Kalau kemarin-kemarin saya bicara
tentang buku-buku melulu, sekarang saya coba meresensi (merekomendasikan)
sebuah film yang mungkin akan memberikan sebuah inspirasi serta menggugah hati
dan perasaan setelah menontonnya. Film ini bukan film baru yng sedang trend di
pasaran, justru film ini adalah hasil karya tahun 1976. Seperti yang sudah saya
katakan, sesuatu yang baru menurut pendapat saya bukanlah dalam konteks
'kekinian', tetapi yang dimaksud baru adalah, esensi dalam sebuah buku atau
film itu akan selalu baru meskipun ranah zaman atau waktunya telah berubah.
Film ini berjudul Max Havelaar,
adalah film yng diadaptasi dari sebuah roman dengan judul yang sama karya
Multatuli. Nama Multatuli sendiri merupakan nama pena dengan nama aslinya
adalah Edward Douwes Dekker. Karya Max Havelaar dalam bentuk roman dikarang
oleh Multatuli pada tahun 1859 di Belgia, dengan judul aslinya : Max
Havelaar of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij (Max
Havelaar: dan Makelar Kopi Perusahaan Dagang Belanda) hanya dalam kurun waktu
satu bulan roman tersebut selesai namun baru terbit pertama kali pada tahun
1860. Kemudian oleh HB Jassin karya Multatuli ini diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia pada tahun 1972, terus mengalami perkembangan beberapa kali cetak
hingga sekarang. Max Havelaar merupakan karya besar pertama di dunia yang
bertema penentangan terhadap kolonialisme bangsa Eropa. Dan konon katanya Max
Havelaar merupakan seumber inspirasi bagi bangsa-bangsa terjajah untuk
melakukan perlawanan terhadap bangsa kolonial penjajah.
Max Havelaar sendiri menceritakan
tentang kisah nasib penderitaan rakyat pribumi Indonesia pada masa kolonial
Belanda. Dalam buku (film) ini Max Havelaar adalah seorang asisten residen yang
mendapat tugas birokrasi di daerah Lebak, Banten. Lebak merupakan daerah yang
subur namun ironisnya masyarakatnya sangat miskin. Max Havelaar memepelajari
situasi di daerah Lebak dan mendapatkan fakta yang sungguh mengejutkan bahwa
kemiskinan yang terjadi di Lebak bukan hanya karena penindasan yang di lakukan
oleh bangsa Belanda tetapi justru penderitaan pribumi Lebak diperparah dengan
tindakan sewenang-wenang, korup, ketidakadilan, yang dilakukan oleh bupatinya
sendiri. Sungguh sebuah fakta yang sangat ironis bangsa sendiri justru ikut
menjajah bangsa sendiri karena takut kehilangan harta dan kekuasaan.
Lebak tidak hanya miskin, ia juga
menyimpan kasus terselubung kejahatan bupati atas asisten residen sebelum Max
Havelaar datang menggantikannya. Mr. Slotering, asisten residen sebelum Max
Havelaar datang ternyata mempunyai niat yang sama dengan Max havelaar untuk
membantu meringankan penderitaan rakyat Lebak akan kerakusan yang dilakukan
oleh bupati Lebak. Namun dalam sebuah jamuan makan malam Mr. Slotering diracun
oleh seorang demang suruhan bupati Lebak.
Max Havelaar pun berusaha keras
untuk mengungkap misteri ini dan juga membantu meringankan penderitaan rakyat
Lebak dari tindakan sewenang-wenang bupati yang merupakan satu bangsa satu
tanah air dengan rakyatnya sendiri. Namu apalah daya, kekuasaan kolonial tetap
merupakan tiran yang sulit dirobohkan. Bupati Lebak ternyata sudah
kongkalingkong dengan Gubernur Jenderal Belanda. Gubernur Jenderal Belanda pun
lebih memihak kepada Bupati Lebak daripada Max Havelaar yang sama-sama orang
Eropa, karena alasan kekuasaan. Akhirnya karena merasa gagal membantu rakyat
Lebak dan dengan rasa kemanusiaan Max Havelaar seperti diinjak-injak oleh
perilaku bupati Lebak itu, akhirnya ia meninggalkan Lebak atas perintah
Gubernur Jenderal. Beruntung Max Havelaar tidak mengalami nasib yang sama
dengan pendahulunya Mr. Slotering.
Film yang berdurasi 2 jam 46 menit
ini merupakan karya besar Fons Rademakers sebagai bagian dari kemitraan
Belanda-Indonesia yang tayang perdana pada tahun 1976. Fim ini juga dibintangi
oleh aktor dan aktris senior Indonesia. Film ini sangat menonjolkan sisi
humanismenya. Beberapa adegan film ini sangat menyentuh sensitivitas
kemanusiaan yang bernurani. Film yang wajib ditonton oleh mereka-meraka yang
menggeluti birokrasi pemerintahan karena film ini memperlihatkan betapa
buruknya perilaku birokrasi pemerintahan pada saat itu yang masih relevan
dengan masa sekarang. Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu bahwa buruknya
perilaku pejabat-pejabat birokrasi sekarang merupakan warisan dari perilaku
buruk birokrasi zaman penajajahan. Satu hal yang membuat hati saya terenyuh
menonton film ini adalah betapa bangsa sendiri tega melakukan tindakan
sewenang-wenang atas rakyat (bangsa) sendiri yang mestinya dilindungi dari
kekejaman bangsa kolonial. Masihkah hal itu terjadi sekarang? Ini lah yang saya
maksudkan dengan film 'baru'.
jadi penasaran sama filmnya deh
BalasHapusElever SEO