi ancaman bagi setiap dinasti di China. Untuk itu Kaisar Qin Shihuangdi dari Dinasti Qin, membuat apa yang sekarang dikenal dengan tembok China guna membendung serangan itu. Meskipun nantinya pada tahun 1279 bangsa Barbar berhasil menaklukan Dinasti Song dan mendirikan Dinasti Yuan.


§  Intrik istana
Konflik-konflik internal yang terjadi didalam istana pun menjadi hal yang sangat sering terjadi. Perebutan kursi kekaisaran menjadi pemandangan yang menarik untuk dilihat. Sebagaimana yang terjadi pada masa Dinasti Han. Kala itu, Kaisar Lingdi yang naik tahta saat berusia 12 tahun mengusir permaisurinya dan dua tahun kemudian seorang selir bermarga He melahirkan seorang putra, sehingga kaisar mengangkatnya sebagai permaisuri. Putranya ini diberi nama Liu Bian dan diangkat sebagai putera mahkota. Untuk mengukuhkan kekuasaannya permaisuri meracuni seorang selir lainnya yang juga telah melahirkan seorang putra bernama Liu Xie. Pada zaman itu, faksi pemegang kekuasaan lainnya juga terletak pada kaum keberi. Terjadilah upaya-upaya saling bunuh membunuh antara kaum keberi dan permaisuri He.[9] Permasalahan-permasalahan seperti inilah yang selalu saja berulang dalam sebuah dinasti ketika sang kaisar akan menetapkan seorang putera mahkota.

·         Ekonomi
Seperti halnya politik, ada pola-pola yang sama yang berulang dalam aspek ekonomi. Hal ini terkait pemulihan bidang pertanian pada setiap dinasti baru, sistem pajak, sistem pembagian tanah, dan juga pembangunan jalur perdagangan dan transportasi.

§  Pemulihan bidang pertanian
Pasca terjadinya pemberontakan untuk menurunkan suatu dinasti lama, dinasti baru yang muncul biasanya kembali menata bidang pertanian. Hal ini menjadi wajar, mengingat pertanianlah yang mengisi kas-kas negara. Dengan berbagai kebijakan dalam pertanian seperti pajak dan pembagian tanah telah berhasil menjadi penopang bangsa China dari segi ekonomi.


§  Sistem pajak
Sistem pajak juga dinilai menjadi pola yang selalu berulang dan diwarnai modifikasi-modifikasi setiap dinasti. Seperti pada masa yang disebut para ahli sejarawan sebagai Dinasti Utara-Selatan. Sistem perpajakan yang dikembangkan pada masa ini disebut zudiaofa. Dimana pajak yang dibayarkan berupa gandum dan juga sutera serta barnag-barang berharga lainnya sesuai dnegan usia serta jenis kelamin mereka.[10] Dalam sistem pajak ini mungkin pada dasarnya adalah sama, yaitu mengenai pajak tanah dan hasil-hasil pertanian. Tetapi yang membedakannya dari setiap dinasti ini adalah besaran yang dikenakannya.

§  Sistem pembagian tanah
Sama seperti halnya sistem pajak, sistem pembagian tanah jua merupakan kebijakan yang selalu diterapkan dalam setiap dinasti. Pada masa yang disebut para ahli sejarawan dengan Dinasti Utara-Selatan, diterapkan sistem pembagian tanah. Seorang budak diberikan sebidang tanah dengan ukuran tertentu yang harus mereka kerjakan seumur hidupnya. Para pejabat kerajaan pun diberikan sebidang tanah dengan luas tertentu yang tetap menjadi milik kerajaan dan bukannya pribadi. Tanah yang diberikan kerajaan itu tidak boleh dijual kembali.[11] Hal ini pun kembali diterapkan pada masa Dinasti Tang. Sistem pembagian tanah ini mungkin dimaksudkan untuk menjamin pemasukan yang pasti dari negara dengan mengurangi kepemilikan tanah oleh para tuan tanah.

§  Jalur perdagangan dan Transportasi
Jalur perdagangan dan transportasi pun menjadi perhatian dari setiap dinasti yang berkuasa. Tentu saja demikian, mengingat hal itu akan berdampak pula pada kas negara. Pemerintah Dinasti Tang memperpanjang terusan yang telah dibangun para Dinasti Sui guna memperlancar transportasi gandum dari daerah aliran sungai Yangzhi yang subur ke utara. Kemudian ibu kota dibagi menjadi beberapa sektor dan terdapat dua pasar yang menyediakan kebutuhan warganya sekaligus menjadi sumber pendapatan pajak negara.[12] Pada masa Dinasti Utara-Selatan pun demikian, dan hampir setiap dinasti melakukannya.

Kondisi Sosial Pada Masa Siklus Dinasti
            Pertanyaan yang muncul seiring dengan berlangsungnya peralihan dinasti adalah, bagaimanakah rakyat dapat hidup seperti biasanya sementara perjuangan berlangsung? Kenyataannya adalah mereka mampu berlaku demikian karena struktur masyarakatnya.[13] Pearl S Buck. menyebut dua hal yang sangat penting didalam struktur masyarakat ini. Yang pertama adalah administrasi pemerintahan Cina. Dalam setiap pemerintahan, administrasi pemerintahan ini terdiri atas para karyawan yang akan terus bekerja tidak peduli partai politik atau dinasti apa yang sedang berkuasa.
Unsur lain yang menstabilkan Cina adalah keluarga. Alih-alih membentuk jaringan kepolisian yang terinci, bangsa Cina hanya menyuruh setiap keluarga bertanggung jawab terhadap setiap anggota keluarganya. Keluarga berarti saudara, bukan hanya orang tua saja, melainkan paman, bibi, kakek, nenek, dan saudara sepupu yang jauh ikatannya. Seorang laki-laki (atau perempuan) tidak memiliki kemampuan untuk berperilaku menyimpang karena semua saudara mengawasinya. Seluruh keluarga akan mengawasinya karena mereka harus memikul akibat kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan anak tadi. Tanggung jawab ini begitu mendalamnya sehingga, jika anak tadi sudah tak dapat lagi dikendalikan, keluarganya harus membunuhnya. Namun, tanggung jawab dan kontrol keluarga secara menyeluruh ini mengakibatkan masyarakat menjadi teratur dan berperilaku baik bahkan selama masa-masa peralihan dinasti.




  BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Sebuah dinasti baru biasanya muncul setelah suatu periode terpecah belah dan perang saudara yang diakibatkan oleh kekacauan dinasti sebelumnya. Ketika sebuah keluarga yang sedang berkuasa menjadi lemah dan korup, sebagaimana yang telah dilakukan mereka semua cepat atau lambat, maka berbagai urusan negara akan berkembang dengan buruk sekali. Harga pun akan naik sehingga rakyat tidak dapat hidup dengan tenang. Terdapat pepatah Cina kuno yang berbunyi, “Apabila harga barang telah naik sehingga rakyat tak dapat membelinya, Tuhan pun akan menitahkan suatu perubahan penguasa”. Dengan kata lain, dinasti baru pun muncul.
Bagaimanakah rakyat dapat hidup seperti biasanya sementara perjuangan berlangsung? Kenyataannya adalah mereka mampu berlaku demikian karena struktur masyarakatnya. Pearl S Buck. menyebut dua hal yang sangat penting didalam struktur masyarakat ini. Yang pertama adalah administrasi pemerintahan Cina. Unsur lain yang menstabilkan Cina adalah keluarga. Alih-alih membentuk jaringan kepolisian yang terinci, bangsa Cina hanya menyuruh setiap keluarga bertanggung jawab terhadap setiap anggota keluarganya. Dua unsur ini mengakibatkan masyarakat menjadi teratur dan berperilaku baik bahkan selama masa-masa peralihan dinasti.








DAFTAR PUSTAKA

Taniputera, Ivan. History Of China. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Horst, D. Van der. Geschiedenis van China. Jogjakarta: UGM, 1982.
S. Buck, Pearl. China Sebuah Pengantar.
Sutopo, FX. China: Sejarah Singkat. Jogjakarta: Garasi, 2009.



[1] Pearl S. Buck. Cina: Sebuah Pengantar. (Penulis The Good Earth).
[2] Ivan Taniputera, History of China (Ar-Ruzz Media: Jogjakarta, 2011), hal. 55.
[3] Pearl S. Buck, Op. cit. hal. 20
[4] Ivan Taniputera, Op. cit. hal. 144
[5] Ibid., hal. 200-201
[6] Pearl S. Buck, Op. cit. hal 2
[8] Ivan Taniputera, Op. cit. hal. 62
[9] Ibid., hal. 183-184
[10] Ibid., Hal. 301
[11] Ibid., Hal. 300
[12] Ibid., hal. 356
[13] Pearl S. Buck, Op. cit. hal. 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar