Sabtu, 01 Juni 2013

Resensi Film: Max Havelaar

 




Kalau kemarin-kemarin saya bicara tentang buku-buku melulu, sekarang saya coba meresensi (merekomendasikan) sebuah film yang mungkin akan memberikan sebuah inspirasi serta menggugah hati dan perasaan setelah menontonnya. Film ini bukan film baru yng sedang trend di pasaran, justru film ini adalah hasil karya tahun 1976. Seperti yang sudah saya katakan, sesuatu yang baru menurut pendapat saya bukanlah dalam konteks 'kekinian', tetapi yang dimaksud baru adalah, esensi dalam sebuah buku atau film itu akan selalu baru meskipun ranah zaman atau waktunya telah berubah. 


Film ini berjudul Max Havelaar, adalah film yng diadaptasi dari sebuah roman dengan judul yang sama karya Multatuli. Nama Multatuli sendiri merupakan nama pena dengan nama aslinya adalah Edward Douwes Dekker. Karya Max Havelaar dalam bentuk roman dikarang oleh Multatuli pada tahun 1859 di Belgia, dengan judul aslinya : Max Havelaar of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij (Max Havelaar: dan Makelar Kopi Perusahaan Dagang Belanda) hanya dalam kurun waktu satu bulan roman tersebut selesai namun baru terbit pertama kali pada tahun 1860. Kemudian oleh HB Jassin karya Multatuli ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada tahun 1972, terus mengalami perkembangan beberapa kali cetak hingga sekarang. Max Havelaar merupakan karya besar pertama di dunia yang bertema penentangan terhadap kolonialisme bangsa Eropa. Dan konon katanya Max Havelaar merupakan seumber inspirasi bagi bangsa-bangsa terjajah untuk melakukan perlawanan terhadap bangsa kolonial penjajah.

Max Havelaar sendiri menceritakan tentang kisah nasib penderitaan rakyat pribumi Indonesia pada masa kolonial Belanda. Dalam buku (film) ini Max Havelaar adalah seorang asisten residen yang mendapat tugas birokrasi di daerah Lebak, Banten. Lebak merupakan daerah yang subur namun ironisnya masyarakatnya sangat miskin. Max Havelaar memepelajari situasi di daerah Lebak dan mendapatkan fakta yang sungguh mengejutkan bahwa kemiskinan yang terjadi di Lebak bukan hanya karena penindasan yang di lakukan oleh bangsa Belanda tetapi justru penderitaan pribumi Lebak diperparah dengan tindakan sewenang-wenang, korup, ketidakadilan, yang dilakukan oleh bupatinya sendiri. Sungguh sebuah fakta yang sangat ironis bangsa sendiri justru ikut menjajah bangsa sendiri karena takut kehilangan harta dan kekuasaan. 

Lebak tidak hanya miskin, ia juga menyimpan kasus terselubung kejahatan bupati atas asisten residen sebelum Max Havelaar datang menggantikannya. Mr. Slotering, asisten residen sebelum Max Havelaar datang ternyata mempunyai niat yang sama dengan Max havelaar untuk membantu meringankan penderitaan rakyat Lebak akan kerakusan yang dilakukan oleh bupati Lebak. Namun dalam sebuah jamuan makan malam Mr. Slotering diracun oleh seorang demang suruhan bupati Lebak.



Max Havelaar pun berusaha keras untuk mengungkap misteri ini dan juga membantu meringankan penderitaan rakyat Lebak dari tindakan sewenang-wenang bupati yang merupakan satu bangsa satu tanah air dengan rakyatnya sendiri. Namu apalah daya, kekuasaan kolonial tetap merupakan tiran yang sulit dirobohkan. Bupati Lebak ternyata sudah kongkalingkong dengan Gubernur Jenderal Belanda. Gubernur Jenderal Belanda pun lebih memihak kepada Bupati Lebak daripada Max Havelaar yang sama-sama orang Eropa, karena alasan kekuasaan. Akhirnya karena merasa gagal membantu rakyat Lebak dan dengan rasa kemanusiaan Max Havelaar seperti diinjak-injak oleh perilaku bupati Lebak itu, akhirnya ia meninggalkan Lebak atas perintah Gubernur Jenderal. Beruntung Max Havelaar tidak mengalami nasib yang sama dengan pendahulunya Mr. Slotering.

Film yang berdurasi 2 jam 46 menit ini merupakan karya besar Fons Rademakers sebagai bagian dari kemitraan Belanda-Indonesia yang tayang perdana pada tahun 1976. Fim ini juga dibintangi oleh aktor dan aktris senior Indonesia. Film ini sangat menonjolkan sisi humanismenya. Beberapa adegan film ini sangat menyentuh sensitivitas kemanusiaan yang bernurani. Film yang wajib ditonton oleh mereka-meraka yang menggeluti birokrasi pemerintahan karena film ini memperlihatkan betapa buruknya perilaku birokrasi pemerintahan pada saat itu yang masih relevan dengan masa sekarang. Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu bahwa buruknya perilaku pejabat-pejabat birokrasi sekarang merupakan warisan dari perilaku buruk birokrasi zaman penajajahan. Satu hal yang membuat hati saya terenyuh menonton film ini adalah betapa bangsa sendiri tega melakukan tindakan sewenang-wenang atas rakyat (bangsa) sendiri yang mestinya dilindungi dari kekejaman bangsa kolonial. Masihkah hal itu terjadi sekarang? Ini lah yang saya maksudkan dengan film 'baru'.




 

1 komentar: